webnovel

BAB 3 : Tarik Ulur

Apa yang lebih enak dari secangkir kopi dan sebungkus gorengan di pagi hari. Terlebih lagi bagaimana badannya terasa remuk karena jet lag. Kota yang dia rindukan, kota yang menyimpan masanya, kota yang bahkan terkadang membuatnya ingin menguasai dunia. Sebungkus gorengan menjadi harapannya agar bisa tetap menjadi manusia waras di pagi ini.

"Kayaknya aku harus dapat masage, badan rasanya remuk semua." Kedua tangannya ada di bahu sofa burgundy di dekat dapur. Sedangkan kedua kakinya dia rendam dalam bak yang sudah di isi air hangat dan garam. Rambut coklat bergelombangnya di gelung hingga menunjukkan leher jenjang. Saat kedua kakinya sudah masuk ke dalam bak, bahunya turun tampak lebih santai. Matanya terpejam perlahan dan napasnya terdengar lebih ringan.

Bagaimana badan tidak remuk kalau-kalau begitu menginjakkan kaki di Indonesia, wanita ini langsung pergi dari satu pesta ke pesta lainnya. Energi sosial yang dimiliki olehnya seperti tidak pernah habis dan baru hari ini dirinya benar-benar melakukan me time.

Suara ponsel yang nyaring terdengar ke penjuru ruangan. Satu sampai dua dering awalnya dia abaikan karena dalam kamusnya jika sedang ada di posisi tidak dapat diganggu, pantang untuk bangkit. Hingga akhirnya suara menjemukkan itu tidak kunjung berhenti, mau tidak mau dia membuka mata dan terpaksa mematikan ponselnya.

Nomor asing, menghubungi dengan tanpa jeda, mengganggu pagi adalah daftar hal yang tidak disukainya. Seolah dunia tidak mengizinkan untuk beristirahat barang satu detik saja.

Mengusaikan kegiatan bersantai dengan membuat kopi. Mengambil kopi hitam dari toples, susu kental manis, dan menuangnya menjadi satu. Seduhannya membuat seisi ruangan wangi aroma kopi yang khas menyengat hidung.

Rambutnya terbungkus handuk berwarna biru langit. Tangannya meraih ponsel yang sedari tadi dia abaikan. Puluhan panggilan masuk dari nomor asing yang sama, hanya satu atau dua nomor dari nomor yang dia kenal. Ketimbang memilih menekan nomor asing yang kiranya dia ketahui nomor itu milik siapa, jemarinya memilih untuk menelusuri buku kontak dan menekan panggilan kepada Haris.

"Hallo."

"Bisa nggak sih, kamu kalau telfon, cek jam dulu." Suara berat dengan dengusan keras menyapa inderanya pada dua kali sambungan. Dia sangsi jika orang yang diajak bicara baru terbangun karena ponselnya berdering. "Ini kalau nggak penting aku tutup."

"Galak banget pak, ini udah siang."

"Jam berapa sekarang?"

"10."

"Masih pagiiiii."

"Apanya yang masih pagi, Haris tolong kamu harus waras, kamu udah janji mau bantuin aku." Memutar cangkir kopi hangat yang diangkatnya, duduk di balkon yang menghadap ke arah gedung apartemen lainnya.

"Okay, Kanaya, I'm listening."

"Kamu bisa nggak kasih referensi apartemen daerah Tamansari."

Ada jeda sejenak, dia pikir jika Haris terlelap, sebelum akhirnya suara balasan terdengar. "Jangan bilang kamu mau pindah?"

"Aku ada rencana lain."

"Okay then, talk to you later." Panggilan di matikan secara sepihak seolah apapun yang akan dilakukan wanita itu di luar nalar dan menolak pun tidak ada gunanya.

Kanaya, melepas bungkusan rambutnya, memandang gedung tinggi itu dengan tatapan kosong tidak terbaca. Pikirannya tidak di tempat, berjalan bersama angin yang menyapa, mengajaknya bermain bersama labirin memori yang menyesakkan.

Ponselnya kembali berdering, nomor asing yang sepertinya dia kenali masuk kembali. Kali ini tidak ada niatan untuk mengelak lagi.

"Akhirnya kamu mau ngangkat telponnya?"

Kanaya menyunggingkan senyum sarkas, begitu senang mendengar nada gusar dari seberang sana. "Iya, kamu se-frustasi itu sampai menelponku berkali-kali?"

"Jangan main-main sama saya. "

"Saya nggak pernah main-main, Tuan."

"It's Kanaya, right?"

