Azka dan Amara pergi ke rumah sakit. Mereka menemui tim bagian forensik untuk melihat mayat yang tadi ditemukan di sungai.
"Untuk bisa mendapatkan bukti dari sidik jari dan noda darah, harus menunggu berapa lama?" tanya Azka pada dokter yang menangani.
"Kurang lebih perlu waktu satu minggu. Nanti saya akan kasih kabar lagi jika hasilnya sudah keluar. Mayat yang tadi ditemukan sudah banyak kehilangan organ tubuhnya. Tidak hanya jari kaki saja yang hilang, tapi hampir semua organ tubuh dalamnya juga telah hilang," jawab dokter tadi menjelaskan.
Mendengar penjelasan dari dokter, Azara jadi bergidik ngeri. Membayangkan betapa kejamnya si pelaku melakukan hal itu. Ia juga yakin pelaku ini bukanlah orang yang sembarangan. Mungkin saja ia memiliki jaringan hitam yang biasa melakukan jual beli organ tubuh dalam manusia.
Azara melamun di dalam mobil. Ia berpikir tentang kematian ayahnya yang masih menjadi misteri.
'Tapi kenapa pelaku itu membunuh ayahku? Apa hubungan ayahku dengan si pelaku?' semua pertanyaan itu muncul di dalam benak Azara.
Melihat Azara yang dari tadi melamun, Azka jadi merasa heran dan bingung. Tidak biasanya Azara terlihat murung seperti itu.
"Apa yang sedang kamu pikirkan?" tanya Azka membuat Azara sedikit terkejut.
"Tidak ada, aku hanya sedang berpikir tentang pelakunya."
"Sudah bisa dipastikan kalau pelakunya ini memiliki jaringan hitam. Tapi kita tetap harus mencari bukti yang lebih kuat lagi untuk mengungkap semuanya."
"Iya. Aku juga berpikir seperti itu," kata Azara pelan.
Sesampainya di rumah Azara segera menemui Lisa. Lisa juga baru pulang dari rumah sakit.
Azara menyerahkan buku diary yang ia temukan di kamar Maria.
"Buku diary siapa ini?" tanya Lisa terlihat bingung.
"Itu buku diary salah satu korban yang hilang beberapa bulan lalu. Orang ini masih berkaitan dengan kematian ayah. Dan disitu juga banyak sekali tulisan yang ia buat sebelum dinyatakan menghilang. Coba deh tante baca dulu!" kata Azara sambil meletakkan tasnya.
Lisa membuka buku itu dari halaman awal hingga halaman akhir. Sampai akhirnya ia bisa menyimpulkan kalau si pemilik buku ini memiliki gangguan kepribadian pada dirinya.
"Orang ini memiliki gangguan kepribadian yang langka."
"Maksud tante?"
"Jadi orang ini memiliki gangguan kepribadian yang membuatnya jadi harus menghindari interaksi sosial dengan orang lain. Hal itu karena ia selalu merasa rendah dari orang lain dan juga merasa takut mendapat penolakan dari orang di sekitarnya," kata Lisa dengan sangat jelas.
"Tapi dari yang tante baca di buku ini, dia sudah mencoba untuk membuka diri agar bisa berinteraksi kepada semua orang. Namun ia dia merasa tidak nyaman dan akhirnya memilih untuk menghindar."
"Sebenarnya aku dan tim juga sudah menemukan korban baru lagi Tan. Apa yang dialami oleh korban ini sama persis dengan apa yang dialami oleh ayah. Tapi..." kata Azara terhenti di sini.
Dia tidak ingin menjelaskan lebih detail lagi sebelum semuanya bisa jelas dan dapat dipastikan.
"Tapi apa?"
"Eh, nanti saja deh. Jika semuanya sudah jelas dan aku sudah berhasil menemukan bukti-bukti baru."
Lisa mengangguk sambil meminum teh hangat.
"Oh iya Zara, tante juga mau sekalian pamit ya."
Azara mengerutkan keningnya.
"Mau pamit kemana?"
"Tante harus pergi ke Amerika untuk melakukan penelitian dan seminar selama dua minggu. Kamu nggak papa kan sendirian?"
