Rindi terlihat melamun di atas brangkarnya, ia melirik ke ambang pintu ruangan. Ia terus menunggu kedatangan seseorang yang begitu ia harapkan, tetapi rasanya sangat mustahil.
'Kamu dimana, Per? Kenapa kamu tidak pernah datang? Sebegitu cepatnya kamu melupakanku?'
Tak lama Randa masuk dengan membawa makanan, ia tersenyum manis kepada Rindi seraya menyimpan makanannya di atas nakas. "Ran,"
"Hmm,"
"Boleh gue meminjam handphone loe,"
"Untuk apa, Rindi?" Randa mengambil duduk di kursi di samping brangkar. "Oh iya, Daffa sebentar lagi akan datang."
"Kenapa loe terus menyuruhnya datang sih? Gue gak suka sama dia." Ucap Rindi kesal.
"Astaga Rindi, buka mata loe. Apa yang kurang dari Daffa, dia tampan, populer, baik juga." Ucapnya. "Bahkan hampir semua wanita di Negara kita menginginkannya, mengidolakannya."
"Tapi gue gak suka." Pekik Rindi.
"Lalu loe maunya apa? Percy? Pria brengsek itu?"
"Jaga ucapan loe, Randa!!" ucap Rindi dengan tajam.
"Apa yang loe harapkan darinya? Sadarlah dia sudah menikah, dan bahkan sekarang mereka tengah menikmati honeymoonnya di Bandung." Jelas Randa.
"Apa??"
"Mereka pergi ke Bandung bersama untuk honeymoon."
"Loe bohong kan," ucap Rindi dengan tatapan nanarnya.
"Untuk apa gue bohong, loe lihat sendiri dia tidak pernah datang bukan. Bahkan dari saat loe koma," dusta Randa. 'Sorry, tapi gue tidak ingin loe berharap padanya lagi.'
"Tidak mungkin Percy seperti itu, loe bohong kan." Pekik Rindi diiringi tangisannya.
"Gue gak bohong."
"Loe bohong Randa, gak mungkin Percy setega itu. Dia pasti kalau gue ada disini." Isak Rindi dengan tatapan tak percaya.
"Dia tau, tetapi istrinya lebih dari segalanya."
"LOE BOHONG!" pekiknya, "Aww,,"
"Rindi," Randa segera menahan pundak Rindi dengan kedua tangannya.
"Ka-ki gue," gumamnya dengan ekspresi syok. "Ke-kenapa kaki gue tidak bisa bergerak, Ran?" Randa terdiam membisu mendengar penuturan Rindi.
"Randa, kenapa kaki gue gak bisa bergerak?" pekiknya.
"Ka-ki loe,"
"Randa katakan sesuatu, kenapa dengan kaki gue?" pekik Rindi.
"Tulang kaki loe hancur, kemarin sudah melakukan operasi tetapi-,"
"Tetapi apa? Katakan!" pekiknya tak sabaran.
"Loe gak bisa berjalan lagi,"
Deg
Rindi merasa seluruh atap rumah sakit runtuh tepat di kepalanya. Ia menggelengkan kepalanya tak percaya. "Loe bohong lagi kan,"
"Gue mengatakan yang sejujurnya," Randa mengatakannya dengan sangat pelan tapi mampu di dengar oleh Rindi.
"Loe bohong," tangisannya luruh membasahi pipi. Ia melirik ke arah kakinya dan berusaha untuk menggerakkannya. Air mata semakin mengalir deras dari pelupuk matanya.
"Ini gak mungkin," gumamnya, "INI GAK MUNGKIN! Hikz," isaknya semakin menjadi.
"Aku tidak ingin lumpuh, kembalikan kakiku, hikzzz..." Rindi berkali-kali memukuli kakinya dengan kedua tangannya. Randa mencoba menahannya tetapi sulit.
"Aku tidak mau lumpuh! Balikin kaki aku, hikzz... balikin kaki aku...hikz..." jeritnya semakin menjadi hingga Daffa masuk ke dalam ruangan dan Randa meminta tolong padanya.
