Agnes benar-benar terpukul dengan tulisan sang mami di salah satu media sosial miliknya! Ia tak dapat menyembunyikan rasa kesal dan marahnya ketika mengingat bagaimana raut wajah sang mami yang bahagia saat menuliskan kata-kata itu. "Nes." Clarissa tiba-tiba memegang tangan Agnes yang kencang dan tegang. "Nes, kamu ga bisa hanya diam saja. Jika memang tak setuju, katakan sejujurnya pada mami-mu."
"Dia pasti sudah tahu!" sahut Agnes.
"Dia? Maksudmu …."
"Paulina! Siapa lagi! Dia pasti merasa senang karena dia ada di atas angin saat ini!"
"Nes, kenapa pikiran kamu sempit gitu, sih! Aku … kemarin hampir saja memukul anak itu."
"Apa? Kenapa?" tanya Agnes terkejut.
"Aku merasa sangat kesal dengan sikapnya! Dia benar-benar playing victim, apalagi Dio tiba-tiba datang ke tempat itu."
"Dio? Maksudmu Claudio si anak IPA 11?" tanya Agnes makin penasaran.
Clarissa mengangguk. "Dia bahkan membawa Lina ke dalam mobilnya."
Agnes terdiam dan teringat sesuatu. "Berarti aku tak salah lihat kemarin! Itu memang dia!" ucap Agnes pelan.
"Kamu ngomong apa, Nes?"
"Enggak. Ga ada!" Agnes mengalihkan pandangannya ke papan tulis, berusaha konsentrasi namun tetap saja pikirannya teringat akan tulisan sang mami.
***
Di tempat lain, Paulina yang kini berada di ruang latihan musik sekolahnya, melihat sekilas info tentang rencana perjodohan antara Agnes dan salah satu sahabat kedua orang tuanya. Gadis itu menggigit-gigit ujung kukunya sembari melihat partitur-partitur yang didudukkan di tiang partitur hitam.
'Apa aku harus senang atau sedih atas berita ini? Agnes … dia, aku yakin marah denganku. Tapi percuma juga aku cerita! Dia tak lagi menganggapku sebagai sahabat. Jadi, apa yang harus kupedulikan?' Lina membuka ponselnya sekali lagi dan meninggalkan komen pada media sosial milik Abigail:
'Semoga semuanya berjalan dengan lancar dan menjadi kenyataan.'
Senyum seringai terpatri dengan jelas di wajah sang mantan sahabat. 'Jika Agnes tak lagi menganggap diriku, ya sudahlah! Aku juga tak akan mengemis padanya!' gumam Paulina menatap wajah flawless Abigail sambil menyeringai.
Sementara itu, Abigail yang berada di rumahnya dan tengah berlatih piano sambil siaran langsung tersenyum lebar menyapa para penggemarnya sembari tanya jawab. Bahkan, ada di antara para penggemarnya yang menanyakan tentang kejadian di Hotel Sampoerna malam itu selain berita yang mengatakan soal rencana perjodohan Agnes dan pria yang tak disebutkan namanya. Abigail hanya tersenyum menanggapi semua pertanyaan dari para penggemarnya hingga tiba-tiba sebuah telepon dari sahabat lamanya menjeda siaran langsungnya. Dengan wajah sedih, Abigail melambaikan tangannya, mengucapkan salam perpisahan, namun pada kenyataannya dia tersenyum menyeringai saat menerima telepon dari seseorang yang telah ditunggunya.
"Halo, Tuan Adi Waksana. Bagaimana kabar Anda? Apa Anda punya waktu malam ini? Saya ingin bertemu dengan Anda."
***
Sementara itu, di kediaman Regazka, Dio seperti biasa memulai homeschooling-nya dengan Bu Evi. Namun ada yang berbeda dengannya hari ini. Dio tak mengenakan seragam sekolahnya! Hal itu membuat Evi bertanya sejak datang ke kediaman keluarga pengusaha tersebut.
"Dio, sejak awal Ibu ingin bertanya padamu. Kenapa kau tak mengenakan seragam-mu?"
"Mulai hari ini saya telah memutuskan untuk tidak mengenakan seragam lagi, Bu." Sahut Dio senyum.
"Kenapa?"
"Penghematan."
"Apa?"
"Secara logika, saya tak bersekolah di tempat formal. Saya anggap homeschooling ini sebagai sekolah non-formal bagi saya. Soal memakai seragam atau tidak, itu bukanlah hal yang harus dibesar-besarkan, karena tiap anak punya keunikan sendiri."
"Ibu tahu kamu pintar, Dio. Tapi bagaimana pun juga, Ibu harus melaporkan semua kegiatan di luar sekolah secara detail dan jujur."
Dio menutup bukunya tiba-tiba, membuat Bu Evi terkejut. Remaja ABG itu melihat gurunya dengan tatapan datar namun seolah sedang menyindir. "Apa yang kau lakukan, Dio? Kenapa kau menutup bukumu tiba-tiba?"
"Bosan, Bu. Saya sudah bosan belajar!" sahut Dio santai.
"Alfredo Claudio Regazka! Apa yang sedang kau pikirkan, hah? Kau itu kebanggaan sekolah Pelita Bangsa, kau itu contoh dari murid-murid yang ada di sana! Kenapa sekarang kamu malah seperti ini?" sahut Bu Evi meninggikan suaranya terkejut.
