"Rasya."
Rasya berjalan mendekati brangkar membuat Rindi memalingkan wajahnya. "Loe datang untuk mentertawakan keadaan gue, Bukan."
"Untuk apa gue mentertawakan loe."
"Gue tidak ingin bertemu dengan loe." Ucap Rindi menatap Rasya dengan tajam.
"Gue datang bukan untuk meminta maaf sama loe." Rindi mengernyitkan dahinya menatap Rasya. "Berhenti mengganggu suami gue!"
Deg
Rindi terkekeh kecil. Apa barusan dia salah dengar?
"Gue mohon Rindi, berhenti menekan Percy. Ini sudah takdir kalian."
"Takdir? Loe bilang ini takdir? Gue gak buta Rasya. Gue tau loe di balik semua ini."
"Loe salah, gue tidak pernah melakukan apapun."
"Jangan berlaga polos, gue tau loe menyukai Percy. Bahkan dulu kami putus karena loe yang melaporkannya ke nyokap dan tante Dewi. Jangan berlaga sok suci."
"Gue akui dulu gue memang pernah melakukan sesuatu yang salah. Tetapi itu karena loe mengaku sebagai Faen."
"Jadi Faen itu loe,"
Rasya terdiam mendengar penuturan Rindi barusan. Rindi terlihat tersenyum kecut,
"Kalau loe pernah salah lalu gue tidak? Gue juga menyukai Percy, tetapi dia seakan canggung untuk berdekatan dengan gue. Hingga saat itu gue tidak segaja menemukan botol yang jatuh dari mejanya. Gue ingin membukanya tetapi Percy keburu datang dan menanyakan hal yang gak gue pahami." Ucapnya.
"Kalau di posisi loe, loe akan bagaimana? Bukankah cinta itu egois. Gue secara spontan mengatakan kalau gue adalah Faen." Rasya masih memperhatikannya dengan mata yang berkaca-kaca.
"Awalnya gue tidak perduli dengan kebohongan dan kepura-puraan ini. Tetapi setelah dua tahun hubungan kami, gue mulai lelah. Gue lelah berpura-pura, gue juga sadar kalau Percy mulai curiga karena dia suka berkomentar gue berubah, gue berbeda. Gue lelah di sama-samakan dengan sosok Faen itu!"
Rindi terlihat kesal menatap ke arah Rasya. "Gue jujur pada Percy dan mengatakan semuanya kalau gue bukanlah Faen." Ucapan Rindi membuat Rasya sedikit kaget.
"Gue mengambil langkah itu dan tidak perduli kalau Percy akan meninggalkan gue dan pergi dengan loe."
"Loe sudah tau itu gue?"
"Ya, surat yang gue temukan itu tidak di baca oleh Percy tetapi gue. Dan inisial R~A tidak ada lagi di kelas kita selain loe!"
"Lalu loe bilang ke Percy kalau Faen itu gue?"
"Tidak, gue tidak mungkin mempermalukan loe. Gue hanya mengatakan kalau gue bukanlah Faen. Dan benar saja saat itu Percy mengamuk dan marah besar. Bahkan dia mutusin gue lagi. Gue sudah ikhlas kalau memang Percy tidak mau lagi dengan gue. Bagaimanapun juga gue sudah menipunya." Rindi terlihat menghapus air matanya.
"Kami berpisah selama 3 bulan, hingga Percy kembali datang dan mengatakan akan memulai kisah dari awal lagi, tanpa ada bayang-bayang Faen. Dia pikir Faen itu hanya kekasih khayalannya saat di SMA. Kami memulainya dari awal dan saling mengenal satu sama lain, sebagai Percy dan Rindi." Rasya menangis dalam diam mendengar penuturan Rindi.
"Hingga akhirnya seperti ini, apa menurut loe gue ini salah? Apa gue salah memperjuangkan pria yang sudah berjuang bersama-sama beberapa tahun sebelumnya. Apa gue akan diam saja melihat pria yang gue cintai menikah dengan sahabat gue sendiri? Apa loe pikir gue kuat!" pekiknya.
"Gue gak sebaik dan selapang itu, Sya. Hati gue hancur mendengar kabar pernikahan kalian. Gue hancur melihat loe yang berciuman dengannya. Dia milik gue, dan loe seenaknya merebutnya." Isaknya.