"Betul, saya berbicara dengan?" Kanaya menggantungkan pertanyaannya, menunggu sang empunya nama menjawab. Meskipun Kanays sendiri tahu siapa yang sedang berbicara dengannya.

"Gideon."

"Baik Pak Gideon, ada yang bisa saya bantu?"

"We need to talk." Ungkapan Gideon membuat Kanaya memicing mata.

"Kenapa? Apa anda ada hal yang ingin di sampaikan? Jika ada, silakan anda bisa menyampaikannya sekarang." Nada angkuh terdengar dari roma suara Kanaya, tidak ingin dianggap oleh Gideon jika dia bisa di dapatkan dengan mudah.

"Ada yang harus saya bicarakan."

"Iya, silakan."

"Kita harus bertemu."

"Kalau untuk itu, saya tidak bisa mengizinkannya, Pak, saya tidak mudah untuk memercayai seseorang. Selamat tinggal."

Kanaya mematikan sambungan tanpa peduli apa respon akan yang diberikan padanya. Untuk mendapatkan perhatian seorang laki-laki, perempuan harus pandai bermain tarik-ulur, dengan begitu rencananya akan berhasil.

***

Tidak memiliki batas usia produktif mungkin sebutan yang cocok untuk Lahar. Rambut putihnya yang sudah mengubah 70% rambut hitamnya menjadi saksi sudah berapa lama beliau menjalani kehidupan. Gurat-guratan di wajahnya yang tampak seolah menjelaskan seberapa berat perjuangannya untuk sampai di titik ini. Barangkali tidak menurunkan kualitas dari performa wajahnya. Biarpun gurat-gurat menandakan penuaan muncul, beliau masih tampak rupawan.

Senyumnya mengembang, menyambut uluran tangan Wijaya, sang investor yang berhasil dia temui dengan susah payah. Gelas-gelas teh di meja rendah telah kosong setengahnya tapi bukan berarti usai kesepakatan bisnis, pembicaraan itu akan sertamerta berakhir. Nyatanya sebagai sesama orang tua, mereka selalu memiliki pembahasan yang seru. Entah soal hobi masing-masing, perjuangan seraya meraih puncak, atau secuil romansa asmara dalam memori usang.

Puncaknya saat bagaimana lancangnya Tio, sekretaris andalan Lahar menginterupsi. Padahal Tio sadar jika konsekuensi yang akan dia terima jika berani-beraninya menganggu pertemuan rahasia dan tertutup antara atasannya dengan investor incaran beliau. Namun, kembali pada dasar yang sempurna, Tio memahami akan selalu ada pengecualian dari setiap peraturan yang di terapkan.

Tidak ada peraturan yang sempurna, bahkan untuk hal-hal mendesak, suatu informasi bisa seharga bom waktu yang kapan saja bisa meledak. Tio tidak akan menginterupsi Lahar dengan Wijaya jika bukan karena adanya informasi mendesak.

"Maaf saya harus menganggu Tuan." Lantuan ucapan menyesal terdengar rendah tapi berisi.

Tanpa basa-basi, Tio menunjukksn tablet hitam yang dia miliki sebagai inventaris kantor kepada Lahar. Tio menunjukkan sebuah video di layarnya.

"Ini?" Napas Lahar tercekat begitu mengenali siapa yang ada di video tersebut. Seorang wanita yang sangat tidak asing itu ada di bandara.

"Betul pak, Kanaya telah kembali dari Ausie."

Dilanda kebingungan, dahinya berkerut dalam, menerka-nerka. Merebut tablet dari tangan Tio, Lahar memerhatikan video tersebut lamat-lamat. Dia tidak mungkin salah, jika informasi ini salah Tio bisa mendapatkan hukuman yang sangat setimpal.

"Kau! Cari tau apa yang akan dia lakukan sampai kembali ke sini!" Raut muka Lahar mengeras, tampak dengan kemarahan yang menyelimuti, berbanding terbalik dengan ekspresi sebelum informasi ini sampai ke tangannya.

Lahar tahu, kembalinya Kanaya bukanlah tanpa alasan, pasti dia merencanakan sesuatu untuknya. Lahar tidak akan tinggal diam jika Kanaya berani menyentuh keberadaannya.

"Dia bertemu dengan Tuan Muda, Tuan." Tio menambahkan.

"Beraninya dia!" Ada amarah tertahan dari suara Lahar dan tentu semua itu karena Kanaya.

"Mulai sekarang awasi dia. Aku tak ingin ketinggalan satu informasimu tentang wanita itu!" titah Lahar mutlak.

"Baik Tuan."

***