webnovel

Diego & Irene

Aku hanya seorang gadis malang. Hidupku itu sangat keras, dan semua itu dimulai saat aku diculik oleh penjahat. Mereka membawaku ke New York dan aku tiba-tiba terbangun dengan keadaan sudah berada di negara gemerlap itu, tepatnya disebuah klub. Ternyata aku dijadikan budak, seorang wanita pemuas nafsu, alias jalang. Mereka menjual tubuhku. Aku sangat menderita, terutama saat malam itu. Dimana seorang pria berhasil menjamah tubuhku dan mengambil keperawananku.

Nainaa · Adolescente
Classificações insuficientes
81 Chs

Chapter 3 : Diego Tertarik Dengan?

Tok! Tok! Tok!

"Bukaa! Buka pintunya!"

Irene menggedor-gedor pintu dengan keras. Namun tidak ada satupun yang mau membukakan pintu untuknya.

Tubuhnya meringsut kebawah ketika tenaganya sudah tidak tersisa lagi. Ia ingin menangis, harapan untuk hidup bahagia bersama ibunya lenyap secara tiba-tiba.

Jangan nangis Irene! Kau harus kuat!

Irene mengusap matanya yang berair. Dengan tekad yang kuat, ia kemudian bangkit dan menarik nafas dalam-dalam. Satu hal yang harus ia lakukan adalah, segera kabur dari tempat ini.

"Itu dia!" Mata Irene menerawang ke seluruh ruangan hingga penglihatan nya terhenti pada sebuah jendela besar, mungkin ia bisa keluar lewat benda itu.

Irene pun berjalan mendekati jendela dan ia melihat kebawah. Alangkah terkejutnya ia saat mengetahui jarak dari kamar ini dengan tanah yang hampir melebihi dua puluh meter.

"Bagaimana ini?!"

"Jika aku melompat maka aku akan mati."

"Arghh!" Irene menarik rambutnya frustasi.

Kali ini, Irene harus mencari akal. Tidak!Bukan saat nya gadis itu untuk menyerah. Ia baru memulai perjuangan hidupnya.

Tidak ada yang tidak mungkin di dunia ini.

Irene pun segera mencari tali. Sebuah tali tambang berukuran panjang akan membantunya untuk turun dari atas sini.

"Ketemu!" Akhirnya Irene berhasil menemukan sebuah tali yang tersimpan dibalik lemari.

Irene pun membuka jendela itu lalu mengganjalnya dengan bantal. Ia pun mengikat ujung tali tersebut ke pinggiran ranjang. Setelah dipastikan terikat dengan kuat, Irene pun langsung membuang tali itu ke luar jendela yang berhasil mencapai titik dasar.

Irene pun tersenyum penuh kemenangan, setidaknya cara ini akan berjalan sesuai dengan harapannya.

Srek!

Irene merobek gaun ditubuhnya lalu menggantinya dengan seragam sekolahnya yang sempat ia tanggalkan.

Tidak lupa, high heels yang tadi ia pakai, langsung ia buang dengan asal keluar jendela.

Dengan kakinya yang telanjang, Irene menaiki jendela lalu berpegangan erat dengan tali tersebut saat tubuhnya mulai bergerak kebawah.

Tap

Tap

Tap

"Tunggu!"

Irene mendongakkan wajahnya terkejut. Mata nya membulat saat menyadari seseorang telah menahan tangannya.

Seorang pria tiba-tiba saja menggenggam tangan nya, menahan dirinya agar tidak turun.

Irene bergelantungan di dinding kamar dengan sebelah tangannya yang digenggam kuat oleh pria bertubuh jangkung itu.

"Lepasin! Biarkan aku pergi darisini!" Irene memukul tangan kekar milik pria itu namun genggaman ditangan nya semakin kuat.

"Apa yang kau lakukan, bodoh!"

Dengan sekali hentakan kasar, tubuh Irene langsung terangkat keatas dan mereka jatuh bersama dengan Irene yang menindih tubuh pria itu.

"Sa-sakit.. hiks..." Irene menangis karena rasa perih dipergelangan tangannya.

Irene menangis di atas dada bidang pria itu. Tangisannya membuat setelan jas pria itu menjadi basah.

"Minggir!" Geraman rendah itu berhasil membuat Irene terkesiap.

Buru-buru Irene bangkit seraya mengusap pipinya yang basah, tak lama ia bergerak mundur menjauhi pria yang masih terbaring didepannya.

Irene menggigit ujung jarinya dengan gemetar. Pria yang barusan menggagalkan rencana nya tengah berdiri dengan kilatan tajam yang mengarah padanya.

Minim nya cahaya membuat ia tidak bisa melihat dengan jelas wajah pria itu. Matanya menangkap siluet gelap seorang pria yang tengah berjalan dengan pelan kearah nya. Pelan bagai ancaman untuk Irene. Dia berjalan semakin dekat hingga berhasil membuat otot-otot nya menegang.

Irene kembali melangkah mundur. Namun ia menghentikan langkahnya ketika punggungnya tak sengaja bertabrakan dengan dinding.

"Ja-jangan mendekat!" Irene memeluk tubuhnya yang saat ini menggigil ketakutan.