"Siapa? Siapa yang Percy sebenarnya, Hah? Di antara dua pilihan, melepaskannya atau memperjuangkannya. Maka gue memilih memperjuangkannya. Jangan egois Sya, sadarlah Faen hanya masa kecilnya Percy. Sekarang hanya ada gue dalam hatinya. Sadarlah akan hal itu, jangan menahannya dengan status kalian!"
"Loe pikir gue bahagia? Loe pikir gue senang memilikinya saat ini?" tanya Rasya yang juga sudah menangis seperti Rindi.
"Selama ini gue diam, gue menjauh dari kalian berdua karena gue tidak ingin terjebak lagi dalam kisah cinta segitiga ini. Tetapi takdir tuhan membawa gue kembali masuk ke dalam lingkaran ini."
"Takdir tuhan? Loe salah, ini keegoisan loe Sya. Kalau saja loe menolak perjodohan ini sejak awal, mungkin ini tidak akan terjadi!!" pekiknya.
"Gue egois? Lalu loe? Gue memang mencintainya, dan gue senang dengan perjodohan ini awalnya. Kucing mana yang tak antusias saat di sodorkan tulang ikan. Tetapi gue tetap melihat Percy." Ucapnya. "Gue sudah mencoba menolaknya, tetapi tante Dewi masuk ke rumah sakit dan membuat Percy berjanji padanya. Apa gue harus tetap menolaknya??" Rindi terdiam mendengar penuturan Rasya.
"Sebenarnya siapa yang egois disini? Loe dan Percy sudah jelas tidak bisa bersama karena perbedaan kalian. Loe sendiri bahkan tidak mampu berpindah agama demi Percy. Loe hanya terus mengatakan cinta tanpa bukti, Percy tertekan karena loe!"
"Loe gak berhak mengatakan itu!"
"Kenapa? Loe mau marah? Gue selama ini diam, tetapi sekarang gue marah. Kenapa loe memperlakukan Percy layaknya boneka loe, Rindi! Kenapa loe selalu menekannya dengan ego loe. Dia menikahi gue karena loe gak mau memperjuangkannya, dia berusaha tidak egois dan merelakan loe untuk menjaga banyak perasaan termasuk kedua orangtua loe. Tetapi loe terus menekannya dengan keegoisan loe."
"Sebenarnya siapa yang egois disini? Gue, loe apa Percy?" pekiknya membuat Rindi terdiam membisu.
"Gue sadari hati Percy masih untuk loe, tetapi gue hanya ingin melihatnya bahagia. Gue berusaha membantunya dengan menerima perjodohan ini, walau selama ini gue tidak pernah di anggap! Tetapi loe terus yang mengaku begitu mencintainya terus menekannya. Apa loe pernah memikirkan perasaan Percy? Apa loe pernah memikirkan posisi Percy yang begitu terjepit? Loe bahkan tidak terpikirkan kesana."
"Loe hanya memikirkan diri loe sendiri, Rindi!"
Rindi terdiam mematung mendengar penuturan Rasya barusan.
"Gue sebenarnya tidak ingin mengatakan semua ini, tetapi inilah yang harus gue katakan sama loe. Gue berharap loe bisa lebih memikirkannya. Permisi," Rasya berlalu pergi meninggalkan Rindi yang menangis terisak di atas brangkarnya.
"Wow, amazing." Ucapan seseorang membuat Rindi menengok ke ambang pintu. "Beruntung sekali si Percy itu di perebutkan dua wanita sekaligus."
"Mau apa lagi kamu kesini, tuan Daffa?"
"Ayolah jangan sungkan begitu, aku datang untuk menemanimu. Tetapi barusan malah mendengar perdebatan sengit antara dua wanita cantik." Ucapnya membuat Rindi terdiam. Ia terlihat memalingkan wajahnya seraya mengusap air matanya.
Daffa menyodorkan sapu tangannya pada Rindi, membuatnya mengambil sapu tangan itu dan menghapus air matanya. Masih tak ada yang bersuara, keduanya diam membisu.
Rindi terlihat menundukkan kepalanya masih dengan isakannya. "Apa benar aku sudah menekannya? Apa aku sangat egois?"
"Aku mencintainya, dan apa salah kalau aku ingin terus mempenjuangkannya." Isaknya membuat Daffa duduk di sisi brangkar dan mengusap pundak Rindi dengan lembut.
