"Jangan bertindak bodoh malam ini" ucap ibunya dari kursi depan.
Alvin dan ayahnya mengangguk dingin. Malam ini, keluarganya akan menghadiri jamuan mewah yang diadakan oleh para pebisnis khusus untuk ayahnya.
Biasanya, para pebisnis itu akan bertindak tunduk pada ayah Alvin seperti sikap para anjing pada majikannya. Mereka akan saling tertawa dan mengangkat gelas untuk kemajuan bisnis mereka di tahun tahun mendatang. Tanpa mereka tau, bahwa dibalik ayahnya yang berkuasa ada seorang perempuan yang lebih kejam daripada apapun.
Saat pintu mobil dibuka, ayah Alvin bergegas turun dan menggandeng ibunya berjalan. Balutan gaun berwarna merah mendominasi ruangan putih yang telah didekor sedemikian rupa. Alvin merapikan kemejanya sebelum turun dari mobil. Semua orang menunduk saat ia dan keluarganya masuk kedalam ruangan. Mereka semua mendatangi kedua orang tuanya, sedangkan Alvin berjalan dibelakang mereka sembari tersenyum kecil.
"Terima kasih sudah datang pada jamuan makan malam hari ini" ucap seorang pria paruh baya yang Alvin kenal.
Dibelakang pria itu, ada Nata yang juga sedang tersenyum palsu untuk menyembunyikan rasa bosannya. Pertemuan ini selalu diadakan setiap tiga bulan sekali, ada banyak kegiatan yang dilakukan pada acara yang diadakan sampai tengah malam. Salah satu yang paling dinanti nanti adalah acara pelelangan berlian dari ibunya.
Bahkan Alvin yang sudah berkali kali menghadiri acara ini masih tak habis pikir dengan sifat orang orang disana yang bisa membeli berlian ibunya dengan harga fantastis. Semua jual beli dan jamuan malam ini bukan simbol yang sebenarnya, karena alasan sebenarnya adalah untuk mempererat hubungan antar pembisnis yang dibalut dengan kepentingan satu sama lain.
"Kudengar, tahun depan anda akan mencalonkan diri menjadi wali kota?" Tanya ayah Nata membuka pembicaraan disela sela makan malam.
Ayahnya tersenyum, lalu mengangguk.
"Mohon bantuannya agar semua berjalan baik" ucap ibunya.
Semua orang tertawa kecil mendengar ucapan ibunya seperti mendapat respon positif untuk melanjutkan pembicaraan tersebut.
"Tentu, kami akan senantiasa membantu karir anda sampai anda bisa menjadi seorang presiden" ucap yang lain mencairkan suasana.
Alvin ikut tertawa kecil mengikuti seluruh perbincangan yang membuatnya semakin tak suka pada jamuan makan malam itu. Ia segera beranjak menjauhkan diri lalu menghampiri Nata yang sedang menenggak segelas bir sembari memandangi lampu lampu kota dari ketinggian.
"Ga ikut?" Tanya Alvin.
Nata menoleh, ia tertawa keras melihat wajah Alvin yang terlihat bosan.
"Mental gue ga sanggup ngeliat ayah gue menjilat seperti itu" jawabnya sarkas.
"Ada baiknya lo bisa berlutut dikaki gue juga, supaya cita cita ayah lo terwujud. Gue bisa mempertimbangkan bisnis perusahaan lo agar semuanya lancar" ledek Alvin.
"Sialan!"
Alvin menghela nafas dalam, mereka berdua terdiam sembari melihat kerlap kerlip lampu jalanan dan mobil yang berlalu lalang. Dibelakangnya, acara terus berlanjut. Berkali kali Alvin melihat jam yang tak kunjung usai, ia dan Nata terjebak didalam keramaian. Namun meski begitu, mereka merasa sepi.
Setelah hampir dua jam mereka berdiri sembari terdiam, kedua orang tua Alvin memanggilnya. Ia segera menghampiri mereka karena akan segera pulang, begitu pula dengan Nata.
"Kami baru saja kembali dari Paris minggu lalu, terimalah ini" ucap ayah Nata sembari menyodorkan sebuah bingkisan.
"Ini, kami juga baru kembali dari Amerika kemarin dan sengaja membeli hadiah untuk kalian. Mohon diterima" ucap yang lain.
Alvin berakhir dengan membawa banyak jinjingan dikedua tangannya.
"Paris, Amerika, London, Jepang, Korea. Apa sepanjang liburan mereka hanya memikirkan ayah dan ibu" gerutu Alvin kesal.
Ia tertidur dimobil sepanjang perjalanan pulang, saat tiba dirumah Alvin segera melemparkan seluruh jinjingannya di sofa sampai tak sengaja terlempar ke lantai.
Matanya melotot saat tumpukan uang keluar dari jinjingan yang sejak tadi dipegangnya. Karena penasaran Alvin membuka semua bungkusan itu dan terkejut karena mendapati banyak uang dihampir semua bungkusan tersebut. Ia berusaha memasukkan uang tersebut kembali.
"Mah,ini" tanya Alvin saat melihat ibunya turun dari tangga.
"Ambil saja, mama tak butuh uang itu" ucapnya.
Tak lama ayahnya datang sembari mengambil semua uang yang dipegang Alvin tanpa sepatah katapun. Alvin mulai sedikit tersadar, uang yang menurutnya sangat banyak itu tak berarti apa apa bagi ibunya. Namun berarti besar bagi ayahnya sampai ayahnya harus mengambil uang uang itu didepan ibunya sendiri.
