"Maaf, Pak, tadi saya lagi nasihatin mereka berdua."
Edgar menatap Laura dan dua wanita lainnya bergantian.
"Kalian boleh pergi, kecuali Laura."
"Permisi, Pak." Agatha dan Zee bergegas meninggalkan pantri. Namun, mereka menoleh ke belakang, mengkhawatirkan Laura yang sepertinya akan diceramahi panjang lebar oleh atasan mereka.
"Tha, gimana, nih? Gue jadi nggak enak sama Bu Laura."
"Gue juga nggak tahu, Zee. Mudah-mudahan aja Bu Laura nggak diomelin Pak Edgar." Agatha menarik tangan Zee dan pergi dari tempat itu. Sebelum Edgar berbalik dan mendapati mereka masih berdiri di sana.
"Kenapa nunduk, hm? Kamu nggak mau liat wajah saya?"
"Bu-bukan gitu, Pak. Tapi----" Laura tertegun. Ketika mengangkat wajah, kedua bola mata mereka bertemu dan saling bertatapan lama. Laura menelan ludah dengan susah payah. Diperhatikannya lekuk wajah Edgar yang terukir hampir sempurna. Rahang yang tegas, bibir sedikit tebal dan hidung mencuat. Terlihat sangat ... seksi.
Wanita itu mengerjap dan sedikit menjauhkan diri dari hadapan Edgar. Jarak mereka terlalu tipis. Takut jika terjadi sesuatu menimbulkan fitnah pada karyawan lain.
"Maaf, Pak. Saya ... saya nggak bermaksud malas-malasan. Tadi saya lagi ngasih beberapa nasihat buat Agatha dan Zee. Mereka terlihat seperti kurang nyaman dengan tim yang baru."
"Oke, nggak papa. Silakan lanjut bikin kopi. Saya tunggu di dalam ruangan."
Kepergian Edgar membuat Laura mengerutkan dahi. Tidak ada apa-apa? Ia pikir pria itu akan marah-marah dan mengomeli dirinya seharian.
"Pak Edgar ganteng banget, ya. Apa dia udah punya pacar? Atau mungkin duda?" Tidak. Laura menggeleng cepat, mengusir pikiran-pikiran aneh yang mendadak lewat.
Tidak mungkin atasannya seorang duda. Kecuali jika belum menikah ... bisa jadi, mungkin?
Entahlah. Tidak seharusnya Laura memikirkan hal pribadi seperti itu. Dia hanya perlu membuat kopi sekarang juga. Sebelum Edgar benar-benar akan memarahinya.
Wanita itu kembali ke dalam ruangannya dengan Edgar. Laura meletakkan secangkir kopi di atas meja sang atasan, lalu kembali ke tempatnya bekerja.
"Oh ya, gimana dengan mantan anak-anak kamu tadi? Kenapa dia nggak betah bergabung dengan tim dua?"
Laura memegang gelas minumannya dengan ekspresi bingung. Wanita itu menggulir bola mata, kemudian melipat bibir dengan senyum tertahan.
"Nggak papa, Pak. Mungkin ... karena mereka jarang berkomunikasi. Jadi, sekarang malah canggung."
"Oh, begitu. Saya pikir kinerja Pak Arya yang kurang memuaskan."
Sepertinya Laura memberi jawaban yang salah. Meski ia menyembunyikan fakta, namun Edgar adalah atasan, pemimpin, yang tentunya tahu serta hafal seperti apa kinerja para karyawannya.
"Maaf, Pak, kalau itu saya nggak tahu," jawab Laura. Ia tidak ingin menjelekkan siapa pun, termasuk Arya. Walau pria itu seringkali membuat Laura geram.
"Oke. Nggak masalah. Yang paling penting, nanti siang kita harus meeting di luar. Apa kamu sudah menyusun materinya?"
