webnovel

Patah hati

Sepi. Malam yang kian larut ditambah guyuran hujan membuat para penghuni rumah kian lelap dalam buaian mimpinya. Hima yang berada dikamar pun hanya mampu menatap rintik hujan dari balik jendela kamarnya.

Terbuai dalam lamunan yang menyakitkan, bagaimana bisa dia berada diposisi yang begitu menyulitkan, dan sekaligus menyakitkan.

Ardan laki-laki yang sudah tiga tahun menjalin hubungan dengannya tiba-tiba memutuskan hubungan begitu saja. Tak tau apa penyebabnya, dan Hima hanya menjawab 'YA' kala Ardan mengakhiri hubungan mereka.

Dan siang tadi baru terkuak apa sebab Ardan meninggalkannya, Santi. Sahabat dekat Hima yang tega menjebak Ardan dalam jeratan cintanya.

Semua diluar dugaannya, bagaimana bisa dia berkutat dalam masalah sepelik ini.

"Ya Allah kuatkan hambamu, jangan biarkan hamba terhanyut dalam kebencian, jangan biarkan hamba terbisiki setan yang menjerumuskan." Gumam Hima disela lamunannya.

Pada saat seperti keadaan kita lemah seperti inilah biasanya setan akan berusaha untuk merasuki hati kita, menanamkan kebencian dan kejahatan. Setan akan mengiring manusia dengan emosi sebagai jalan untuk menyelesaikan masalah.

"Astaghfirullahaladzim." Hima beristighfar dalam hati, hatinya berdenyut nyeri jika mengingat perjalanan cintanya dengan Ardan, tiga tahun bukanlah waktu yang sebentar, tapi rentangan waktu yang cukup lama.

Namun jika ia tak mengalah maka apa yang akan terjadi pada Santi akan lebih parah, karena Santi adalah sosok yang ambisius dan bisa berbuat nekat, hal inilah yang tak diinginkan oleh Hima, walau Santi telah menyakitinya, namun dia tetap sahabatnya.

Lagi, Hima menghela napas panjang, di masih saja terhanyut dalam lamunannya, hingga derai hujan yang tadi lebat kini berganti angin sepoi yang menyejukkan. Jika ini adalah siang pasti setelah hujan deras akan terbit pelangi indah yang muncul setelahnya. Begitu juga yang diharapkan Hima. Pelangi dihatinya akan segera terlukis menggeser badai yang kini sedang bergelayut dan menyesakkan dadanya.

Perlahan Hima menutup jendela kamarnya, kemudian rebah di kasur berusaha untuk memejamkan matanya. Dia harus menyongsong hari bahagia Santi esok hari. Dimana seharusnya merupakan hari kebahagiaannya, karena seharusnya besok dia yang akan bertunangan dengan Ardan, namun kenyataannya Santilah yang menggantikan posisinya di samping Ardan.

Lengkaplah sudah sepi mengurung relung hati, jiwa nelangsa terbuai nyeri. Hima terus berusaha memejamkan mata, meramalkan kalimat istighfar berulang kali sebagai obat penenang jiwa yang bergejolak.

Hampir tengah malam, Hima baru dapat tidur, entah berapa banyak hafalan yang ia lafadz kan hingga ia dapat tertidur.

Pagi harinya, Hima sudah bersiap hendak pergi ke rumah Santi namun ucapan dari kakaknya menghentikan langkahnya yang hampir sampai di ujung ruang tamu.

"Buat apa kamu ke sana? buat nambahin rasa sakit hati kamu? lebih baik kamu dirumah bantuin ibu." Ucap Mas Aziz tanpa menatap Hima, tangannya sibuk membelai kucing persia yang kemarin baru saja ia beli.

"Lha mbok ya biarkan adikmu pergi, toh dia sudah legowo, mungkin memang Ardan bukan yang terbaik buat adikmu." Kata Ibunya, pelan dan penuh kasih.

Aziz mendesah panjang, lalu didalam hati beristighfar, menyadari kekeliruannya, tak seharusnya dia menanamkan kebencian dihati adik perempuannya ini, setelah hatinya tenang Aziz lantas berbicara dengan pelan.

"Mana kunci motormu, biar mas antar."

Hima melangkah mendekati Aziz, lalu memberikan kunci motornya. Aziz masuk kedalam kamarnya mengganti kaos dengan kemeja serta celana panjang kain.

Aziz mendekat ke ibunya, mencium tangan sambil berpamitan.