"Aku belum pernah merasakan jatuh cinta, tetapi setauku cinta tidak bisa di paksakan. Takdir yang sudah di gariskan tuhan tidak bisa di ubah lagi." Ucapnya membuat Rindi menatapnya dengan sendu.
"Tapi aku sangat mencintainya, selama ini kami berjuang bersama, tetapi kenapa akhirnya harus seperti ini."
"Karena menurutku kalian diam di tempat, hanya keinginan kalian yang bersama tetapi tindakannya tidak ada. Itu yang bisa aku simpulkan dari pembicaraanmu dengan wanita tadi."
"Diam di tempat?"
"Iya, baik kamu ataupun pria itu. Kalian terlalu bimbang dan dilema dalam menentukan keputusan. Kalau kalian memang ingin memperjuangkan cinta, maka lakukanlah jangan setengah-setengah."
"Aku memang ingin memperjuangkannya dan mulai melangkah, tetapi aku terlalu takut pada Papa. Dan keluarga Papa juga Mama, mereka sangat menjungjung tinggi nilai keagamaan dan budayanya. Aku ingin melangkah tetapi rasa takut menahanku."
"Kalau begitu lepaskan pria itu." Rindi mengernyitkan dahinya. "Dengarkan aku Rindi. Saat ini kamu berada di tempat yang aman, dan di sana di tengah lautan yang penuh dengan ikan hiu, ada Percy dan kedua orangtuamu. Kamu harus memilih di antara mereka, mana yang harus pilih."
"Tapi-,"
"Hidup itu pilihan, lurus atau berliku, hitam atau putih, mempertahankan atau melepaskannya. Dan semuanya harus kamu putuskan, sebelum banyak hati yang terluka. Bukan hanya oranglain, tetapi hati kamu dan pria itu."
"Aku tidak tau," isaknya. "Aku merasa sangat membutuhkannya, saat ini aku lumpuh dan aku kesepian. Hanya dia harapanku satu-satunya, hikzz..."
"Kamu salah, kamu tidak kesepian Rindi." Daffa memegang kedua pundak Rindi dengan sedikit emosi. "Tatap mata aku," Rindi menatap matanya dengan sendu.
"Jangan terfokus pada satu titik dimana pria itu berada, coba kamu lihat di sekitarmu. Banyak sekali orang yang perduli dan menyayangimu, termasuk aku. Aku sangat perduli padamu,"
"Kamu?"
"Ya,"
"Ta-tapi kenapa? Bukankah kita tidak saling mengenal."
"Aku tidak tau," keluhnya memalingkan wajahnya. "Aku hanya perduli padamu, apa itu salah."
Rindi menatapnya dalam diam, ada rasa senang di dalam hatinya. Setidaknya masih ada yang memperdulikannya, dan tidak pernah lelah untuk selalu menemani walau terus dia tolak dan usir.
"Jangan melihat sesuatu di balik tebing, coba lihat di depanmu ada siapa. Dia yang selalu berusaha menemani dan membahagiakanmu." Rindi menatapnya dengan tatapan bingung.
"Dengar," Daffa menghapus air mata di pipi Rindi. "Aku tidak akan memaksamu untuk melepaskannya, pilihan tetap ada padamu. Ambil dan tentukan pilihanmu dalam keadaan tenang, pikirkan segala konsekuensinya."
"Kenangan indah kami membuatku sulit untuk membuat pilihan, hatiku hanya terfokus padanya."
"Belum, kamu belum mencobanya." Rindi menatap Daffa dengan kernyitannya.
"Mencoba apa?"
"Ini," Daffa menangkup kedua pipi Rindi dan mencium bibirnya. Rindi tidak melawan maupun tidak membalasnya.
Bug
"Keparat!" Daffa tersungkur ke lantai saat seseorang menarik kerahnya dan meninjunya.
Rindi ikut terpekik kaget, Percy terlihat emosi di depannya dengan mencengkram kuat bunga di genggamannya.
"Percy, aku-"
"Aku tidak menyangka kamu melakukan ini padaku !" pekiknya melempar bunga itu.
"Percy, kamu salah paham. Aku bisa jelaskan." Rindi ingin beranjak tetapi kesulitan karena kakinya yang tidak bisa di gerakkan.
