webnovel

DUNIA YANG SAMA

Isum masih berkeliling mencari tempat singgah dan juga teman untuk mengobrol. Banyak arwah yang ia jumpai. Mulai dari yang bunuh diri sampai yang terbunuh akibat sebuah perselisihan. Isum warga baru di dunia lain ini. Ia tidak memiliki tujuan. Seperti orang yang tersesat dan sedang mencari alamat.

Meski pada akhirnya Ia bertemu dan juga mengenal dengan beberapa orang yang sudah mati akibat kecelakaan, sama persis seperti yang dialami dirinya. Namun, Isum masih tetap merasakan asing di dunia arwah. Matanya masih liar mengamati sekitar. Benaknya sedikit terganggu antara apa yang ia alami kini setelah menjadi arwah dengan apa yang ia gambarkan semasa hidup dulu.

Kijan salah satu sosok arwah yang bernasib sama dengan Isum.Ia adalah sosok pertama yang Isum sapa. Di tengah keramaian orang dan arwah yang berlalu-lalang. Lokasi yang tidak jauh dari area rumahnya. Di mana lagi jika bukan Kota Lama. Sebab tempat ini juga diidentikkan dengan kota para penghuni hantu. Bangunannya yang lawas mengesankan angker. Meski begitu, tempat ini dijadikan pula sebagai tempat spot berswafoto berbagai kalangan. Terkadang, para arwah pun ikut berpose meski mereka tahu jika kamera tidak bisa menangkap gambar mereka.

Oh iya, sosok Kijan sendiri mengalami kecelakaan tunggal akibat mengantuk. Ia menerangkan kepada Isum jika waktunya belum tiba untuk diangkat menuju langit. Kontrak hidupnya belum selesai. Ia seharusnya tutup di usia 54. Namun, akibat dari keteledorannya, mengakibatkan ia kritis dan harus mati di usia 35 tahun. Beruntung dalam tragedi itu hanya Kijan seorang yang tewas. Anak beserta istrinya selamat. Hanya mengalami luka ringan saja.

"Lalu aku harus bagaimana? Apa yang harus kulakukan?" Isum bertanya tak mengerti.

"Setidaknya kau harus melihat daftar terlebih dahulu. Kapan kontrakmu di dunia sebenarnya habis. Dan pastikan dalam daftar itu, apakah benar kematianmu sudah digariskan atau memang karena kebodohanmu sendiri."

Isum agak tersinggung dengan kata-kata terakhir dari pria itu. Dianggapnya bodoh. Memang ada orang yang mau mati karena kebodohannya sendiri. Begitulah Isum menyangkal dalam dirinya.

"Memang kau bodoh? Kenapa tidak terima?"

Isum terhenyak kaget. Lelaki yang duduk bersamanya itu mengerti isi hatinya.

"Kita sudah mati. Bukan lagi orang hidup. Jadi, apa yang kau pikirkan tentunya aku mengerti. Begitu juga ketika kita berhadapan dengan sosok yang bersama dengan kita sewaktu hidup. Aku tau apa yang dipikirkan oleh anak dan istriku meski mereka tidak bisa melihat aku sekarang."

Isum tidak dapat menyangkal. Sepertinya memang benar. Ia selama ini memang selalu menangkap suara dari hati ibu yang merindukan dirinya.

Seperti ketika melihat Ibunya tibanya di rumah sakit, wanita itu mendekati jenazah Isum. Ia mengelus rambut Isum begitu lembut. Matanya menangis tak kuasa menahan. Mencium kening. Banyak suara hati ibunya yang ia dengar. Layaknya seseorang yang sedang berbicara. Persis semasa hidupnya di mana mereka saling berkomunikasi. Bedanya, mereka kini tidak bisa bertatap muka dan hanya Isum sendiri yang mendengar apa yang Ibunya katakan di dalam hati.

"Gak usah terbebani apapun lagi, Nak. Jika ini memang sudah takdirmu untuk pergi, Ibu iklas." Bisiknya dekat dengan telinga Isum.

