webnovel

BAB 5 : Interview

Tensi di ruangan tempat Kanaya melakukan interview kerja cukup panas sekalipun air condioner di sana sudah berada di suhu 16 derajat celcius, mungkin karena amarah tertahan dari dua orang dengan energy singa di antara staf HRD yang ingin segera pergi karena tak sanggup mengikuti aksi saling tatap antara Kanaya dan Gideon. Sementara semuanya tampak tak nyaman Aji yang juga menjadi salah seorang penguji Kanaya memilih untuk berbicara mengenai kontrak dengan Kanaya yang lolos interview.

"Silahkan dibaca isi kontrak kerja, apabila ada yang tak sesuai Anda bisa beritahukan ke pada saya."

"Tidak, saya nyaman dengan isi kontrak ini. Saya akan menandatanganinya sekarang juga." Untuk yang satu ini Kanaya memilih untuk tak melakukan tarik ulur dia tahu bahwa Gideon tak suka tarik ulur dalam hal pekerjaan jadi untuk menghindari resiko kehilangan Gideon, Kanaya memilih untuk langsung menandatanganinya.

"Terima kasih."

"Saya yang berterima kasih. Jika saja saya tahu bahwa Bapak Gideon menelpon saya secara pribadi untuk membahas pekerjaan mungkin saya tak akan mematikan ponselnya. Harusnya Bapak menggunakan email perusahaan agar saya tak salah sangka." Kanaya sengaja mengatakan itu semua agar keluar gossip bahwa Kanaya dipanggil secara pribadi oleh Gideon dengan begitu Feby akan merasa terusik begitupun dengan Lahar karena menurut sumber Kanaya a.k.a Haris, Gideon tak peduli dengan pegawai yang akan masuk ke perusahaannya, lelaki itu mempercayakan semuanya pada HRD. Namun kasus Kanaya ini sungguh berbeda, tampak bahwa Gideon tertarik pada Kanaya.

"Aji," panggil Gideon dan hanya dengan satu panggilan itu Aji mengerti maksud dari Gideon. Sekretaris itu dengan cepat meminta HRD untuk pergi dari ruang interview sebelum mereka mendengar ucapan dari Kanaya ataupun Gideon yang tak seharusnya didengar orang lain.

"Sebenarnya kamu benar, niat awal saya bukan untuk pekerjaan ini, tapi kamu tak memberi saya pilihan lain." Tersenyum adalah respon dari Kanaya.

"Sebenarnya apa yang membuat bapak direktur utama yang terhormat begitu terobsesi untuk bertemu saya?" tanya Kanaya berpura-pura tak tahu maksud dari Gideon ingin bertemu dengannya.

"Apa kita saling mengenal sebelumnya?" Gideon memulai pertanyaannya, tapi lagi-lagi Kanaya seolah tak ingin bekerja sama dengan Gideon alih-alih menjawab dengan benar dia malah memicu emosi Gideon.

"Apa ini juga cara Bapak untuk mendekati saya? Berpura-pura memiliki hubungan sebelumnya? Saya tidak menyangka direktur utama Future Bright menggunakan cara seperti ini."

"Foto ini. Foto kamu dan saya." Gideon menunjukkan foto yang diambilnya secara diam-diam melalui kamera ponselnya kemudian dia cetak.

Dari foto itu Gideon ingin mengamati bagaimana reaksi Kanaya ketika melihatnya dan reaksi yang diberikan gadis itu sama seperti yang diharapkan oleh Gideon. Gadis itu seolah kehilangan segala kata sarkas yang sering gadis itu keluarkan. Gadis itu diam dan entah bagaimana Kanaya yang dicap arogan itu tiba-tiba mengeluarkan air mata yang dengan kasar dihapusnya, sayang Gideon sudah melihat itu.

"Ini kamu, 'kan?" Kanaya menggeleng, tapi Gideon yakin bahwa Kanaya berbohong. Bagaimana seseorang bisa mengeluarkan air matanya hanya karena melihat foto yang tak dia kenal.

"Itu bukan saya. Di jaman sekarang ada banyak orang iseng yang mengedit foto orang. Saya akui bahwa orang itu mirip saya, tapi itu bukan saya," katanya dengan suara yang sedikit bergetar yang Gideon yakini suara itu muncul ketika Kanaya berbohong.

"Benarkah?"

"Iya. Benar."

"Sayang sekali ini bukan hasil editan, saya sudah memeriksanya ke digital forensik dan hasilnya ini foto asli. Sekarang yang perlu kamu jawab adalah ada hubungan apa antara saya dan kamu?" Gideon menekan Kanaya dan itu berhasil membuat Kanaya menangis lagi, tapi anehnya ada rasa nyeri di dada kiri Gideon saat melihat air mata Kanaya turun.