"Ibu mau tahu kenapa saya, yang biasa berjalan sambil memegang buku pelajaran atau ensiklopedia tebal dengan kacamata berminus kini seperti ini?"
Evi mengangguk. "Ya, Ibu mau tahu apa alasannya, Claudio."
Claudio duduk melipat salah satu kakinya. Sambil tersenyum santai, remaja itu menjawab, "Demi sebuah pencitraan!"
"Apa? Demi sebuah pencitraan? Apa maksudmu, Dio?"
"Apa menurut Ibu semua anak akan selalu mengikuti kemauan orang tuanya? Apa mereka akan diam saja jika dijadikan boneka demi sebuah pencitraan? Apa menurut Ibu para anak tak memiliki hak untuk bersuara?"
Bu Evi mulai takut dan khawatir akan keadaan Dio. Dia segera keluar sementara Dio hanya melihatnya sambil tersenyum. "Bu Guru, ada apa? Kenapa wajah Anda pucat pasi?" tanya Jhon yang duduk di sofa kecil depan ruang belajar sang tuan muda.
"T-Tuan Jhon, apa … apa Dio selalu seperti ini?" tanya Bu Evi ekspresi cemas.
"Maksud Anda, Bu Guru?"
"Sebaiknya Anda lihat sendiri, Tuan Kepala Pelayan. Saya benar-benar cemas dengan keadaan Claudio. Apa kedua orang tuanya tak pernah memperhatikan tingkah laku dan perangai anaknya?"
"Tuan dan nyonya besar tidak pulang,Bu Guru. Mereka ada urusan. Maaf, kalau tuan muda membuat Anda merasa tak nyaman." Jhon membungkukkan badannya, meminta maaf.
"B-bukan itu, Tuan Kepala Pelayan. Sebaiknya Anda lihat sendiri." Pinta guru homeschooling Dio masuk ke ruangan belajar bersama Jhon Berry.
"Tuan." Bungkuk Jhon.
"Ada apa, Paman? Kenapa Paman ke sini?"
Jhon melirik Bu Evi sambil berkata, "Anda baik-baik saja, Tuan Muda?"
"Aku baik-baik saja. Ada apa?"
"Tidak. Sepertinya wajah Anda sedikit pucat, Tuan."
Claudio menghampiri Bu Evi dan lugas berkata, "Saya boleh minta tolong, Bu?"
"Minta tolong apa, Dio?"
Jhon terdiam memalingkan wajahnya. Dia tahu apa yang akan dikatakan oleh majikannya.
"Tolong, jangan katakan apa pun mengenai keadaan saya. Karena itu akan berdampak buruk bagi keluarga Regazka, terutama papa saya."
"Tapi,"
"Bu Guru, tolonglah saya kali ini. Ibu sudah melihat sendiri bukan bagaimana 'dalamnya' rumah ini? Apa Bu Guru belum mengerti juga jika Ibu membocorkan keadaan saya, maka Ibu juga akan kena imbasnya."
Evi diam sesaat, "Kamu … apa sedang mengancam Ibu, Dio?"
"Tidak, malah sebaliknya! Saya sedang berusaha menyelamatkan karir Anda, Bu Guru." Entah kenapa Bu Evi merasa ada yang salah dengan anak muridnya. Claudio yang dia kenal sama sekali berbeda dengan yang ada di depannya. Hanya dengan menatap mata remaja ini, dia merasa takut dan keringat dingin menjalar ke seluruh tubuhnya.
"Biar saya yang bicara dengan Bu Evi, Tuan Muda." Jhon menyela ucapan Dio.
Tak ada jawaban dari Claudio, Jhon segera mengambil tas serta buku-buku milik Bu Evi dan mengantarnya ke luar ruangan.
"Atas nama Tuan Claudio, saya meminta maaf pada Bu Guru atas sikap beliau hari ini."
"Tuan Kepala Pelayan, sebenarnya ada apa dengan Claudio? Saya hampir tak mengenalnya. Sikapnya sungguh berbeda dengan di sekolah."
"Saya yakin Anda pasti akan bertanya seperti itu, tapi maaf. Saya tak bisa menjelaskan panjang lebar karena ini bukan kapasitas saya, tapi saya minta tolong, Bu Guru jangan pernah membongkar keadaan Tuan Dio yang sebenarnya. Karena seperti yang Tuan Dio katakan tadi, jika orang luar mengetahui keadaan sebenarnya, maka keluarga Regazka bisa berada dalam masalah."
Bu Evi diam dan menatap serius kepala pelayan keluarga Regazka. "Saya mengerti, Tuan Kepala Pelayan, Tapi, saya juga minta tolong katakan pada Claudio ujian kelulusan sebentar lagi, meski saya tahu dia akan lulus dengan hasil yang memuaskan, namun tetap saja, status dia masih sebagai murid. Jadi, tolong ikuti aturan sekolah, meski dia homeschooling."
"Baik, akan saya sampaikan pesan Anda, Bu Guru."
Tak lama setelah Bu Evi meninggalkan kediaman keluarga Regazka, Jhon menemui Claudio yang masih berada di ruang musik sekaligus belajarnya.
"Apa sikapku tadi keterlaluan, Paman?" tanyanya berdiri di dekat jendela menatap ke luar melihat gurunya melangkah pergi.
"Tuan, jika saya boleh bertanya, apa alasan Anda bersikap seperti tadi pada guru Anda?"
"Demi sebuah pencitraan," sahutnya singkat.
"Maaf?"