Betapa hancur hatinya. Isum benar-benar tak bisa. Namun, perkataan itu juga yang cukup melegakan hatinya. Jasad yang terbujur kaku itu tiba-tiba saja menunjukkan sebuah tanda. Kata-kata dari seorang Ibu yang benar-benar telah merelakan kepergian anaknya, sontak memperlihatkan dengan jelas bagaimana jasad Isum mengeluarkan air mata. Sebelum akhirnya menutup rapat mata. Menunjukkan bahwa kini ia telah benar-benar pergi dari raga dan menjadi arwah seutuhnya.

"Lalu, di mana aku bisa melihat daftar kematianku?"

"Di lokasi awal tragedi yang sampai merenggut kehidupanmu. Ada seseorang yang sedang menantimu di sana. Dia yang akan memberikan daftar itu kepadamu."

"Kenapa tidak menjemputku? Bukankah ...."

"Dasar bodoh. Kau pikir ini cerita dalam film-film. Di mana ketika seseorang hendak mati ada malaikat maut datang menjemput dan menarik rohnya." Kijan memotong pembicaraan serta menjelaskan.

"Lalu sampai kapan kau di sini?"

"Waktuku seminggu lagi pergi dari dunia ini."

"Baiklah. Maukah kau menjadi temanku? Setidaknya aku merasakan sepi di tempat ini."

"Bodoh. Kita sudah mati. Tidak perlu lagi mengenal, memang kita akan sering bertemu. Karena kita sudah sama-sama di dunia orang mati. Jika kau butuh aku, sebut aku. Begitu pun sebaliknya. Maka dengan sendirinya aku akan muncul di hadapanmu."

Berulangkali orang tua itu mengatakan bodoh kepada dirinya. Meski kesal, Isum masih warga baru untuk ukuran masyarakat orang mati yang masih tinggal di dunia. Jika ia tidak membaur, bagaimana bisa diterima. Toh, tidak mungkin juga bertarung sampai mati hanya sekadar meluapkan rasa kesal. Karena sebenarnya mereka sudah mati dan tidak ada kematian kedua untuk orang mati.

"Pergilah sesekali mengunjungi rumahmu. Mereka pasti masih merindukan dirimu." Kijan tidak lagi terlihat kasar.

Benar juga. Apa yang diucapkan Kijan memang tidak salah. Isum memang terkadang masih sering pulang, sebab ia tidak tahu harus ke mana tadinya. Rasa kesepian yang mendorongnya untuk berjalan-jalan hingga datang ke tempat ini.

Lagipula, Isum menganggap hanya arwah Kijan saja yang mau berbicara lama dengan dirinya. Atau karena memang sebuah kebetulan juga sih karena memang mereka mengalami nasib yang sama.

Tidak pula bisa disangkal, jika selama ini Isum kerap melihat keadaan Ibu dan adiknya. Mengamati kamar yang ia tempati. Juga sesekali mengunjungi wanita yang pernah menjadi kekasihnya. Atau paling tidak berjalan-jalan di tempat yang pernah ia lewati sepanjang ia masih hidup.

Ada banyak arwah di sekeliling Isum. Tidak berbanding jauh dengan dunia orang-orang hidup ternyata. Ia tidak melihat aktivitas para arwah mengganggu manusia yang masih hidup seperti layaknya yang ia tonton di TV selama ini. Justru para arwah lebih sibuk mengobrol dengan sesamanya. Layaknya manusia saja. Membahas para idola mereka sewaktu hidup. Atau rutinitas yang mereka jalani sebelum mati.

Isum juga melihat dirinya tidak seseram seperti yang ia lihat di layar kaca. Di mana korban kecelakaan selalu diidentikkan dengan simbahan darah yang terlihat menakuti orang-orang hidup. Parahnya lagi, Isum mengingat dengan para manusia yang masih hidup melakukan ritual untuk memanggil arwah sekadar meminta nomor togel. Padahal, kenyataannya arwah yang masih terjebak di dunia manusia, masih bingung dengan dirinya sendiri kapan bisa menuju langit. Jadi bagaimana mungkin arwah mau mengurusi hal-hal yang berhubungan dengan dunia orang hidup.