"Saya tegaskan sekali lagi, Pak. Saya tidak punya hubungan apa pun dengan Anda. Jadi berhenti memaksa saya untuk menjawab pertanyaan tak masuk akal ini. Permisi!" Kanaya pergi dari sana dengan wajah yang menggumpulkan emosi negatif.

"Nice acting Kanaya," pujinya pada diri sendiri sambil menghapus sisa air mata.

***

Ada sebuah kebiasaan yang selalu Feby lakukan semenjak dia secara resmi menjadi tunangan dari Gideon. Gadis itu akan selalu menyempatkan diri untuk menemui Gideon sekalipun lelaki dingin itu tak memberikan tanda-tanda kenyamanan akan kehadiran Feby. Namun, bagi Feby kenyamanan itu akan muncul jika Feby terus muncul di hadapan Gideon.

Bicara tentang Gideon, menurut sumber yang bisa dia percaya, Gideon sedang berada di ruang interview untuk pekerja baru. Hal itu sudah menjadi buah pertanyaan dalam otak Feby pasalnya semua orang tahu abhwa Gideon tak suka mengurusi hal sepele macam itu. Namun, kali ini lelaki itu menyempatkan waktu berharganya untuk seorang calon pegawai membuat Feby penasaran apalagi menurut sumbernya ornag itu adalah seorang perempuan.

Langkah kaki Feby menuju ruang interview terhenti tatkala dia berpas-pasan dengan Kanaya yang tampak menghapus air matanya. Melihat itu rasa cemburu yang dibawa oleh Feby menguap tanpa sisa. Seperti dugaannya, Gideon tak memiliki kemapuan untuk jatuh cinta, lelaki itu hanya memiliki kemampuan membuat wanita menangis dan ketika Feby mengatakan wanita Feby masuk ke dalamnya.

"Itu Gideon yang aku tahu," katanya kemudian kembali melangkah menuju ruang interview, dia ingin memastikan sendiri bahwa Gideon tak terpengaruh akan kedatangan pegawai baru itu.

Namun, itu semua harus tetap tersimpan dalam khayalan Feby karena nyatanya Gideon tak terlihat seperti orang yang baik-baik saja. Lelaki itu terlihat lebih parah dibanding gadis yang keluar dari. Dasi yang biasanya selalu menempel pada setelannya ini teronggok di lantai, rambut yang tertata rapi kini teracak-acak sempurna ditambah air muka Gideon yang tampak seperti orang yang sedang patah hati membuat Feby khawatir. Dia belum sempat mengambil hati Gideon jangan sampai lelaki itu berpaling darinya.

"Aji yang ngasih tau kamu aku ada di sini?" Suara dingin Gideon menyambut Feby.

"Bukan. Ada apa sebenarnya?" tanya Feby sambil memungut dasi Gideon.

"Hanya interview kerja," jawab Gideon seperlunya, dia tak ingin mengatakan kenyataannya pada Feby. Semuanya akan rumit jika gadis itu mengadu pada ayahnya.

Awalnya Feby percaya dengan ucapan Gideon karena sekali lagi Gideon bukan orang yang mengejar cinta. Namun, ketika dia meletakan dasi Gideon di meja, bola matanya menyaksikan satu hal yang tak pernah ada dalam imajinasinya.

"Siapa dia?" tanya Feby sambil menunjuk foto Kanaya yang masih belum Gideon simpan. Dalam hati sekarang Gideon mengutuk dirinya sendiri, bagaimana bisa lelaki itu begitu sembrono. Jika seperti ini dia sangsi semuanya tak akan menjadi besar. Feby bukan tipe manusia pemaaf.

"Aku nggak tau. I don't remember."

"Jawab aku selagi aku masih bertanya baik-baik Yon."

Gideon tertawa kering. "It's funny when you act like we're a lover. Ingat Feb, kita tunangan bukan karena cinta, ini karena kepentingan bisnis. Jadi berhenti bertingkah seolah kamu kekasihku." Rangkaian kata yang keluar dari labium Gideon bak belati tumpul yang terus diarahkan pada hati Feby. Menyakitkan, tapi Feby tak bisa membuka mulutnya untuk sekedar memberi pembelaan karena semua itu benar adanya. Tak pernah ada cinta yang dijanjikan dalam pertunangan mereka dan harusnya Feby tak melupakan hal itu.

