Suara radio terdengar berisik ketika Rahma membolak-balikan buku pelajaran. Ditambah pikiran yang risau membuat pelajaran itu tak masuk di otak perempuan berambut sebahu itu. Pandangan mata Rahma berpindah ke luar jendela, nampak daun nangka yang berjatuhan. Membuat pikirannya melayang ke hari di mana Rahma dilamar.
"Hutangmu sudah hampir dua puluh juta, Man. Kapan kamu mau bayar?"
"Panen padi nanti InsyaAllah di bayar, Pak."
"Panen? Bukannya sawahmu gagal semua di makan tikus? jangan banyak alasan aku tau tentang itu semua."
"Iya, Pak. Tapi-"
"Nggak usah banyak alasan, bagaimana kalau sebagai gantinya anakmu Rahma kujadikan isteri untuk anakku, Dimas. Kuliat dia rajin dan bisa bekerja di sawah. Kalau kamu nggak mau Rahma di jadikan isteri, pikirkan saja cara lain. Ku beri kamu waktu seminggu untuk berpikir."
"Tapi Pak, Rahma ingin melanjutkan kuliah ke luar kota. Tidak mungkin ia mau di kawinkan secepat ini. Sudi kiranya Pak Bayu memberi keringanan kepada kami," ucap Abah memelas.
"Alah, ini sudah tahun ke 3 kamu meminta keringanan, kurang baik apa lagi aku sama kamu, Man?"
Pak Bayu berangkat dari kursinya. Lalu melangkah ke luar rumah. Tinggalah Abah seorang diri di ruang tamu.
Rahma yang sedari tadi menguping dari balik pintu mengambil napas berat. Lalu membuang perlahan. Ia berjalan lesu menghampiri Abah. Ia melihat wajah Abah yang penuh gurat kekecewaan. Rahma mencoba untuk senyum, lalu meraih tangan Abah dan mengelusnya. Berusaha menebar energi positif untuk orang yang di kasihinya. Walaupun sebenarnya hatinya bertolak belakang dengan yang ia lakukan sekarang.
"Abah tidak rela kamu jadi istrinya Dimas, Abah takut," ucap Abah sedih.
"Takut kenapa, Bah?"
"Abah takut kamu bukannya di jadikan isteri tapi malah di jadikan pembantu. Masa depanmu masih panjang, Nak."
Rahma terdiam lama.
***
Suara batuk Abah membuyarkan lamunannya. Bergegas ia memasuki kamar berdinding anyaman bambu. Bahkan langkahnya terdengar berderit karena lantai yang terbuat dari kayu itu mulai lapuk. Rahma membantu Abah bangun lalu memberinya minum. Abah tersenyum tipis, akhir-akhir ini batuknya kambuh lagi. Membuat Abah harus banyak beristirahat.
"Sore ini Pak Bayu datang, bagaimana keputusan mu, Nak?" tanya Abah seraya menyeruput air hangat yang di bawakan Rahma.
"Aku pasrah, mungkin ini sudah takdirku, Bah," ucap Rahma sembari menunduk.
"Maaf kan Abah, semua ini gara-gara Ibumu. Andai saja ia masih di sini aku akan membunuhnya."
"Lupakan saja, Bah. Bagiku ibu telah mati," ucap Rahma seraya berlalu.
"Terus bagaimana dengan keinginanmu kuliah di luar kota?"
Langkah Rahma tercekat dia memutar tubuh lalu kembali mendekat dengan Abah.
"Kuliah bisa kapan saja, Bah. Yang penting masalah ini selesai, ucap Rahma."
Air matanya menetes. Di memeluk Abah erat. Lelaki tua itu melepas pelukan Rahma, lalu menyeka air mata yang mengalir di pipi kanan Rahma. Lengan tua yang kokoh penuh dengan nadi yang menyembul. Rahma seakan kesulitan bernapas Kehidupan ini terlalu kejam untuknya. Betapa tidak, masalah selalu bermunculan sejak Ibu meninggalkannya.
"Danu...di mana kau?" lirih batinnya Rahma.
Sore harinya.
