webnovel

KERINDUAN

Berawal dari ilusi. Mungkin begitu dunia ini diciptakan. Sama seperti hal bayi. Melalui fase ingin memiliki pasangan. Lalu cinta dan perjalanan seiring waktu. Impian akan seorang anak. Dan tergiringlah pada sebuah persetubuhan. Itulah sejatinya penciptaan. Meski bertentangan dengan teori dari pelajaran. Meski membosankan. Namun, begitu banyak yang menggemari dalam hal praktik.

"Ibu tidakkah kau merindukanku sekarang ini?" Matanya berkaca-kaca menahan sesuatu dalam hati yang sepenuhnya tidak dapat ia ungkap.

Banyak yang berlalu-lalang. Ia tidak lagi diperhatikan. Haruskah dirinya menjadi terlupakan begitu saja?

Ia mendapati kedua mata adiknya terlihat nanar menahan pedih. Kali ini bukan karena mendapat hardikan Ayah, sebab ia mendengar samar-samar suara lelaki tua pecandu obat keras itu menangis sesenggukan di ruang pojok. Wajahnya menunduk lesu.

"Dasar lelaki tua yang cengeng. Harusnya kau senang bukan dengan keadaan yang kau buat ini!" umpatnya dalam hati.

Tidak ada iba. Hatinya justru bertambah panas melihat sikap lelaki tua itu. Bagaimana mungkin ia menangis di tengah keramaian. Apakah ia ingin menjadi pusat perhatian banyak orang? Ingin rasanya ia mengumpat. Mungkin sehari itu tidak akan cukup. Sebab dadanya begitu sesak dan begitu banyak yang hendak ia tumpahkan.

Belum genap di anak tangga keempat, telinganya menangkap orang-orang mulai membacakan sebuah doa. Hatinya mulai merasakan tenang. Ia duduk di anak tangga itu dan mulai merasakan hanyut oleh suasana.

"Andai saja ia mendengarkan perkataan ibunya ...."

"Ah, sudah terlambat untuk menyesalinya." Bantahnya sendiri.

Pergolakan batin itu terus berkecamuk. Kembali membuncah. Tubuhnya seakan berpindah tempat. Ia merasakan sebuah dimensi yang gelap. Bahkan, untuk melihat tangannya sendiri saja ia tidak mampu. Ia berusaha untuk mencoba keluar. Namun, lagi-lagi ia terbawa semakin dalam.

Ia mendapati dirinya sekarang di tepi jalan. Ia bergumam aneh. Padahal, barusan saja ia merasakan keberadaannya di rumah.

"Aku mimpi? Atau sedang berhalusinasi?" tanyanya sendiri.

Sekumpulan orang lalu lalang. Tertawa lantang. Segerombolan pemotor menggerungkan knalpot. Memecah malam itu dengan kebisingan. Bersaing suara mengalahkan kilat yang memberi tanda bahwa sebentar lagi sepertinya hujan akan turun.

"Jaya ....!" lelaki itu berseru dari kejauhan memanggil temannya.

Ya, dia berlari kecil menghampiri. Menuju keberadaan temannya di depan sebuah sekolah yang sudah tutup. Rupanya ia sedang menyaksikan ajang balap motor liar. Mungkin menurutnya lebih leluasa jika melihat dari seberang, dari arah yang berlawanan di tempat seharusnya di mana ia berkumpul.

"Cepat sekali ia di sini. Padahal, aku baru saja tadi melihat keberadaannya ada di rumahku."

Langkah lelaki itu terhenti dan seketika mencoba untuk menghindar dari sebuah insiden yang hampir saja mencelakakan dirinya. Kecepatan laju mobil itu hampir saja menabraknya. Kalau saja tidak membanting setir, mungkin ia terkena. Meski ada beberapa kendaraan bermotor yang sempat terserempet. Ya, motor yang ditunggangi oleh pembalap liar terseret beberapa meter di aspal dan pengemudinya terlempar. Namun, ia bersyukur karena insiden itu tidak mengenai dirinya.

Orang banyak mulai berkerumun. Mencari pertolongan. Darah mulai menggenangi aspal yang mulai dibasahi hujan menjadi satu. Lelaki itu hendak membantu. Ia abaikan Jaya. Ia mencoba untuk memberhentikan semua pengendara jalan. Namun, mereka hanya menonton sambil sesekali menyumpah serapahi.

Ia berusaha menerobos kerumunan itu. Ia melihat. Matanya membelalak. Seketika tubuhnya membatu. Sebelum akhirnya lemas dan terjatuh di pinggiran jalan raya.