***

Flat white akan selalu menjadi pesanan wajib bagi Kanaya. Gadis itu dibuat jatuh cinta perpaduan antara double shot espresso dan steamed milk sejak pertama kali mencobanya di Australia. Kini kebiasaan itu mulai mengikutinya sekalipun dia berada di Indonesia. Mengecap flat white pesanannya yang rasanya tak begitu sama dengan apa yang ada di Australia, mungkin karena jenis kopinya yang berbeda, tapi tak bisa dipungkiri ini terasa begitu unik dan menarik untuk lidahnya dan Kanaya menyukainya.

"Lama," gumam Kanaya seolah menunggu seseorang padahal gadis itu tak membuat janji dengan siapa pun di depan kantor Gideon.

Ujung mata Kanaya menatap lurus ke arah kantor Gideon dengan berfokus pada gadis dengan setelan warna beige dan tas Valentino yang tentu menunjukkan bahwa orang itu bukanlah dari kalangan pegawai biasa. Feby Anjani, orang yang sejak awal ditunggu oleh Kanaya dan kini keduanya sudah saling bertukar pandang hanya tinggal menunggu waktu Feby akan menemui Kanaya.

Menunggu Feby menyebrang, Kanaya memilih untuk mengoleskan lipstick merah mengantikan warna nude yang menghiasi bibirnya tadi. Kali ini Kanaya ingin memberikan kesan unggul pada Feby.

"Kanaya?" Kanaya menyimpan lipstiknya ke dalam tas kemudian mendongak untuk memperlihatkan senyum kemenangannya pada Feby.

"Apa saya mengenal Anda?" Kalimat ini seolah menjadi template dalam pembicaraan Kanaya sama seperti ketika dia bicara pada Aji sebelumnya.

"Apa hubunganmu dengan Gideon?" Kanaya tersenyum pada pertanyaan Feby, bukan karena dia merasa bahwa pertanyaan itu lucu, tapi lebih kepada hubungan antara Feby dan Gideon yang menarik. Pertunangan keduanya yang dianggap tanpa cinta dan hanya karena hubungan bisnis semata hanyalah kedok dari permintaan egois sang gadis yang mencintai Gideon seorang diri. Kanaya merasa kasihan pada gadis yang rela menggadaikan segalanya untuk cinta yang tak terbalas dan Kanaya akan memastikan hal itu akan terjadi selamanya.

"Bukankah seharusnya Anda memperkenalkan diri dulu sebelum menanyakan hal seperti ini? Apa Anda tak tahu dasar sopan santun?" tanya Kanaya kemudian mengesap flat white miliknya.

"Ah, mungkin kamu memang perlu tahu siapa saya. Saya Feby Anjani Hadriawan, tunangan Gideon Logan Lancester." Feby pikir Kanaya akan kaget dengan status antara Feby dan Gideon, tapi nyatanya gadis itu hanya tersenyum bahkan terkesan menahan tawa meremehkan Feby.

Kanaya meletakkan cangkirnya hingga meninggalkan bunyi cukup keras. "Jika Anda tunangan Bapak Gideon kenapa tak tanya sendiri pada Bapak Gideon? Kenapa dia menjemput saya di airport, menelpon saya dengan nomor pribadinya bahkan menggunakan email kantor hanya agar saya mau menemuinya. Bukankah sejak awal yang harusnya Anda tanya itu Bapak Gideon bukan saya." Andai saja Kanaya membawa kameranya mungkin dia akan memotret ekspresi terkejut dari Feby.

"Ah … tunangan Anda pasti tak ingin menjawabnya karena bagi dia Anda bukanlah orang yang berhak tau masalah pribadinya." Kanaya tersenyum kemudian memisahkan pantatnya dari kursi, dengan begini matanya lebih leluasa pada si legam milik Feby.

"Sebenarnya saya tidak ingin memberitahu Anda, tapi anggaplah ini penghargaan karena Anda menemui saya secara langsung." Kanaya mendekat ke arah Feby memangkas jarak yang tercipta antara keduanya kemudian gadis itu berbisik, "Sebenarnya dulu jantung di tubuh Gideon selalu berdetak untuk saya dan saya yakin sampai sekarang pun akan begitu." Jemari Feby terkepal mengumpulkan emosinya di dalamnya berharap dia tak menampar Kanaya di hadapan banyak orang. Sementara itu Kanaya melangkah mundur menjauh untuk mengamati ekspresi yang dikeluarkan oleh Feby yang kini merah sempurna.

"Begitulah hubungan kami. Saya harap itu menjawab rasa penasaran Anda. Permisi," pamit Kanaya dengan senyum kemenangannya. Dia menang dan dia akan terus memastikan ke depannya dia akan menang.

***