Ia tersudut dipojok ruangan. Ketakutan kembali menguasai dirinya ketika pria itu mempercepat langkahnya, seolah mengancamnya. Hingga kini tubuh Irene terperangkap diantara tubuh lelaki asing itu dan tembok dibelakangnya.

Dengan waspada, Irene membalikkan badan dan mengambil ancang-ancang untuk segera menjauh dari pria asing itu.

"Mau kemana kau?!"

Deg!

Irene terkejut bukan main. Sebuah telapak tangan besar menghantam dinding didepannya.

"Ja-jangan halangi aku." Irene berusaha bicara namun terdengar begitu lirih. Ia menunduk takut menatap kakinya yang sejajar.

Irene dapat merasakan hembusan nafas memburu yang terasa panas menjalar disepanjang lehernya. Nampaknya pria itu sedang menahan emosinya.

Pria yang berada didepannya tiba-tiba saja mendorong bahunya dan berhasil membuat Irene meringis.

Irene mendongakkan kepalanya tinggi-tinggi menatap pria yang masih mengurung tubuhnya.

Irene merasa terpana saat pertama kali melihat wajah pria dihadapannya. Seorang pria dengan rahang yang keras tengah menatapnya dengan tajam, namun mata birunya mampu menenggelamkan. Alisnya yang gelap menunjukkan dominasinya sebagai pria. Tampan namun menakutkan. Tubuhnya yang tegap dan menjulang tinggi serasa sempurna dengan otot-otot yang bersembunyi dibalik jas hitam kerjanya.

"Aku bukanlah pria baik yang melepaskan mu semudah itu."

Pria itu tersenyum membentuk seringai. Namun terlihat sangat mengerikan dimata Irene.

Tangan Irene tidak tinggal diam, tangan nya berusaha mendorong tubuh pria itu yang tanpa permisi mendekatkan wajahnya. Tak bisa melawan, buru-buru Irene menjauhkan wajahnya hingga benturan keras mengenai belakang kepalanya.

"Kenapa? Kau takut padaku?" Satu tangan nya melingkari pinggang ramping Irene untuk mencegah gadis itu tidak lari. Sementara satu tangannya merayap dipunggung Irene. Ia bisa merasakan payudara Irene yang membusung menggesek penuh di dadanya.

"Le..lepas!" Suara Irene tercekat. Ia sampai lupa caranya bernafas saat pria itu mengendus tubuhnya. Menempelkan hidungnya diceruk leher Irene dan menjilati ujung telinga nya.

"Sial!"

Pria itu mengumpat. Kenapa aroma yang berasal dari gadis ini sangat manis? Miliknya terasa sakit karena menegang dengan gagah, hanya dengan wangi tubuh gadis kecil itu membuat libidonya menyeruak.

"Apa kau pekerja baru disini?"

Irene dapat mendengar suara geraman rendah dari pria didepannya yang sepertinya tengah menahan sesuatu.

Irene menggeleng pelan, "A-aku..."

Ucapan Irene terhenti ketika tangan pria itu turun kebawah dan meremas salah satu pantatnya dengan cukup keras.

Kurang ajar! Baru kali ini ia disentuh dan dilecehkan seperti ini.

"Be-beraninya kau! Dasar brengsek!" maki Irene. Dia mengepalkan tangan, amarahnya langsung naik

Sekuat tenaga, Irene mendorong dada laki-laki itu hingga terlepas.

Irene sangat marah. Apa laki-laki itu mengira dirinya seorang pelacur ditempat ini?!

"Gadis aneh! Kau tidak tau siapa saya hm?"

Pria itu tersenyum tipis dan matanya menatap remeh kearah Irene. Selama ini belum ada seorangpun gadis yang menolak sentuhan nya. Baru kali ini dan dia... gadis aneh itu yang pertama kali menolaknya. Well, tantangan menyenangkan.

"Tidak! Itu tidak penting!" Irene menatap kesal pada pria tampan didepannya. Baginya itu sama sekali tidak menarik, yang terpenting sekarang adalah segera keluar dari kamar ini.

Pria berkulit coklat kekuningan itu melepaskan jasnya lalu membuang asal ke lantai. Dengan cepat ia menggulung kemejanya hingga siku. Menampilkan urat-urat ditangannya yang terlihat kokoh.

"Seorang Diego Alfaro. Belum pernah ditolak oleh wanita. Dan kau?... berani sekali kau melawan ku."

Diego menatap gadis dihadapannya dengan pandangan tertarik. Matanya memindai gadis itu dengan lihai. Terlihat cantik dan begitu menggairahkan saat ketakutan.

"Kenapa kau memakai seragam sekolah? Selain aneh, kau juga bodoh."

Diego tertawa. Tapi terdengar kejam ditelinga Irene.

Irene mengepalkan kedua tangannya. Barusan pria itu mengatainya? Ingin rasanya Irene menutup mulut itu dengan kaos kaki yang menempel di kakinya.

Kemudian Irene melangkah mundur. Membuat ancang-ancang untuk lari ketika melihat pintu yang telah sedikit terbuka.

Ia berbalik dan berlari, namun baru dua langkah kecil, tiba-tiba saja dari belakang Diego menangkapnya dan memeluk perutnya.

"Kau berani lari rupanya. Aku bahkan belum menikmati tubuh mu, sayang." Bisik Diego ditelinga nya. Ia terkekeh pelan namun menakutkan.

"TIDAK!"

To be continue.