Isum benar-benar tertawa geli. Arwah-arwah di sekelilingnya itu rupanya meskipun sudah mati, tetap saja masih memetak-metak golongan. Mirip dengan orang-orang hidup yang berkumpul dan berorganisasi sesuai kasta dan level. Mungkin. Mereka memiliki seorang pemimpin dari tiap kelompok. Isum ikut bergabung bersama korban kecelakaan lainnya. Selain ada Kijan korban dari kecelakaan tunggal, juga ada beberapa korban kecelakaan kerja, korban tenggelam karena tidak bisa berenang, dan juga korban yang tidak sengaja terpeleset karena berfoto dan terjatuh dari gedung pencakar langit.

Kijan sendiri selaku arwah yang paling lama dianggap sebagai sosok ketua dalam barisan orang-orang kecelakaan. Sedangkan yang mengalami insiden kasus pembunuhan berada di tempatnya sendiri. Mereka juga masih tetap bisa berbaur dengan golongan lain hanya untuk sekadar say hello. Berbeda dengan mereka yang mengalami kematian karena takdir seperti sakit. Menurut cerita, mereka langsung menuju ke langit.

Golongan dari kasus bunuh diri dianggap paling berbeda dan berada di tingkat kasta terendah. Menurut para arwah yang lain, mereka yang melakukan perbuatan itu dianggap tidak menghargai hidupnya. Ada satu wanita yang terlihat diasingkan. Ia dianggap arwah yang paling mengenaskan. Wajahnya terlihat cantik. Sepertinya tidak beda jauh usia dengan Isum.

Sesekali Isum memang mencuri pandang terhadapnya.

"Tidak. Ada yang harus lebih difokuskan." Isum segera beranjak dari bangku taman di tengah kota itu.

Kali ini Isum harus segera bergegas untuk mengetahui daftar kematiannya disebabkan karena apa. Jika karena sebab murni takdirnya yang sudah digariskan, ia harus segera bergegas ke langit. Jika tidak, maka pintu akan tertutup untuknya dan harus menunggu 50 tahun lamanya untuk dia bisa memasuki alam yang sebenarnya diperuntukkan untuk para arwah. Setidaknya, itulah pesan yang diberitahukan Kijan kepada dirinya.

___

"Sudah lima hari aku menunggu di sini. Kenapa baru kelihatan?"

Isum mengamatinya secara seksama. Di tangannya terlihat sebuah buku besar. Di punggungnya melekat tas. Tangan kanan memegang sebuah pena. Penampilannya lebih mirip dengan Joe Taslim. Lebih pantas menjadi aktor ketimbang pembawa daftar catatan orang-orang mati. Rambutnya benar-benar klimis. Andai orang hidup tahu kehidupan arwah seperti ini, tentu mereka tidak perlu takut untuk sekadar melewati kuburan. Atau jalan-jalan sepi. Tidak perlu juga memakai jimat-jimat pengusir hantu. Karena lifestyle para arwah tidak berbeda jauh dengan manusia. Mungkin kematian tidak mematikan jiwa mereka untuk bergaya.

"Malah bengong! Pasti kagum, ya, dengan penampilanku. Itu sebabnya aku dipilih menjadi wakil langit untuk memberitahukan kapan kontrak kalian habis."

Sepintas tampak garang. Ujung-ujungnya, arwah yang satu ini malah narsis. Isum hanya tertawa. Ternyata, tidak seseram yang ia bayangkan ketika berada di pintu kematian. Sakitnya sesaat. Tapi setelah melewatinya, persis dengan kehidupan yang ia jalani. Isum jadi merindukan kawan-kawan satu tongkrongannya.

"Anu ... Om, aku cuma ingin tahu kapan kontrak hidupku habis. Apa memang sudah berakhir karena takdir atau memang karena kesalahanku sendiri."

"Am ... Om ... Am ... Om! Emang mukaku keliatan tua? Sembarangan kalau ngomong. Aku, El. Orang biasa memanggilku El. Paham!"

El siapa, Om ... eh, maksudku, terusannya El apa?"

"El apa ya? El ... elah, mau tau aja."

Ismun benar-benar merasa terhibur. Yang tadinya ia merasakan kesedihan mendalam. Menangis di depan rumah karena tidak ada satu pun yang bisa melihatnya. Juga karena penyesalan. Kini, ia benar-benar seakan kematian itu tidak ada. Di keadaan ini pun juga tidak ada lagi yang perlu ditakuti soal kecelakaan atau pun sakit penyakit.