Dengan emosinya, Percy berlalu pergi meninggalkan ruangan itu dan membanting pintu dengan keras.
"Percy tunggu, aku bisa jelaskan." Rindi hendak menjatuhkan diri dari atas brangkar tetapi di tahan Daffa.
"Apa yang kamu lakukan?"
"Lepaskan aku Daffa, aku harus mengejar Percy dan menjelaskan segalanya. Dia salah paham!"
"Apa yang ingin kamu jelaskan, Hah? Dia bukan kekasihmu!" pekik Daffa yang sudah tidak tahan lagi.
"Tidak! Aku harus menjelaskannya sebelum dia salah paham."
"Kenapa harus salah paham? Ingat Rindi, dia bukan kekasihmu, DIA SUAMI DARI SAHABATMU !"
Rindi terdiam mematung mendengar bentakan Daffa yang seakan menamparnya. Ia seakan kembali ke keadaan nyata, kenyataan bahwa Percy adalah suami dari Rasya.
"Dia bukan siapa-siapa kamu, kamu berhak bersama pria lain."
Tangis Rindi seketika pecah, ia merasakan sakit yang teramat sakit. Kenyataan yang membuatnya hancur, berusaha menerimanya tetapi sangat sulit.
Daffa menarik Rindi ke dalam dekapannya dan mengusap punggungnya dengan lembut.
"Dia bukan milikku,, hikzz...."
"Kenapa,, hikzzz...hikzz...."
Hidup adalah pilihan, Lurus atau berliku, Baik atau buruk, Hitam atau putih. Memperjuangkan atau melupakannya...!!
Faktanya kenyataan tidak seindah impian.
Melepaskannya ada pemikiran terakhir dalam kepalaku.....
***
Rasya tengah menyiapkan makan malam seperti biasanya malam itu, ia akan tetap bersikap biasa saja pada Percy. Dia membutuhkan waktu untuk memikirkan surat kontrak dan pernikahannya ini.
Rasya terpekik saat mendengar suara berisik di pintu dan terlihat Percy terjatuh. "Astaga Percy," Rasya berlari menghampirinya dan melihat Percy tengah mabuk berat. Wajahnya terlihat begitu merah.
Rasya membantu Percy untuk berdiri dan memapahnya menuju ke dalam kamarnya. Ia merebahkan tubuh Percy di atas ranjang. Ia beranjak untuk melepas sepatu yang di gunakan Percy begitu juga dengan kaos kakinya. Lalu ia membantu melepaskan jas hitam yang di gunakan Percy. Ia melepaskan kemeja Percy begitu juga celananya hingga menyisakan celana boxernya.
Rasya beranjak menuju ke kerangjang cucian yang ada di kamar itu, hingga langkahnya terhenti melihat pigura yang terpajang disana. Foto Percy dan Rindi yang terlihat bahagia dengan senyuman merekah mereka.
Aku sudah mengatakan kejujuran pada Percy kalau aku bukanlah Faen.
Kami sempat putus, tetapi Percy kembali mendatangiku, dia bilang Faen adalah kekasih khayalannya saat SMA.
Seketika Rasya merasakan nyeri yang teramat di dalam hatinya. Kenyataannya dia tidak pernah bisa menjadi seseorang yang berarti untuk Percy. Tidak pernah ada namanya dalam hati Percy.
Terkadang tidak mengetahui kebenarannya terasa jauh lebih baik.
Rasya duduk di sisi ranjang seraya menyelimuti tubuh Percy hingga batas leher, air matanya kembali mengalir membasahi pipinya.
"Aku tidak pernah bisa menggapaimu." Ucapnya membelai wajah tampan Percy. "Kamu begitu dekat denganku, tetapi kamu membangun sebuah dinding besar di antara kita hingga aku tidak bisa menembusnya."
"Kenapa kamu melakukan ini, Percy? Kenapa hanya rasa sakit yang selalu aku terima." Isaknya semakin menjadi.
Rasya hendak beranjak tetapi pergelangannya di cekal oleh Percy. Ia menatap Percy dengan kernyitannya.
"Jangan menangis," gumam Percy menarik Rasya hingga jatuh ke dalam pelukannya. Percy membalikkan tubuhnya hingga kini posisi Rasya berada di bawahnya.