Pintu di ketuk kencang, Rahma yang sedari tadi sedang menanak nasi bergegas berlari dan membukakan pintu. Tampak Pak Bayu datang dengan seorang pria. Dilihat dari baju yang di kenakannya nampak seperti orang terpelajar. Tingginya semampai dengan rambut di sisir menyamping. Rahma mempersilahkan tamu itu masuk. Memanggil Abah lalu meminta izin ke dapur untuk membuatkan minuman.
"Nggak usah bikin teh, kami cuman sebentar," ucap Pak Bayu dengan senyum penuh arti.
Tak sedikit pun terlihat menyeramkan. Hanya saja Rahma merasa takut duluan.
"Oh... baiklah, Pak," ucap Rahma seraya membantu Abah duduk.
"Rahma, Apakah ayahmu sudah memberitahu maksud kedatangan kami?"
"Sudah, Pak."
"Terus kamu mau kan? Dimas sudah bosan dengan isteri pertamanya. Jadi kuharap nanti kamu mau di nikahi olehnya dan jadi isteri yang kedua."
Rahma menelan ludah. Nampak pria di samping Pak Bayu tersenyum dengan lesung pipinya yang menawan, tidak ada alasan untuk menolaknya. Tapi predikat playboy yang melekat kepadanya membuat Rahma takut. Banyak wanita di desa mengaku telah di hamilinya. Tapi setelah ia menikah dengan Yanti, tak terdengar lagi desas-desus itu.
Pak Bayu adalah seorang kepala desa. Ia di kenal galak dan perhitungan. Awalnya hutang Abah hanya 10 karung benih padi tapi semakin tahun bertambah banyak karena bunga yang membengkak. Itu juga karena Ibu.
" Sudahlah mau saja, ya. Aku akan memperlakukanmu dengan baik," ucap Dimas sembari mengedipkan mata ke arah Rahma.
"Tapi... sebentar lagi ujian akhir kelulusan, bisakah menunggu aku lulus dulu," ucap Rahma dengan suara direndahkan, takut kedua orang di depannya marah karena ucapannya yang membuat tersinggung.
"Setidaknya kamu ikut kami dulu, kemasi barangmu dan masukkan ke bagasi mobil! Anggap saja hutang ayahmu sudah lunas dengan ikutnya kamu ke rumahku!" ucap Pak Bayu tegas.
***
Rahma menangis tersedu sembari mengemasi baju-baju ke dalam tas usang peninggalan ibunya. Dadanya bergemuruh, tangannya bergetar tat kala menemukan foto ibu di dalam tas itu. Di sobeknya dengan keji. Ia tak sudi melihat perempuan itu lagi. Lalu ia menangis hingga dadanya susah bernapas.
Abah tak bisa berkata apa-apa. Ia sangat terpukul akan kejadian ini. Sekarang ia akan tinggal sendirian. rumah ini. Rahma mendekati Abah lalu mencium tangannya takzim. Ia berjalan lemas menuju pintu.
Langkahnya terasa berat. Hingga mata Rahma menatap pria yang berdiri di samping pintu. Sosok yang begitu dikenalnya. Orang yang selama ini dirindukan kedatangannya dan berharap dapat menolong Rahma dari kepelikan hidup yang dihadapi sekarang.
"Cepat lah sedikit, hari hampir malam," bentak pria itu nyaring seraya membuka topinya.
"Danu? Kau kah itu? Sejak kapan kamu di situ? Danu... tolonglah aku, Dan. Bawa aku menjauh dari sini. Buktikan kalau kau benar-benar mencintaiku!" seru Rahma dengan raut wajah penuh suka cita melihat kekasih hatinya datang disaat waktu yang tepat.
"Maaf kan aku Rahma, aku hanya supir di keluarga Pak Bayu. Aku tak bisa berbuat banyak," ucap Danu sembari meraih tas di tangan Rahma.
"Aku akan di nikahkan malam ini juga, Nu. Tolong aku!" ucap Rahma dengan suara serak.
"Lupakan semua yang telah kita lalui. Anggap saja kita tak pernah bertemu!" ucap Danu sembari menenteng tas Rahma dan menuju bagasi.
