"Apa kamu tidak keliru Danis, membawa wanita ini ke rumah ?" tanya mamanya penuh amarah sambil menuding Citra. Kekasih yang amat dicintai itu ternyata ditolak mentah-mentah oleh seluruh anggota keluarganya.
"Tidak Ma, Danis tidak keliru. Danis sangat mencintai wanita ini," ungkap Danis sambil memegang tangan Citra dengan sangat erat.
"Jangan makan cinta Danis. Keluarga ini akan dipandang sebelah mata jika kamu menikah dengan wanita ini. Orang tuanya itu dulunya pencuri. Mama dan Papa sudah mengorek-ngorek asal-usulnya. Apakah kamu mau mempermalukan kami?" tanya mamanya berapi-api. Emosi mamanya juga membuncah.
"Tidak Ma, tetapi Danis tidak seperti orang tuanya," ungkapnya perlahan. Danis berharap mamanya mau menerima Citra.
"Kata siapa tidak akan seperti orang tuanya. Putraku Danis dengarkan Mama. Buah itu tidak akan pernah jatuh jauh sekali dengan pohonya. Pasti akan ada di sekitarnya jadi kamu perlu tahu betul soal itu," papar Mamanya.
"Iya Ma Danis paham betul soal itu. Tapi lihat dulu ketulusan Citra Ma. Dia setiap hari mengajari anak jalanan untuk membaca. Bukankah itu adalah perbuatan yang mulya. Citra tidak sama dengan orang tua nya Ma. Citra ini berbeda dari yang Mama kira. Danis bakal tanggung jawab dengan apa. yang Danis pilih dan apa yang Danis katakan," timpalnya
"Citra terus yang kamu sebut. Tetapi Citra itu tidak sekufu tidak sederajat dengan kamu Danis. Papamu ini orang terhormat, keturunan ningrat. Punya jabatan, pendidikan yang mapan. Mama juga sama dari keturunan yang mumpuni. Pendidikan tinggi dan mapan. Itu namanya sederajat. Kamu ini mau S3 pastikan istri kamu S2. Bukan Citra perempuan ini. Dia lulusan SMP Danis. Mau ditaruh mana muka Mama di gunjing komunitas, " papar mamanya panjang lebar.
"Kalau Mama menginginkan menantu berpendidikan, Danis akan wujudkan itu buat Mama. Nanti Citra akan kejar paket dan kuliah. Bagaimana Ma? " tanyanya penuh percaya diri.
"Stop Danis, stop. Bukan itu yang Mama harapkan. Mama hanya ingin kamu tidak lagi berhubungan dengan Citra. Mama sudah punya kriteria calon mantu untukmu. Bahkan Mama sudah setuju menjodohkanmu dengan Lunara. Pokoknya bukan Citra titik, " ucap mama nya jelas dan tanpa jeda
Mendengar itu membuat Danis tertunduk lesu. Citra yang berada di sampingnya pun merasa lemas tak berdaya. Citra memegangi tangannya dengan gemetar. Wajahnya juga sangat sedih.
Dengan sangat lirih ia mengatakan pada Danis. Ia mengatakan yang bertentangan dengan hatinya. Ia sebenarnya tidak rela jika harus meninggalkan Danis. Karena Danis adalah laki-laki yang ia butuhkan.
"Taatilah Mamamu, aku tidak papa. Memang tempatku bukan disini. Jadi Mas Danis tidak perlu khawatir," ungkap Citra.
"Tidak Citra aku akan tetap mempertahankanmu karena aku sangat mencintaimu Citra," ucap Danis. Ia tidak setuju dengan ucapan Citra.
"Cinta saja tidak cukup Mas Danis, kamu harus mendapat restu. Karena itu yang paling utama. Biarlah aku yang mengalah," ungkap Citra dengan sangat sedih.
"Sudah-sudah. Jangan lama disini kamu Citra! Pergi sana! Jangan ganggu anak saya yang tampan dan mapan ini. Kamu tidak pantas mendapatkan dia karena kalian tidak sederajad. Dan kamu jangan banyak bicara! Paham!" bentak mamanya kepada Citra.
Danis sangat kecewa dengan kata-kata kasar mamanya. Tidak disangka akan keluar begitu sadisnya. Padahal mamanya adalah panutannya selama ini dalam bersikap dan bertutur kata yang baik.