"Balikin kaki aku, aku gak mau lumpuh! Hikzz...." ia terus memukuli kakinya tanpa henti, membuat Daffa menariknya ke dalam pelukannya. Rindi masih berontak memukuli dada Daffa.
"Kembalikan kakiku, Tuan. Kembalikan, hikzz..." jeritnya semakin. "Aku tidak mau lumpuh, hikzz.." isaknya, Daffa memeluknya dengan erat seraya mengusap punggungnya dengan lembut hingga Rindi tenang.
Randa berjalan keluar dari ruangan dengan tangisannya, ia tidak ingin melihat Rindi hancur.
Daffa melepaskan pelukannya saat Rindi sudah mulai tenang, ia merapihkan beberapa helai rambut yang menempel di pipinya yang basah. "Aku takut," cicitnya.
"Aku ada disini, jangan pernah takut lagi, oke." Daffa mengusap air mata Rindi dan kembali memeluk tubuhnya.
'Kamu dimana Percy? Aku butuh kamu, apa secepat itu kamu melupakan aku?'
Rindi melepaskan pelukan Daffa dan berpaling ke arah lain. "Bisa tinggalkan aku sendiri,"
"Tapi-"
"Aku mohon tuan Daffa, aku ingin sendiri saat ini." Ucapnya di tengah isakannya.
"Baiklah, aku ada di luar."
Rindi tak menjawab hanya memalingkan wajahnya, Dafa beranjak menuju keluar ruangan. "Tuan Daffa," panggilan itu menghentikan langkahnya.
"Iya,"
"Bisakah aku meminjam handphonemu, iphoneku hilang saat kecelakaan itu." Ucap Rindi.
Daffa mengeluarkan handphonenya dan menyerahkannya ke Rindi. "Pakailah, pulsanya banyak." Canda Daffa membuat Rindi tersenyum kecil.
Daffa beranjak keluar ruangan dengan kembali memasang kupluk jaket dan kacamatanya. Rindi segera menekan nomor Percy dan mencoba menghubunginya. Tetapi nomornya di luar jangkauan.
Berkali-kali ia menghubungi nomor Percy tetapi hasilnya tetap sama membuatnya menghela nafasnya. Ia merasa sangat kecewa dan sakit hati, Percy seakan melupakannya.
Benarkah dia tidak pernah datang? Apa ini karena Rasya?
Rindi mengusap wajahnya dengan gusar, mendengar kata honeymoon membuatnya frustasi. Bayangan tentang Rasya yang tidur dengan Percy membuatnya tidak rela dan sangat kesal. Bukan hanya itu, kondisi fisiknyapun membuatnya sangat frustasi.
Ia merasa tuhan begitu kejam menghukumnya, bukan hanya kehilangan cintanya, ia juga harus kehilangan kedua kakinya.
Kenapa???
Kenapa tuhan begitu tega padanya? Kenapa dia harus menerima hukuman sepahit ini?
Hanya isakan yang mampu Rindi keluarkan, isakan yang menyayat hati dan begitu memilukan. Ia merasa sangat menyedihkan dan juga kesepian.
©©©
Di Bandung, malam itu Percy dan Rasya terpaksa harus tidur sekamar karena Verrel membawa Leonna ke dalam kamarnya. Setelah menikmati ayam bakar bersama, mereka berdua memasuki kamar tanpa berbicara.
Percy lebih dulu memasuki kamar mandi untuk membersihkan diri. Ia kembali dan terlihat Rasya tengah memainkan handphonenya di atas ranjang. Kebetulan sekali di kamar ini tidak ada sofa panjang.
"Bisakah aku meminjam selimutnya," ucap Percy membuat Rasya menengok dan mengangguk kecil.
Percy lalu mengambil bantal dan selimut, ia tidur di lantai dengan alaskan selimut. "Apa tidak sebaiknya kita berbagi ranjang, ini masih luas. Per," ucap Rasya menahan rasa malunya.