Sudah setahun terakhir ini hubungan antara kedua orang tuanya tak baik. Alvin tau penyebabnya karena pernah mendengar mereka berdua bertengkar, namun ia memilih untuk tak ikut campur. Sejak saat itu, rumahnya tak pernah sama lagi. Ibunya lebih sibuk pergi keluar negeri untuk berbisnis berlian, ayahnya juga sibuk dengan seluruh kegiatan amal untuk menaikkan pamornya agar berhasil menaikkan survey dan dipilih oleh partai politik.
Alvin juga tak pernah meminta apa apa, ia tak mau hancur karena keadaan rumahnya. Ia lebih suka menyibukkan diri dengan pergi bersama teman temannya, sesekali ini berlibur keluar negeri menghabiskan uang jajan yang diberikan oleh ibunya. Kehidupannya terpenuhi, ia bisa membeli banyak hal tanpa harus meminta dan orang tuanya terlalu sibuk hingga tak mampu melihat detail pengeluaran kartu kredit yang ia pakai.
Meski begitu, demi pencalonan ayahnya tahun depan mereka bisa berpura pura bahagia didepan publik sebagai keluarga yang utuh. Sebagai ibu yang luar biasa, perhatian dan hangat. Seorang ayah yang menjadi pemimpin keluarga yang hebat, dan seorang anak yang bebas dari skandal. Setidaknya, karena pernah merasakan itu semua sebelumnya Alvin bisa berpura pura dengan sangat baik satu tahun terakhir ini.
Alvin tak bisa tidur dikamarnya karena baru pertama kali ia melihat betapa para pebisnis itu membayar ayahnya dan diterima begitu saja. Pikirannya kacau karena rasa kecewanya sendiri. Ditatapnya langit langit kamar dengan tatapan kosong.
Brakkkk!
Ponselnya terlempar kelantai saat tiba tiba ia teringat sesuatu. Ia beranjak dari kasur dan segera mengambil ponselnya mencari cari nomor dari riwayat panggilan terakhirnya. Saat melihat jam yang sudah lewat dari tengah malam, ia sedikit ragu untuk menekan tombol panggilan. Namun, rasa keinginannya menghilangkan bosan lebih besar daripada rasa malunya.
Ia menekan tombol panggilan pada akhirnya, nada panggilan berbunyi dari ujung telpon berkali kali tanpa ada seseorang yang menjawab. Harapan Alvin untuk bertepon dengan Lea malam inipun musnah. Ia menyimpan ponselnya diatas meja lalu melemparkan tubuhnya kekasur. Mencoba untuk tidur.
Drrttttt! Drrrrtttt!
Suara getaran ponselnya terasa, Alvin yang masih tersadar segera beranjak dari kasur. Ia tersenyum saat melihat nomor yang baru saja tak merespon menelponnya kembali.
"Halo!" Alvin menyapa dengan menahan senyumannya karena senang.
"Halo..Halo.." teriak seorang perempuan dari ujung telpon.
Suara perempuan itu terdengar sangat keras sampai Alvin harus menjauhkan ponselnya dari telinga. Terdengar juga suara musik yang diputar sangat kencang hingga memekakan telinga.
"Ini dengan siapa?" Tanya perempuan itu.
"Alvin" jawab Alvin berusaha tenang.
"Hah? Siapa?" Tanya perempuan itu lagi.
"Alvin" kali ini Alvin berteriak.
"Ohhh iya, mau kesini jam berapa mas?" Tanya perempuan itu.
Alvin menaikkan alisnya, "kesana?" Tanyanya.
"Iya, mau pijat jam berapa? Nanti saya siapkan perempuannya kalau mau pakai plus plus" lanjut perempuan itu.
"Ahhh? Gimana gimana?" Tanya Alvin.
"Loh gimana sih, ini mas mau pesan untuk pijat kan?" Perempuan itu kini mulai keheranan.
"Ini bukannya nomor tepon Lea?"
"Lea siapa ya mas? Salah sambung nih. Ini layanan pijat mas, pijat biasa bisa. Plus plus juga bisa. Jadi mau yang mana? Jam berapa?"
Alvin yang terkejut segera mematikan telponnya. Ia memandangi nomor yang ada diponselnya, memastikan bahwa nomor yang dipanggilnya benar nomor yang diberikan Lea untuknya.
Dalam beberapa detik, ia akhirnya sadar bahwa Lea mengerjainya. Ia mengumpat karena kesal, bahkan malu karena sempat merasa canggung saat seorang perempuan menjawab teponnya.
***
Lea terus merubah posisi tidurnya, meski sudah tidur awal namun tidurnya tak tenang. Kupingnya terus berdengung. Kesal karena tak bisa tidur nyenyak, ia bangun dan mengambil minuman dari dalam kulkas.
"Perasaanku nggak enak" pikirnya.
Saat melihat ponselnya tergeletak diatas meja, pelan pelan ia tersenyum kecil. Lalu terdiam, lalu tertawa terkekeh kekeh. Ia ingat kejadian kemarin, saat Alvin meminta nomor ponselnya.
"Hahhahahahahaha" ia terus tertawa geli karena ingat ia memberikan nomor tempat pijat didekat kampus.
Tokkk! Tokkk!
Lea baru berhenti tertawa saat ibunya mengetuk pintu kamar, ia membuka pintu pelan seteah mengendalikan dirinya.
"Iya bu?" Tanya Lea diantara pintu yang terbuka kecil.
"Tidur, sudah jam dua pagi" ucap ibunya.
Lea mengangguk, ia pelan pelan menutup pintunya lagi. Sembari menahan tawa, ia kembali ke kasur untuk tidur.