"Yah... Aku jadi kesepian dong di rumah," kata Azara dengan wajah yang sedih. Semenjak kematian ayahnya, memang Lisa yang selalu menemani Azara di rumah. Lisa sudah seperti ibu kandung bagi Azara.
"Jangan seperti itu. Tante kan pergi cuma sebentar saja. Lagian kamu juga sudah dewasa, polisi lagi. Kamu pasti bisa jaga diri kamu kan?"
Azara mengangguk dengan wajah yang masih ditekuk. Rasanya ia tidak rela jika harus berpisah jauh dengan Lisa.
***
Keesokan harinya
Di ruangan meeting terlihat Ali sebagai ketua tim sudah bersiap untuk melakukan meeting hari ini. Ia sudah menempelkan foto-foto korban yang diduga saling berkaitan.
Foto ayah Azara, foto Maria dan yang terakhir adalah foto mayat yang ditemukan di sungai kemarin.
"Apa kita nggak sebaiknya menunggu Azara datang? Daripada ia bingung dan bertanya lagi," kata Arya mengusulkan pendapatnya.
"Sebaiknya kita mulai saja meetingnya. Tidak usah menunggu Azara datang. Karena di depan itu ada foto ayahnya pada saat terbunuh kemarin. Aku khawatir dia akan shock dan sedih jika melihatnya nanti," ucap Azka diam-diam menyimpan rasa peduli yang lebih pada Azara.
"Iya aku setuju. Lebih baik kita mulai saja sekarang tanpa menunggu Azara datang," sahut Ali dengan tegas.
Dari luar pintu ruangan meeting, Azara sudah mendengar semua obrolan mereka. Ia juga sudah mendengar jika di depan sana tertempel foto ayahnya yang sudah bersimbah darah. Azara menghela nafas panjang kemudian dengan tegap masuk ke ruangan meeting.
"Aku akan ikut meeting!" katanya dengan sangat profesional.
Semua anggota tim sempat bingung dan kaget melihat Azara yang tiba-tiba masuk.
"Kamu yakin Azara?" tanya Ali masih merasa ragu.
Azara mengangguk dengan penuh keyakinan. Ia tetap akan berusaha profesional meskipun hatinya pedih jika mengingat kejadian nahas yang menimpa ayahnya itu.
"Baiklah sekarang kita mulai saja ya. Yang pertama ada Pak Candra, ia meninggal dengan luka tusukan tepat di bagian jantungnya. Ditambah dengan jari kaki yang menghilang. Kemudian dari sana kita menemukan sidik jari yang ternyata adalah milik Maria. Maria hilang sudah beberapa bulan yang lalu, dan yang terakhir adalah mayat yang kemarin kita temukan di sungai itu dengan ciri yang sama. Semua ini saling berkaitan, tetapi belum ada satu bukti pun yang mengarah pada si pelaku."
"Aku juga menemukan buku diary Maria di kamarnya."
"Aku pikir pelaku ini mengincar orang yang memiliki gangguan kepribadian seperti Maria. Jadi kemarin aku sempat baca semua isi buku diarynya. Maria adalah tipe orang yang mempunyai gangguan kepribadian. Ia akan merasa rendah jika bicara dengan orang lain. Ia takut mendapat penolakan dari orang lain sehingga ia memilih untuk jadi orang yang sangat penutup. Dan hanya dengan menulis di buku diary itu lah dia meluapkan semua emosinya."
"Tapi apa hubungannya dengan ayahmu?" ucap Arya masih bingung.
"Mungkin si pelaku ini memiliki dendam pada ayahku. Karena sebelum ayahku menghembuskan nafasnya yang terakhir, ia sempat bilang kalau aku jangan sampai melawan orang ini. Dia sangat berbahaya. Aku sendiri nggak tahu siapa orang yang ayah maksud itu."
Suasana di dalam ruang meeting seketika menjadi hening. Sementara di luar ruangan, ada Hartawan yang dari tadi mendengar semua obrolan mereka dengan tatapan yang sangat mengerikan.