"Tidak perlu, tidurlah sudah malam." Ucapnya merebahkan tubuhnya dengan posisi memunggungi Rasya yang menatap nanar punggung Percy.
Rasya menyimpan handphonenya dan merebahkan tubuhnya dengan posisi menyamping memunggungi Percy yang sudah terlelap di lantai.
Percy belum memejamkan matanya, pikirannya melayang memikirkan Rindi. Ia menghubungi Randa tetapi tidak pernah di angkat. Bayangan Rindi bersama Daffa saat itu terus mengusik pikirannya. Entah kenapa hatinya merasa tak ikhlas, ia menginginkan Rindi tetapi keadaan mempersulit mereka.
Tak berbeda jauh dengan Rasya yang menatap nanar ke depan, ucapan Angga dan Okta terus mengusik pikirannya. Haruskan ia menuruti pikirannya, sedangkan hatinya meminta dia untuk tetap bertahan. Bertahan sampai Percy mau menerimanya, dan entah sampai kapan ia harus bertahan.
Cinta memang sulit di tebak, dan sering kali memainkan hati.
Apa yang harus di pilih, bertahan untuk cinta yang tidak terbalaskan atau memilih pergi meninggalkan semuanya?
Pilihan yang sulit dan sama-sama menyakitkan.
©©©
Daffa kembali lagi datang ke rumah sakit untuk menemui Rindi. Randa juga terlihat aneh akhir-akhir ini, ia terlihat menjodohkan dirinya dengan kembarannya itu. Daffa tau apa yang terjadi dengan Rindi. Selain terkahir kali bertemu Rindi yang terlihat menangis karena perselingkuhan sahabat dan kekasihnya, Randa juga menjelaskan segalanya.
Randa bahkan menanyakan keseriusan Daffa pada Rindi, kalau ia serius maka buat Rindi melupakan Percy. Dan itu sungguh membuat Daffa dilema dan bimbang. Benarkah dirinya mencintai Rindi dan ingin serius?
Bukankah selama ini dia hanya tertarik karena sikap jutek Rindi, Daffa bahkan tidak pernah memikirkan keseriusan dalam sebuah hubungan. Selama ini dia menjalin hubungan hanya sebatas one night stand. Dia tidak memiliki hubungan serius dengan seorang perempuan. Dan sekarang Randa menanyakan itu padanya, sungguh membuatnya bimbang.
Daffa ingin menghentikan kegiatannya menemui Rindi, tetapi hatinya selalu tidak tenang kalau belum melihat Rindi.
Ia menghela nafasnya karena pikiran pikiran itu, ia kembali melanjutkan aktivitasnya menuju ruangan Rindi.
Sesampainya disana, ia terpekik kaget melihat Rindi tengah menggores pergelangan tangannya. Ia berlari mendekatinya dan merebut pisau itu, tak perduli tangannya juga terluka karena memegang bagian yang tajam. Pergelangan Rindi mengeluarkan darah cukup banyak.
"Bodoh!" pekik Daffa.
"Kembalikan pisau itu!"
"Tidak akan pernah! Dimana otak kamu, Rindi?" pekik Daffa melempar pisaunya dan menarik beberapa tissue untuk menghentikan pendarahan di pergelangan Rindi.
"Jangan mencampuri urusanku, pergi!" Rindi menepis tangan Daffa hingga terlepas. "Jangan mencampuri urusanku," ucapnya diiringi tangisannya yang luruh membasahi pipi.
"Tidak akan pernah!"
"Jangan mengasihaniku, aku begitu menyedihkan!" isaknya. "Aku di campakan dan sekarang aku lumpuh. Untuk apa lagi aku hidup!!!" pekiknya menangis sejadi-jadinya membuat Daffa terdiam.
Rindi menangis tanpa perduli darah terus mengalir dari pergelangan tangannya. "Aku tidak tahan lagi, hikzzz... ini sangat menyakitkan," isaknya.