Mendengar bentakan mamanya Danis. Citrapun meneteskan air mata. Harga dirinya tengah di injak. Sedangkan harapannya agar bisa bersama Danis sudah pupus.
Seolah nasi menjadi bubur. Tidak ada kata lagi yang bisa ia keluarkan. Citra menahan emosi. Ia menatap Danis. Wajah tampan yang menghiasi hari-harinya akan sirna. Danis baginya adalah pria idaman.
"Aku pulang dulu Danis, sampai jumpa dan selamat tinggal," ucap Citra sambil melepaskan tanganya yang memegang Danis. Nafas Danis berubah tidak beraturan. Ia sedih bukan kepalang.
Citra mulai menjauh darinya.
"Tidak Citra jangan tinggalkan aku. Hariku akan senyap tanpamu. Citra jangan tinggalkan aku. Tetaplah disini. Berilah aku waktu untuk berbicara membelamu," ucapnya dengan genangan air mata yang ia tahan.
Suasana mereka berdua berubah menjadi lebih pedih. Citra menjauhi Danis. Ia berbalik arah dan perlahan melangkah.
"Danis jangan kejar dia atau kamu bukan anak mama lagi," cegah mamanya dengan sebuah ancaman yang menurutnya tidak relevan.
Danispun tidak bisa mengejar Citra. Ia takut perkataan mamanya akan menjadi sebuah karma dan bumerang lebih jauh lagi.
Hatinya sangat hancur. Wanita yang ia dambakan dan ia cintai harus terhalang restu mamanya.
Padahal tinggal selangkah lagi dari semua komitmen yang ia jaga. Hanya menikahlah komitmen paling tertinggi dari semua impiannya. Dan impian itu hanya bersama Citra yang kini seoalah pupus dalam sekejap.
Danispun mencoba melangkahkan kakinya. Namun mamanya sudah sigap berteriak.
"Jika kamu berani maju selangkah lagi, kupastikan kamu bukan anakku lagi Danis," ujar mamanya. Kata-kata yang membuatnya kaku seketika.
Ia masih tidak menyangka dengan ucapan mamanya. Dulu mamanya tidak begitu.
Mamanya kemudian meninggalkan ruang tamu. Sepertinya tante Mely percaya bahwa Danis menuruti perintahnya.
Danis tertunduk lesu. Ia kemudian kembali ke kamarnya dengan hati yang sangat hampa.
Tiba-tiba saja suara petir bergemuruh. Memenuhi pendengaranya. Hujan juga mulai turun. Tetesan nya semakin deras. Ia kembali teringat Citra.
Ia ingin sekali mengejar Citra. Namun apalah daya perkataan mamanya seolah tidak main-main.
Sedangkan di luar sana Citra tidak menemukan taksi sama sekali. Ia basah kuyup di terpa hujan.
Sebenarnya ia ingin menghubungi Danis namun ia teringat akan kejadian tadi.
Saat ia hendak berteduh ada sebuah mobil putih melaju ke arahnya. Citra merasa ketakutan hingga ia menepi dan tidak melirik ke arah mobil tersebut.
"Bolehkah saya memberi tumpangan?" tawar sang pengemudi mobil. Citra akhirnya menoleh dan melihat sang sopir.
Citra ingin menolak namun ia sangat membutuhkan tumpangan. Tetapi disisi lain hati nuraninya bergejolak.
Karena sopir yang mengendarai mobil itu masih muda dan tampan. Ia takut akan terjadi sesuatu pada dirinya.
"Tenang saja aku tidak akan menyakitimu," ucap sopir itu.
Citra masih menimbang-nimbang. Sedangkan petir berulang kali berbunyi dengan suara menggelegar dan hujan tambah deras.
"Ini hujannya akan lama. Terus belum lagi jalanan sepi dan tambah malam. Bukanya kalau tambah malam justru kendaraan semakin sedikit. Belum lagi kalau ada preman,"
Mendengar penuturan Frans ada benarnya juga. Akhirnya dengan terpaksa ia harus mengiyakan ajakan supir tampan itu. Ia masuk ke dalam mobil dengan batin yang was-was.
Beberapa kali ia melihat spion mobil. Melihat ekspresi sopir muda itu. Namun ia layaknya sopir yang baik. Tidak ada senyuman licik dan sebagainya. Hatinya mulai tenang.