webnovel

BAB 6: Ingatan yang Dalam

Kanaya meninggalkan kantor dengan langkah buru-buru. Pikirannya menjadi amburadul dengan percakapan kecil dengan Feby. Niat Kanaya memang untuk memporak-porandakan keluarga itu, tetapi orang yang paling porak-poranda saat ini adalah hatinya sendiri. Mengakui jika apa yang terjadi padanya adalah hal yang menyakitkan, membuat luka batin yang sulit untuk disembuhkan. Bahkan ketika mengingat masa-masa itu lagi, Kanaya seperti di dorong untuk menangis.

Nyatanya sekuat apa pun seseorang menahan pedih seorang diri dengan bertindak seperti orang yang pura-pura kuat, Kanaya hanyalah manusia biasa. Setinggi apa pun tembok yang dia bangun untuk menahan tangis, terkadang bisa runtuh di waktu-waktu tertentu.

Dan hal yang paling menyedihkan adalah rasa rindunya yang menggebu pada sosok yang tidak pernah dia sangka akan pergi. Dia sangat merindukannya sampai-sampai rasanya sulit untuk melepaskan napas. Dadanya berat, seperti sedang di tekan ke dalam, napasnya tersenggal, dan air matanya tidak henti turun.

Saat memasuki mobil pun, bukannya langsung keluar dari kandang macan, Kanaya membenamkan wajahnya di kemudi, menumpahkan semua perasaan campur aduknya di sana. Bayangan mengenai kebersamaan mereka yang muncul seperti kaset yang terus di putar pada satu masa yang sama. Kanaya ingin kembali pada masa itu, masa di mana dia masih bisa bertemu dengannya. Sang pujaan hati.

"Kamu harus kuat Kanaya, kamu harus bisa membalas semua yang mereka lakukan. Mereka orang yang harus menderita, bukan kamu." Adalah menjadi mantra yang sering kali Kanaya ucapkan untuk membuatnya kembali ke bumi dengan selamat.

Larut dalam kesedihan tidak akan menyelesaikan semuanya. Menangis hanya akan membuat kepala pening dan merencakan dengan asal-asalan. Kanaya tidak boleh tampak lemah di hadapan orang lain. Kanaya harus menjadi pribadi yang kuat dan bisa merelakan sebuah hubungan untuk menjalani kehidupannya di alam sana.

***

29 September 2017

Tubuhnya yang ramping berjalan ke sana kemari dengan raut tidak tenang. Sesekali duduk, sesekali berdiri dan berjalan lagi seperti sebuah setrika. Rambutnya yang panjang dia ikat cepol agar tidak menyusahkan pergerakannya. Sembari melihat ke arah ponselnya Kanaya memejamkan mata sebentar menarik semua benang merah dalam kepalanya agar tidak kusut.

"Tukang dekornya kapan dateng?" tanya Kanaya.

Di kamarnya ada Oney dan Hanum yang menemani Kanaya sembari memastikan kembali gaun yang akan Kanaya gunakan sudah rapi dan tanpa cacat. Gaun ini adalah desain yang mereka berikan untuk Kanaya dan diberikan kepada penjahit profesional. Hasilnya sangat memukau.

Oney mengecek ponselnya, begitu Kanaya bertanya tadi dia langsung mengirim pesan kepada Haris yang saat ini ada di gedung resepsi. "Satu jam lagi katanya."

"Souvenir udah dateng semua, 'kan?" tanya Kanaya lagi dengan nada gusar yang sangat kentara.

Hanum menyadari kegusaran Kanaya menarik lengan gadis itu agar duduk di sisi ranjang. Untungnya Kanaya mengikuti arahan Hanum untuk duduk dan melepaskan penatnya. Hanum menenangkan Kanaya dengan membelai pelan punggung tangan perempuan itu. "Udah Nay, Indie tuh lagi hitung ulang."

Indie ada di ruang tamu sedang membantu sepupu Kanaya menghitung souvenir dan memastikannya tidak ada yang terlewat.

"Nah udah duduk aja yang tenang, rileksin badan kamu ya. Masalah pernikahan udah ada yang urus kok. Haris ada di gedung buat follow up dekorasi kok." Hanum memang selalu menjadi air pada setiap keadaan. Pembawaannya yang tenang dan suaranya yang lembut terkadang membuat teman-temannya merasa nyaman dan membutuhkan perempuan itu.