"Aku lumpuh dan aku begitu menyedihkan. AKU INGIN MATI!" jeritnya menangis sejadi-jadinya. "hikz...hikz...hikz..."
Tak lama suster datang karena mendengar keributan itu. Mereka terpekik melihat darah berceceran dari pergelangan tangan Rindi dan telapak tangan Daffa. Mereka langsung memanggil Dhika.
Tak lama Dhika datang bersama Thalita dan kaget melihat keadaan disini. Dhika meminta Daffa keluar dari ruangan dan Thalita langsung mengobati Rindi. Sesuai perjanjian dengan Seno, Dhika sendiri yang akan mengurusi dan merawat Rindi, bukan Angga.
"Kenapa kamu melakukan ini, Sayang." Ucap Thalita mengobati pergelangan tangan Rindi yang belum sampai memutuskan urat nadinya.
Rindi hanya diam membisu dengan menatap nanar langit-langit kamar, Dhika memeriksa kondisi Rindi setelah Thalita selesai menjahit sobek di pergelangan tangannya.
"Om, apa Rindi bisa berjalan lagi." Tanyanya melirik ke arah Dhika.
Dhika menghentikan kegiatannya dan menatap ke arah Rindi dengan tatapan tak terbaca. "Pasti, berdoalah sayang." Dhika tersenyum kecil dan kembali melakukan aktivitasnya.
"Om bohong,"
Dhika terdiam seketika sebelum akhirnya kembali berbicara. "Tidak ada yang tidak mungkin, walau membutuhkan waktu cukup lama dan menjalani beberapa terapi. Om yakin kamu pasti akan bisa berjalan lagi."
Dhika mengusap kepala Rindi dengan lembut. "Jangan mengulanginya lagi, jangan karena keegoisan kamu menyakiti keluargamu sendiri karena kehilanganmu. Papamu selalu menangis saat melihatmu begitu juga dengan Mamamu. Mereka meminta Om melakukan yang terbaik untukmu, untuk kesembuhanmu. Jangan sia-siakan usaha mereka," ucapan Dhika membuat Rindi terdiam membisu,
"Om akan kembali, kamu beristirahatlah." Dhika berlalu bersama Thalita meninggalkan Rindi yang menangis dalam diam. Ucapan Dhika memang benar, ia hanya memikirkan dirinya sendiri tanpa memikirkan keluarganya terutama orangtuanya.
©©©
Daffa kembali memasuki ruangan, Rindi terlihat terlelap di atas brangkar. Ia memperhatikan wajah cantik dan tenang Rindi, ia tidak tau apa yang dia rasakan pada wanita di depannya ini.
Benarkah dia mulai mencintainya atau sekedar menyukainya untuk menemaninya di atas ranjang. Benarkah dia menyukai gadis ini? Tapi apa alasannya,
Rindi terlihat tak nyaman dalam tidurnya karena selang infusan yang mengenai wajahnya. Daffa berjalan mendekatinya dan merapihkan selang infusan itu. Dan Rindi terlelap dalam damai, ia menatapnya dengan seksama.
Tangannya terangkat untuk menyentuh wajah Rindi dan membelainya perlahan.
Walau Rindi selalu jutek dan dingin padanya, tetapi ia mampu melihat sosok gadis lugu dan polos dalam dirinya. Gadis yang terlalu mencintai seseorang hingga menumpu kan otaknya.
"Cantik," gumam Daffa.
Perlahan ia mengecup kening Rindi dan mengusap kepalanya membuat Rindi semakin terlelap dalam tidurnya.
Ia beranjak untuk berlalu pergi tetapi Randa berdiri di ambang pintu bersama Irene sang mama. "Sore tante," sapa Daffa bersalaman dengan Irene.
"Sore," ucapnya diiringi senyuman.
Irene beranjak melewati Daffa menuju kursi di samping brangkar Rindi seraya menyimpan barang yang dia bawa.
"Mau ngopi," ajakan Randa membuat Daffa mengangguk.