El membuka daftar. Meneliti dengan seksama. Sesekali ia menatap wajah Isum. Antara percaya dan tidak dengan apa yang ia baca. El penasaran. Kacamata hitamnya diturunkan sedikit di bawah mata. Benar-benar hendak memastikan. Isum hanya terdiam. Ia tidak ingin berkomentar ataupun menanyakan lebih jauh sebelum mengetahui kebenarannya sendiri.

"Iyan Kusuma Wardhana. Lahir di tanggal 21 Oktober. Mati di tanggal 11 Oktober menjelang usia 17 tahun. Sering dipanggil dengan Isum. Cukup populer di kalangan anak remaja. Dan menbenci Ayahnya sendiri. Benar?"

"Iya, El. Lalu, bagaimana dengan kematianku? Apakah karena sudah waktunya?"

El mengernyitkan dahi. Agak ragu ia ingin mengungkapkan. Ia berjalan dan memutari Isum. Perawakan El yang lebih tinggi, tentunya hanya menunduk. Sedang Isum mendongak untuk bisa memerhatikan tingkah El yang dirasanya cukup aneh.

"Isum. Kenyataannya kau mati bukan karena takdir apalagi kecelakaan. Kematianmu bukan karena itu. Melainkan karena kau dibunuh. Seseorang itu sengaja ingin mencelakaimu. Namun, tidak tau jika akibatnya fatal dan merenggut nyawamu."

Mata Isum membelalak seakan tak percaya. Siapa yang berniat hendak mencelakakannya? Pertanyaan itu yang terus berputar di kepalanya. Belum selesai rasa penasaran. El pun melanjutkan, "Seharusnya, kau mati di usia 70 karena sakit. Memiliki keluarga yang bahagia dan anak. Namun, semua terlambat untuk disesali."

Isum berpikir keras. Dia harus menghabiskan sisa waktu di dunia selama 53 tahun lagi untuk bisa menuju langit. Tempat di mana seharusnya dia berada. Tak bisa ia bayangkan bagaimana ia begitu perih harus melihat dan menyaksikan kematian ibunya kelak. Sementara tiba saat itu, ia harus melihat ibunya menuju langit, sedang ia masih tertinggal di dunia. Itu sangat menyakitkan. Belum lagi hal-hal lain yang membuat hatinya tentu bisa terluka. Andai saja Isum masih hidup, setidaknya kedua tangan miliknya masih bisa membantu jika ia melihat keluarganya mengalami kesusahan.

Isum mulai mengutuk pelaku yang telah membuatnya menjadi seperti ini.

"Apakah ada dalam daftar kematian itu, siapakah pelaku yang hendak mencelakakan aku?"

"Tidak. Buku ini tidak mencatat persoalan itu. Sekalipun itu ada, tidak mungkin pula diberitahukan kepadamu."

Mata Isum benar-benar menunjukkan kemarahan. Ia harus tahu sendiri siapa yang telah menghancurkan hidupnya ini. Ia menerawang. Mereka-reka langkah demi langkah dari setiap kejadian sebelum mati. Ia menyusun semua dalam pikiran. Membentuk dan membuat sketsa. Menganalisa. Demi mendapat kesimpulan, siapakah otak dibalik itu semua. Sebelum semuanya terpecahkan, tiba-tiba saja El memudar dari hadapan Isum.

"Sisa waktu kontrakmu bisa saja ditangguhkan dan kau menuju langit. Karena semua itu tergantung pada dirimu. Dan jawaban itu semua ada dalam dirimu." Sebelum akhirnya El menghilang, ia memberikan sebuah pesan.

Isum diliputi kemarahan yang besar. Tanpa ia sadari wujudnya mulai berubah menjadi sosok yang menyeramkan. Urat-urat di wajahnya menciptakan seperti retakan. Matanya berubah merah darah. Ia berteriak dan menyebabkan angin kencang bak badai. Di alam manusia, mereka berpikir langit mendung dan angin kencang adalah pertanda hujan, tapi tidak di alam kematian. Hal tersebut dikarenakan adanya sosok arwah yang tidak bisa menerima kematiannya hingga memunculkan amarah disertai oleh datangnya kebencian yang dalam. Itu sebabnya langit pun menjadi hitam.