"Bu, kami pergi dulu sebentar, nanti setelah dari acara Santi baru kami akan membantu ibu. Assalamualaikum . . . ' Kata Aziz, Hima melakukan hal yang sama berpamitan dengan Ibunya.

" Waalaikumsalam, Hati-hati, tak usah buru-buru." Sahut Ibunya.

Kemudian Aziz menuju ke halaman dimana motor Hima telah terparkir. Hima pun menyusulnya.

Wajah Santi yang semula berbinar kebahagiaan karena pertunangannya dengan Ardan, mendadak berubah masam begitu ia melihat kedatangan Hima dan kakaknya. Namun berbeda dengan Ardan, laki-laki ini begitu penuh kerinduan pada sosok Hima, gadis yang selama tiga tahun mengisi hatinya, kini hanya sesal yang Ardan rasakan tentang kebodohan yang telah ia lakukan.

"Selamat ya San, semoga lancar ya sampai hari pernikahan kalian." Ucap Hima tulus, walau sebenarnya hatinya terasa perih tak terkira.

"Trimakasih, Him. . . Maafkan aku." Santi berbasa-basi pada sahabatnya, karena yang sebenarnya dia sangat bahagia bisa mengalahkan Hima dan mendapatkan Ardan.

Pandangan Hima beralih pada Ardan, kemudian berucap dengan pelan,

"Selamat ya mas, semoga kamu bahagia dengan pilihan kamu." Tanpa menunggu jawaban Ardan, Hima langsung pergi meninggalkan tempat pertunangan Ardan dan Santi.

Ardan hendak mengejar namun Aziz terlebih dulu menghalanginya, mana mungkin dia membiarkan laki-laki yang menyakiti adiknya ia biarkan mendekat ke adiknya lagi, walau itu hanya untuk mengucapkan salam perpisahan tak kan pernah ia ijinkan, tak kan pernah.

Hima duduk diatas motornya berboncengan dengan Aziz kakaknya, hatinya sakit namun ia mencoba untuk ikhlas, dia berharap kelak dia akan mendapatkan laki-laki yang lebih baik dari Ardan dan tak kan menyakitinya.

"Kamu baik-baik aja kan, dik?" Tanya aziz pelan dan hati-hati takut menyingung perasaan adiknya.

"Hima baik-baik aja, Mas . . . Hima sudah ikhlas, mungkin ini yang terbaik untuk Hima dan Mas Ardan."

"Baguslah kalau begitu, Mas yakin suatu saat kamu akan mendapatkan laki-laki yang menerima mu apa adanya, dan mencintai kamu dengan tulus."

"Amiin, Mas."

Keadaan kembali hening, hanya deru motor yang berlalu lalang di jalanan kampung yang sepi.

Setibanya di rumah, Hima langsung masuk kedalam kamarnya, menganti gamisnya dengan pakaian muslim yang lebih santai, kemudian menuju ke halaman belakang dimana ada ibunya yang sedang mengupas kacang tanah untuk dijadikan cemilan.

"Assalamualaikum, bu . . ." Ucap Hima kemudian mencium tangan ibunya.

"Waalaikumsalam, kalian sudah pulang? Kog cuma sebentar, Mas mu mana?" Kata ibu, sambil melihat-lihat di belakang Hima mencari anak laki-lakinya.

"Mas Aziz cuma nganterin Hima pulang bu, lalu dia pergi ke toko, katanya ada orang yang menunggunya." Jawab Hima sopan sambil membantu Ibunya mengupas kacang tanah.

"Oh, yawes kalo gitu, kamu ga apa-apa to?" Tanya Ibunya.

"Ya ga apa-apa lah bu, Hima kan sudah bilang sama ibu, kalo Hima sudah ikhlas melepas Mas Ardan untuk Santi." Hima berusaha tersenyum agar Ibunya tidak mengkhawatirkannya.

"Baguslah kalau gitu, patah hati itu wajar berarti sedihnya juga harus wajar juga, karena sewajarnya cinta yang lain akan datang, setelah kamu ikhkas melepaskannya, fokus ke masa depan lebih penting, berarti Allah memberimu keempatan untuk mengejar harapan dan cita-citamu sebelum kamu swibuk dengan kewajiban mu sebagai istri."

Hima tersenyum mendengar perkataan ibunya, dia tak menyangka disaat seperti ini ibunya benar-benar bisa menjadi sahabat terbaik untuknya, berbeda dengan pembawaan ibunya yang tegas dan disiplin dalam mendidik anak-anaknya.