Daffa dan Randa berjalan menuju cafetaria rumah sakit. Tak ada yang mengganggu mereka karena ini kawasan rumah sakit milik Dhika. Walau mereka mengetaui kalau Randa dan Daffa adalah seorang artis tetapi mereka tak berani untuk membuat keributan disini.
Daffa dan Randa duduk berhadapan di cafetaria dengan menikmati kopi pesanan mereka. "Gue sudah memutuskan," ucapan Daffa membuat Randa menengok padanya.
"Loe bilang kalau gue tidak serius pada adik loe, gue harus pergi?"
"Ya, karena gue tidak ingin ada yang menyakiti adik gue lagi." Ucap Randa kembali dingin.
"Kalau begitu gue tidak akan pernah pergi. Gue akan menemaninya,"
"Kenapa? Loe mencintainya?"
"Belum,"
"Jadi untuk apa loe tetap di sisinya?"
"Gue bilang belum bukan tidak, berarti suatu saat nanti gue bisa saja mencintainya."
"Lalu apa motif loe sekarang?"
"Gue ingin menjaganya, membuatnya tersenyum. Gue menyukai senyumannya, dan sialnya baru sekali gue melihatnya. Dan gue akan membuatnya terus tersenyum tanpa menangis."
"Loe yakin? Dia hanya mencintai-"
"Percy?" Randa menganggukkan kepalanya. "Gue tidak perduli, gue adalah Daffa, dan seorang Daffa tidak akan mundur sebelum berperang." Ucapnya tersenyum misterius.
"Loe sangat percaya diri."
"Begitu lah Dafa,"
Randa tersenyum kecil menanggapi Dafa, ia berharap kehadiran Daffa mampu membuat Rindi kembali bangkit dari keterpurukannya dan bisa berbahagia. Randa sungguh tidak tenang melihat kondisi Rindi sekarang.
Ia bahkan menunda pernikahannya dengan Samuel, karena Samuel memintanya untuk pindah ke Swis. Tetapi Randa tidak bisa pergi sebelum kembarannya berbahagia,
Bukankah ikatan persaudaraan itu sangat penting?
Tidak ada seorang Kakak yang akan diam saja saat adiknya di sakiti.
©©©
Percy dan Rasya kembali ke Jakarta karena Leon masuk ke rumah sakit. Setelah beberapa hari mengurus pekerjaannya di Bandung, hari ini Percy menyempatkan diri untuk menjenguk Rindi di rumah sakit.
Sesampainya disana, Rindi tidak ada di dalam kamarnya. Percy menunggunya di ambang pintu hingga tak lama Rindi datang bersama Daffa yang mendorong kursi rodanya.
Tatapan mereka berdua bertemu dengan Percy yang berdiri memegang sebucket bunga di tangannya. Percy menatap Rindi dan Daffa bergantian, ia menatap tajam ke arah Daffa yang juga di balas dengan tatapan tajam olehnya.
"Tuan Daffa, bisa tinggalkan kami berdua." Ucap Rindi,
"Baiklah, aku akan ke cafetaria." Ucapnya membelai kepala Rindi di depan Percy membuat Rindi sedikit tak nyaman dengan yang baru saja Daffa lakukan padanya.
Daffa berlalu pergi meninggalkan mereka berdua, tak ada yang berbicara satu sama lain. Keduanya masih diam membisu dengan kecanggungan mereka. Rindi yang duduk di atas kursi roda juga terlihat canggung sekali setelah lama tak melihat Percy.
"Bagaimana keadaanmu?" pertanyaan Percy membuatnya menengadahkan kepalanya.
"Seperti yang kamu lihat," cicitnya.
"Ini untukmu," Percy menyimpan sebucket bunga di pangkuan Rindi. Bunga kesukaannya,
"Terima kasih,"
Percy berjalan mendekati Rindi dan mendorong kursi rodanya menuju ke dalam ruangannya. Ia juga membopong tubuh Rindi untuk merebahkan tubuhnya di atas brangkar dan merapihkan inpusannya. Rindi hanya menatapnya dengan tatapan penuh kerinduan.