"I know, tapi nggak tau kenapa hati aku nggak tenang banget. Takut ada yang ketinggalan."

Kanaya bukan orang yang mudah gusar dan terganggu, tetapi entah kenapa untuk hari ini Kanaya merasa bahwa semua yang akan baik-baik saja menjadi tidak pasti. Perasaan serupa badai yang memporak porandakan bayangan mengenai masa depan. Menodai kepecayaan Kanaya bahwa semua akan baik-baik saja.

Katanya perasaan yang datang tidak pernah salah, tetapi dengan rasa yang gamang dan tidak diketahui apa artinya ini, Kanya merasa bahwa hal itu tidak perlukan. Kanaya memerlukan kepastian untuk esok hari, dimana hari sakralnya akan tiba.

Ponsel yang sedari tadi Kanaya pegangi berdering, membuat sang empunya bangkit dari ranjang dan menggeser tombol hijau di layer. Kanaya senang bukan main ketika orang yang dia tunggu malah menghubunginya di saat perasaan gundah gulana yang tengah dia alami ini.

Senyum Kanaya mengembang. "Hei," sapanya kecil.

Suara berat terdengar memberikan tawa kecil. Menyambut hangat sapaan yang Kanaya berikan. "Hei, sekali dering langsung diangkat, kamu kangen aku ya."

Tetapi, bukannya membuat candaan yang dia lontarkan menjadi seru, Kanaya justru menunjukkan kegalauannya. "Yon, aku nggak tenang banget, apa kamu merasakan hal yang sama?"

Ada jeda sejenak yang lawan bicaranya ambil sebelum memberikan balasan pada Kanaya. Sepertinya dia gunakan untuk menutupi perasaan serupa, mencegah kekasihnya akan berpikiran lebih jauh lagi. "Pasti bakal baik-baik aja, wajar kali orang nikah pasti gugup."

Kanaya masih terdiam, lalu untuk meredakan kekhawatiran dia mengungkit hal lain. "Jangan khawatir, aku nggak akan ninggalin kamu di pelaminan sendirian. You know I love you right."

"I know, I love you too." Kanaya melirik sebuah jam di tangannya dengan pikiran yang tidak di tempat.

"Take a deep breathe, jangan terlalu dipikirin, luapin semuanya ke temen-temen kamu. Sekarang kamu istirahat aja, besok hari yang penting buat kita jangan sampe kamu kelelahan. Okay?"

"Okay. See you then."

"See you my soon to be wife. I love you."

"Love you more."

Panggilan pun terputus, dalam hati Kanaya berharap jika kekasihnya benar tentang pernikahan mereka, bahwa mereka akan baik-baik saja, bahwa Kanaya hanya membutuhkan istirahat untuk hari esok yang panjang. Semoga.

***

30 September 2017

Persiapan pernikahan sudah hampir selesai, tinggal menunggu calon mempelai membereskan urusannya. Kanaya memerhatikan standing mirror yang ada di hadapannya. Riasan natural karena wajahnya sudah sangat cantik, rambut di gelung dengan wedding veil berhiaskan mahkota bunga. Menambah kegugupannya saat ini menatap lamat-lamat penampilannya.

Oney dan Indie sedang bersiap di luar, berkoordinasi dengan semua vendor yang ada. Meskipun mereka berperan sebagai brides maid, tetapi Kanaya mempercayakan mereka untuk mengurus ini dan itu. Sedangkan keberadaan Hanum memang cocok sebagai penenang Kanaya. Dia harus ada dimanapun Kanaya berada sampai acara selesai.

Pandangan kanaya tertuju pada buket bunga yang disimpan di sebelahnya. Buket berisi bunga mawar putih dan mawar pink di padukan dengan bunga bakung yang berbentuk seperti lonceng. Katanya bunga mawar melambangkan cinta dan bunga bakung melambangkan kebahagiaan. Saat itu Kanaya tidak tahu akan makna bunganya dan menganggap semuanya akan diperlukan pada waktunya saja.

Mungkin karena harinya yang sedang tidak tenang inilah yang membuat Kanaya memiliki pikiran yang bercabang.

"Jam berapa sekarang?" pertanyaan itu bukanlah tanpa alasan Kanaya katakan. Pasalnya Kanaya bisa melihat kegundahan yang Hanum tunjukkan melalui gerak-gerik dan raut mukanya. Bagaimana berulang kali mengecek ponsel dan beberapa kali mengecek arlojinya.