Ia membuka matanya yang sayu dan merah, "Aku mencintaimu," gumamnya mencium bibir Rasya begitu saja membuatnya mematung kaku.
Ada desiran aneh yang melingkupi tubuhnya. Ia mendadak kaku dan kesulitan untuk bergerak.
Percy terlihat semakin ganas mencium bibir Rasya, bahkan tangannya mulai masuk ke dalam gaun tidur Rasya mencari sesuatu yang ada di daerah dadanya.
"Aku sangat mencintaimu,"
Percy masih sibuk mengecupi leher jenjang Rasya dan mencumbunya. Rasya merasakan tubuhnya panas dan terasa terbakar. Ini sensasi aneh yang baru pertama kali ia rasakan.
Perlahan Percy melepaskan gaun Rasya hingga memperlihatkan pakaian dalam berenda. Tanpa menunggu lama lagi ia kembali mengecupi dan mencumbu area dada Rasya. Rasya membiarkannya tanpa ingin menolaknya. Bukankah ini sudah kewajiban seorang istri...?
Percy melepaskan kain berenda yang ada di dada Rasya itu dan kembali menciuminya dengan rakus membuat Rasya mengeluarkan erangannya karena sensasi aneh itu. Tubuhnya terasa mengenjang.
Tangan Percy juga tak tinggal diam, ia mencari bagian sensitive Rasya dan memainkannya. Rasya semakin merasa darahnya terbakar. Rasa sakit, perih dan aneh bercampur menjadi satu.
Percy kembali mencium bibir Rasya seraya memposisikan tubuhnya untuk melakukan penyatuannya. Rasya menjerit kecil saat Percy menembus pertahannya, menembus sesuatu yang selama ini dia jaga. Mahkotanya sebagai seorang wanita....
"Apa sakit, maafkan aku." Percy mengecup kedua mata Rasya yang mengeluarkan air mata karena rasa sakitnya. Percy terus memberi kecupan kecupan pada wajah dan leher Rasya untuk mengurangi rasa sakitnya.
Setelah cukup lama terdiam, Percy mulai menggerakkan tubuhnya. Erangan demi erangan memenuhi ruangan itu.
"Kita akan keluar bersama-sama, Honey." Rasya mengernyitkan dahinya mendengar penuturan Percy.
"Rindi." Teriaknya saat mencapai pelepasannya.
Rasya merasa hatinya tertikam rajam yang sangat tajam, air mata seketika luruh membasahi pipinya. Rasa sakit dan perih di bagian kewanitaannya tak sebanding dengan rasa sakit di hatinya.
Percy merebahkan tubuhnya di sisi Rasya seraya memeluk tubuh Rasya. "Aku mencintaimu, Honey." Bisiknya.
Rasya tidak sanggup lagi berada disana, perlahan ia melepaskan pelukan Percy pada pinggangnya dan berangsur bangun dengan menahan rasa sakit di bagian kewanitaannya.
Ia memunguti pakaiannya dan memakainya kembali. Sebelum ia berlalu pergi, ia melihat ke arah Percy yang terlelap. Ia tau saat ini Percy sedang di pengaruhi oleh alkohol,
Rasya mengambil celana boxer Percy dan memakaiannya seraya membersihkan ranjangnya, seakan tidak terjadi apapun.
Cukup dia yang mengetahui kejadian malam ini, dia berharap Percy tidak mengingatnya. Ia tidak ingin kejadian ini kembali mempersulit mereka. Setidaknya Rasya sedikit bahagia karena sudah mampu menyatu dengan Percy. Mungkin ini saja cukup untuknya.
Ia beranjak pergi menuju ke dalam kamarnya, tubuhnya luruh di balik pintu dan tangisannya pecah seketika.
"Kenapa sakit sekali," tangisnya memukul dadanya sendiri yang terasa sesak. Malam pertamanya tidak seindah yang di bayangkan. Nama wanita lain yang dia sebut saat melakukan malam pertamanya.
"Kenapa...hikzz...hikzzz....." isaknya semakin menjadi seraya memukuli dadanya yang terasa sangat sesak.
"Hikzz....hikzz....hikzz...!!!"
Tangisan menyakitkan mengiringi malam pertamanya.
Bunga di kananmu, debu bintang di kirimu perlahan memudar... Beritahu aku, bagaimana aku bisa tertawa di dalam sepi ini?