Setelahnya Percy duduk di kursi yang ada di dekat brangkar, "Kamu terlihat dekat dengannya." Ucapan Percy membuat Rindi sedikit tidak enak.
"Kami hanya berteman, dia datang untuk menjengukku." Percy hanya menjawab dengan ber-oh saja tanpa ingin memperpanjangnya. "Kamu bagaimana dengan Rasya? Aku dengar kemarin kalian honeymoon." Ucapan Rindi membuat Percy mengernyitkan dahinya bingung.
"Honeymoon? Yang benar saja." Kekehnya penuh kekesalan.
"Kamu bahkan tidak pernah datang kesini, apa Rasya melarangmu?"
"Siapa yang mengatakan itu?"
"Itu tidak penting, hanya saja aku salut ternyata Rasya begitu cepat mendominasimu."
"Itu tidak benar, Rindi."
"Lalu,"
"Aku datang kesini, menunggumu untuk sadar. Aku bahkan tidak ke kantor dan meninggalkan Rasya sendirian bahkan di malam pertama kami. Aku meninggalkannya karena kamu, dan kamu malah menghinanya."
"Kenapa kamu marah?"
"Karena tuduhanmu tentang Rasya itu tidak benar," ucapan Percy membuat Rindi menelan salivanya sendiri. Ada kekesalan di dalam hatinya mendengar Percy membela Rasya.
"Aku pergi ke Bandung untuk membangun resort yang bekerjasama dengan om Gator, Verrel dan Caren. Awalnya aku tidak ingin pergi, tetapi saat terakhir aku kesini aku melihatmu sudah siuman dan di temani pria tadi."
"Kamu datang kesini?"
"Iya, memang tidak ada yang memberitahumu? Atau kamu tidak mempercayaiku?" pertanyaan Percy membuat Rindi terdiam.
"Jadi Randa berbohong," gumamnya.
"Apa?"
"Tidak, bukan apa-apa. Aku senang kamu bisa datang kesini, aku pikir kamu melupakanku." Ucap Rindi menampilkan senyumannya.
"Aku tidak mungkin melupakanmu," Percy menggenggam tangan Rindi dan mengecupnya. "Aku sangat merindukanmu,"
Rindi tersenyum bahagia mendengarnya, "Aku juga sangat merindukanmu, Percy."
"Kenapa dengan pergelangan tanganmu? Saat aku menemanimu, luka ini belum ada." Tanya Percy menunjuk ke perban di pergelangan tangannya.
"Aku-"
"Apa yang kamu coba lakukan, Honey?"
"Aku lumpuh, aku tidak bisa berjalan lagi." Isaknya, "dan kamu-," tangisannya pecah membuat Percy beranjak memeluk tubuh Rindi yang menangis.
"Maafkan aku, sungguh maafkan aku."
"Kenapa kita jadi seperti ini, Honey? Aku ingin kita seperti dulu," isak Rindi memeluk tubuh Percy dengan sangat erat. "Aku takut,"
"Aku disini untukmu," bisik Percy.
"Lalu Rasya?"
Ucapan Rindi membuat Percy melepaskan pelukannya dan menatap Rindi yang menangis terisak. "Aku tidak ingin berbagi, Percy."
Percy menundukkan kepalanya memikirkan ucapan Rindi. "Ceraikan Rasya dan kembalilah kepadaku."
Deg
Percy menatap Rindi dengan nanar diiringi kernyitannya. "Aku tidak bisa tanpa kamu, aku takut. Apalagi sekarang aku lumpuh, aku butuh kamu Percy."
"Rindi,"
"Kalau kamu tidak bisa menceraikannya, maka jangan pernah menemuiku lagi."
Deg
"Apa yang kamu katakan?"
"Aku butuh kamu, dan aku menginginkan kamu seutuhnya tanpa harus ada Rasya di antara kita."
"Tapi kami baru saja menikah,"
"Kamu mencintainya?"