"Jam 9, Nay, kenapa? Kamu mau minum?"

"Tadi Iyon bilang dia bakal sampe jam berapa?" Kanya masih mencoba tenang dalam kegugupan yang perlahan-lahan seperti hendak membunuhnya.

"Harusnya setengah jam yang lalu dia bilang bakal sampe. Mungkin macet di jalan kali ya."

"Iyon nggak ada ngasih kabar?" tanya Kanaya terdengar ketus.

Hanum menggeleng sambil menunjukkan raut bersalahnya. Kanaya menarik napas dalam.

Ballroom hotel sudah terdekor dengan warna rose gold dengan banyaknya hiasan khas acara wedding. Dan memang saat ini adalah saat yang ditunggu tunggu Kanaya sejak 3 bulan yang lalu kekasih yang sudah dia pacari lebih dari 8 tahun melamarnya dan sekarang dia akan melangsungkan pernikahannya.

Haris dan Oney memasuki ruang tunggu dengan raut sumringah melihat sahabatnya yang sudah seperti saudara kandung itu tampak cantik dengan riasan.

"Aku nggak nyangka kamu bakal nikah secepet ini perasaan baru kemaren aku nyontek PR kamu," kata Haris sambil diam-diam melepaskan satu persatu kelopak bunga yang akan di bawa Kanaya nanti.

"Nggak nyangka sih nggak nyangka, tapi jangan bunga Kanaya kamu jadiin korban dong." Oney mengambil paksa bunga ditangan Haris, laki-laki itu hanya menunjukkan senyun tak berdosa.

"Kamu nervous?" Kanaya mengangguk jujur pada pertanyaan Oney dia memikirkan banyak hal; bagaimana jika nanti dia menginjak gaunnya dan terjatuh, bagaimana jika nanti dia melakukan kesalahan.

"Tenang aja, rileks semuanya pasti aman kok percaya sama aku." Oney menepuk-nepuk dadanya dengan bangga.

"Kamu aja belum pernah kawin gimana dia mau dipercaya," seloroh Haris yang mendapat pelototan dari Oney yang memiliki mata galak itu.

"BTW ini udah lewat 30 menit, cowok kamu yakin mau nikah nggak sih? " tanya Oney dan itu juga membuat Kanaya bertanya-tanya tak biasanya kekasihnya itu terlambat.

Kanaya kembali menunggu dalam hening. Samar-samar mendengar beberapa tamu baik berasal dari keluarga dan teman dekat sudah mulai berdatangan. Waktu berjalan begitu cepat mengabaikan eksistensi Kanaya yang masih terdiam. Bukan hanya 30 menit, ini sudah lebih dari satu atau dua jam.

Ballroom hampir penuh dengan tamu undangan, tapi hingga lebih dari tiga jam menunggu dari jadwal awal di undangan acara belum juga dimulai dan itu membuat mereka resah.

Hal itu dirasakan tak hanya tamu undangan saja, tapi juga sang mempelai wanita yang tak terhitung berapa kali dia berjalan bolak-balik di ruang make up hanya karena sang calon suami belum datang. Ada perasaan cemas di dadanya, tak biasanya kekasihnya terlambat, lelaki itu memiliki jam alami yang membuatnya tak pernah terlambat.

"Mari kita batalkan saja." Itu kalimat yang keluar dari mulut sang ayah, Cokro yang membuat Kanaya menatap dengan pandangan tidak percaya.

"Batal atau tidaknya pernikahanku, aku yang menentukan, Ayah." Ini adalah pertama kalinya Kanaya menentang ayahnya dengan nada yang dingin dan kecewa mendengar sang ayah mengumandangkan hal yang tidak Kanaya sangka.

"Dia sudah terlambat lebih dari 3 jam Nay, kita nggak bisa membuat para tamu menunggu lama, mereka ada acara sendiri."

"Aku akan menikah bahkan tanpa tamu undangan. Ayah bisa menyuruh mereka pergi, tapi Ayah tak bisa membatalkan pernikahanku." Perkenalkan pada Kanaya yang keras kepala hinga membuat sang ayah harus memegang kepalanya terus-menerus.

"Baiklah Ayah akan menyuruh mereka pulang dulu." Dengan perasaan yang sama gusar melihat putrinya, Cokro berjalan keluar dari ruang make up.