Air mata Rahma semakin deras. Pikirannya berkecamuk. Danu, pria yang selama ini ia cintai memutuskan hubungan begitu saja. Bahkan Danu pernah berjanji akan menikahinya karena mereka pernah sempat berhubungan badan sekali waktu di pondokan sawah. Itupun dilakukan Rahma untuk membuktikan bahwa ia serius dengan Danu. Teringat akan pertama kali berkenalan dengan Danu di bengkel Pak raji. Danu mengaku anak kepala desa sebelah. Bahkan Rahma sangat yakin karena Danu sering menjemputnya memakai mobil. Sangat jarang orang pribumi seperti Rahma mempunyai mobil hingga membuatnya terkesima dan tergila-gila dengan Danu.
"Dasar bajingan. Kau pendusta," batin Rahma dengan geraham menggertak.
Danu tak menoleh sedikit pun, Ia hanya membukakan pintu mobil untuk Rahma. Lalu kembali duduk di belakang kemudi. Mobil meluncur pelan mengejar mobil Pak Bayu yang berangkat lebih dulu.
Terlihat Abah melambaikan tangan mengiringi kepergian Rahma. Ia harus tegar agar Rahma tak menangis. Rahma tak bisa berbuat apa-apa, air matanya mengalir deras tanpa henti. Pandangannya mengabur, terlihat wajah Danu dari pantulan cermin. Ia seperti tak peduli sedikit pun.
Mobil memasuki taman yang luas, di mana-mana terdapat vas besar dengan bunga kertas berwarna-warni. Rahma turun seraya menyeka air mata. Kedatangnya di sambut oleh beberapa pelayan yang langsung membawa tas lusuh miliknya. Rahma terpana ketika melihat rumah kepala desa yang megah dan mewah. Tapi semua itu tak dapat menghilangkan keresahan hatinya. Jantungnya berdetak tak karuan.
"Aku nggak sudi dimadu sama anak ingusan itu!"
"Bisa tidak ngomongnya pelan sedikit, aku juga gak suka sama dia. Semua ini kehendak papah?" ucap Dimas seraya memegangi lengan perempuan bernama Yanti yang tak lain adalah istri pertamanya.
"Apa karena aku mandul? Kita kan sudah ikhtiar mas."
"Entahlah. Jadi kumohon jangan memperpanjang masalah."
Rahma mencoba mencari asal suara. Terlihat Yanti dan Dimas sedang bersitegang. Disibaknya dedaunan yang menghalangi pandangan. Mengintip sedikit agar tidak ketahuan, ia tak ingin muncul di saat yang tidak dibutuhkan.
"Kamu keterlaluan, Mas. Kamu jahat! umpat perempuan itu lagi."
Terserah apa katamu. Aku juga benci keadaan ini. Seenaknya papah menentukan kehendaknya," ucap Dimas membuang napas gusar. Ia mengacak rambut dan menendang ranting pohon yang tak jauh dari kaki kirinya.
"Aku janji tidak akan jatuh cinta. Aku cuman sayang sama kamu," ucap Dimas seraya melayangkan sebuah senyuman untuk meyakinkan Yanti.
"Terserah kamu saja," ucap Yanti sebal.
Yanti berlari melewati Rahma. Wanita yang mempunyai rambut panjang semampai dengan tubuh langsing. Cantik tiada cela dengan tahi lalat di bawah dagu.
Mungkin Dimas sudah gila ingin memadu Yanti dengan Rahma.
Rahma keluar dari persembunyian, lalu melangkah menuju kamar yang di tunjukan pelayan. Kamar besar dengan cat berwarna biru awan, terdapat ranjang berukuran besar dari kayu jati. Rahma terduduk lesu di lantai, tiba-tiba ia teringat akan Abah.
Tangisnya pun pecah, tergugu di antara jari jemari tangannya.
"Abah, aku rindu," ucap Rahma di sela tangisnya.
Abah sudah makan?"
"Apakah Abah sudah minum obat ?
"Ya,Tuhan. Kenapa nasibku malang begini?" batinnya mulai menggerutu