"Tidak,"
"Lalu apa masalahnya? A-apa kamu sudah tidur dengannya?" tanya Rindi dengan tangisannya.
"Tidak, aku belum pernah tidur bersama."
"Lalu apa masalahnya? Lepaskan dia, Percy. Aku mohon," isaknya. "aku butuh kamu,"
"Pernikahan ini masih seumur jagung, dan aku tidak tega membuat Rasya janda di waktu yang secepat ini. Dan keluarganya juga akan sangat marah, ini akan memperparah keadaan." Ucap Percy.
"Lalu bagaimana?"
"Beri aku waktu, aku akan menceraikannya tetapi menunggu waktu yang tepat. Kamu bisa bersabar kan."
"Berapa lama aku menunggu?"
"satu tahun,"
"Itu terlalu lama, kamu gila!" pekiknya.
"Oke, berapa lama?"
"6 bulan, lalu ceraikan dia."
"Oke,"
Rindi langsung memeluk tubuh Percy dengan perasaan senang, "Aku mencintai kamu."
"Aku juga," bisik Percy mengecup kepala Rindi dan mengusap punggungnya.
©©©
Percy pulang tepat pukul 9 malam, Rasya sudah menyiapkan makan malam untuknya. "Sya, bisa kita bicara."
Rasya mengangguk dan mengikuti Percy menuju sofa di ruang televisi. Mereka duduk berhadapan. "Sya, kamu sudah dengar kondisi Rindi?"
Rasya menganggukkan kepalanya, "Pretty yang mengabariku."
"Dia membutuhkanku Sya," ucapnya membuat Rasya terdiam membisu, ia meremas kedua tangannya sendiri karena gelisah.
"Beberapa jam ini aku sudah memikirkan segalanya, aku tidak bisa membiarkan Rindi sendirian menghadapi kesulitannya." Rasya menatap Percy dengan mata yang berkaca-kaca.
"Aku membuat ini untuk kita berdua." Percy mengeluarkan map dari dalam tasnya dan menyerahkannya ke Rasya.
Surat kontrak Pernikahan
"Apa maksudnya ini?" tanyanya diiringi kernyitannya.
"Aku ingin kita membuat kesepakatan, kita akan menjalani pernikahan selama 6 bulan dari sekarang. Setelahnya kita akan bercerai."
"Apa?" pekiknya.
"Dengar Sya, ini yang terbaik untuk kita. Aku tau selama ini kita terlihat layaknya pasangan suami istri, pahamilah ini tidak akan berjalan dengan baik. Dan Rindi disana membutuhkanku,"
"Lalu bagaimana denganku?" tanya Rasya yang sudah berkaca-kaca.
"Kebutuhanmu akan tetap aku penuhi, kamu bisa bebas dan mencari pria lain yang bisa mencintaimu."
"Tidak semudah itu, Percy? Kenapa kalian hanya memikirkan perasaan kalian berdua?" pekik Rasya sudah kesal membuat Percy bingung.
"Ada apa Rasya?"
"Kamu ingin menjadikanku jandamu? Dimana perasaanmu selama ini Percy? Selama ini aku menahan diri, aku membiarkanmu terus menemui Rindi. Kamu bahkan tidak pernah menganggapku ada. Aku tetap diam, tetapi kenapa sekarang kamu ingin menceraikanku dengan surat kontrak ini?? Kamu pikir aku ini wanita apa???"
Rasya beranjak pergi memasuki kamarnya diiringi tangisannya membuat Percy mematung kaku, dia sangat kaget dengan respon Rasya. Ada apa dengannya,,,,
Rasya menangis sejadi-jadinya di dalam kamarnya, sedangkan Percy masih duduk di tempatnya dengan tatapan kosong menatap surat kontrak di depannya.
Berbeda dengan Rindi yang tersenyum senang memegang bunga yang Percy berikan tadi, ia hanya butuh bersabar selama 6 bulan. Lalu ia akan memiliki Percy kembali,
***