Semuanya sudah pasrah dengan keputusan yang dibuat Kanaya. Mereka menyuruh tamu undangan untuk pulang sedangkan Kanaya sendiri masih duduk menunggu, tapi nyatanya sang kekasih tak pernah datang.

Lalu entah dari mana asalnya amarah dalam dirinya muncul, Kanaya sendiri bahkan tidak tahu. Bahwa terkadang perasaan itu memiliki makna tersembunyi, seperti dia sudah bisa memprediksi masa depan seperti apa yang akan dia hadapi hanya dengan merasakannya. Meskipun masih abu-abu, seharusnya Kanaya mempercayainya untuk satu detik saja dan tidak mencoba menghindar dengan mencari pembenaran yang serupa.

Bukan hanya Hanum yang khawatir, Kanaya yang duduk menanti dengan tenang pun mulai menunjukkan tanda-tanda kegelisahan. Kedua tangannya mulai berkeringat, perutnya mulai merasa mulas, kedua kakinya bergerak tidak teratur, dan dadanya seperti ditusuk. Perasaan itu seperti perasaan yang mencekik dan membuatnya ingin mengakhiri hidup.

Tidak memedulikan teriakan yang Hanum serukan untuk mencegah Kanaya keluar dari ruang tunggu. Kanaya berjalan gedung acara, hingga membuat beberapa orang di sana memandangi Kanaya.

Beberapa orang yang berkumpul termasuk Haris, kini memandangnya dengan tatapan yang sepertinya bisa Kanaya artika bahwa pernikahan ini telah gagal.

Bahwa pernikahan yang digadang-gadang akan menjadi hari special mempelai itu nyatanya adalah pernikahan yang tidak pernah akan terjadi. Bukannya hari istimewa, justru hari ini adalah hari yang menjemukan, memuakkan, dan meninggalkan trauma yang begitu berat nantinya.

Bahwa nantinya akan ada berita yang beredar jika mempelai wanita ditinggalkan oleh mempelai pria.

Mana perkataan kekasihnya yang bisa dibuktikan, kemarin mereka berucap cinta dan sayang seperti hari esok tidak akan pernah ada. Mereka berbagi kasih dan berbagi kegundahan bersama. Kanaya seharusnya mengerti jika sang kekasih tidak akan melakukan hal yang membuatnya merasakan perasaan sakit yang teramat, tapi kala itu Kanaya terlanjur termakan oleh perasaannya yang marah dan kecewa.

Bagaimana bisa kekasihnya meninggalkan Kanya tanpa pemberitahuan.

Kanaya melihat sebuah foto prewedding yang di pajang dekat lorong pintu masuk. Kekasihnya mengulas senyum paling indah yang pernah dia lihat dan dirinya sendiri menerima semua yang kekasihnya beri. Foto yang indah itu harusnya memberikan memori yang indah kelak, tetapi Kanaya melemparkan foto itu hingga terlepas dari dekorasi.

Haris yang melihat Kanaya bersikap frustasi, segera menghampiri Kanaya. Menahan kedua tangan Kanaya agar menghentikan aksi menghancurkannya.

"Nay, tenang Nay tenang."

"Gimana aku bisa tenang kalau Iyon nggak datang? Ke mana dia, Ris, dia ke mana?"

Haris terdiam, genggamannya mengendur. Kanaya jatuh terduduk di lantai. Dia menangis sejadi-jadinya.

Memeluk Kanaya karena Haris menyembunyikan sebuah fakta yang tidak akan pernah dia ingin ungkapkan. Betul kata orang, jika dua jiwa telah menjadi satu maka perasaan mereka pun menjadi satu. Mungkin Kanaya sudah merasakannya, tapi juga tidak tahu apa yang akan terjadi. Dia melakukannya sudah dengan sangat baik.

"Nay." Haris berbisik, menepuk-nepuk pundak Kanaya agar perempuan itu tenang.

"Iyon kecelakaan pas mau ke sini Nay."

Memang Tuhan selalu memiliki ketentuannya sendiri dalam membolak-balikkan nasib umatnya. Kosa kata manusia berencana dan Tuhan yang menentukan benar-benar Kanaya rasakan. Karena rencana itu hancur atas kehendak Tuhan, sekalipun menghancurkan hati Kanaya untuk waktu yang lama.