"Oh, sudah, Pak. Saya sudah menyiapkan semuanya." Laura merapikan kertas-kertas tersebut dan membawanya ke depan. "Silakan Pak Edgar periksa terlebih dahulu."
Edgar hendak menggeser cangkir kopi yang sedikit menghalangi. Namun pergerakannya sedikit kasar dan mengakibatkan kopi panas di dalamnya tumpah, lalu mengenai tangan Laura yang tepat berada di sampingnya.
"Akh!" Gadis itu merintih. Menarik menarik tangan dari kertas-kertas yang tengah ia genggam.
"Astaga, Laura!" Edgar beranjak cepat meninggalkan kursi dan memutari meja. Meraih tangan kiri Laura yang kemerahan, karena cipratan air panas.
"Tangan kamu merah. Pasti perih."
"Sshh ... nggak papa kok, Pak. Nanti bisa saya obati sendiri."
"Jangan. Kamu tunggu di sini." Edgar bergegas mengambil kotak obat yang selalu tersedia di dalam ruangannya. Pria itu mengambil cairan antiseptik dan beberapa lembar kapas sebagai perantara.
"Kalau perih, kamu bilang, ya."
Laura memandangi wajah Edgar yang terlihat sangat serius. Jika seperti ini, pria itu semakin terlihat tampan. Edgar sangat baik dan perhatian kepadanya. Sentuhan-sentuhan lembut yang ia berikan sama sekali tidak melukai Laura sedikitpun.
'Aneh, kenapa gue jadi deg-degan kayak gini, ya? Gue gerogi? Tapi kenapa?' Laura terus membatin. Dia tidak mungkin menyukai Edgar, kan? Mereka hanya sebatas rekan kerja.
Edgar adalah atasannya. Sedangkan dirinya, hanya seorang Sekretaris biasa.
Tidak. Laura harus menyadarkan diri. Dia bukan tipe yang layak untuk Edgar.
"Gimana? Masih sakit?"
Suara berat Edgar membuyarkan lamunan Laura. Wanita itu mengerjap beberapa kali, lalu menunduk. Menatap luka yang sudah jauh lebih baik dari sebelumnya.
"Nggak, Pak. Udah nggak sakit, kok." Laura tersenyum. Melepas tangannya dari genggaman Edgar. "Terima kasih, Pak."
"Sama-sama. Sekali lagi saya minta maaf. Saya yang ceroboh, sampai akhirnya ... tangan kamu luka kayak gini."
"Nggak apa-apa, Pak. Namanya juga musibah. Kalau gitu, saya lanjut kerja, Pak."
Edgar mengangguk pelan. Dia kembali duduk di kursi kebanggaannya. Namun, posisi Laura yang berada tak jauh dari pandangan sering mencuri perhatiannya. Sesekali Edgar mengangkat wajah, menatap Laura yang tengah serius menatap layar laptop.
"Cantik." Pria itu hanya bisa bergumam. Mengungkap fakta, bahwa Laura terlihat sangat cantik.
"Laura, apa kamu punya pacar?"
"Ya?" Laura mengangkat wajah, menatap Edgar dengan ekspresi bingung.
"Kamu udah punya pacar?" tanya Edgar, mengulang.
Laura kebingungan. Rasanya aneh sekali. Mengapa Edgar tiba-tiba menanyakan hal itu?
"Belum, Pak." Wanita itu menggeleng kaku. Sebelumnya, tidak ada yang berani menanyakan hal ini padanya.
"Kenapa? Kamu nggak mau pacaran?"
Laura berdeham pelan. Lantas mengubah posisi duduk dengan nyaman. "Bukannya nggak mau, Pak. Tapi nggak ada cowoknya. Lagian saya juga masih betah sendiri. Kayaknya kalau pacaran bakal sakit hati terus, deh." Maaf jika Laura terkesan curhat. Tapi ia tengah mengatakan yang sebenarnya. Laura memiliki trauma di masa lalu, yang membuat dirinya enggan untuk mengulang kisah asmara seperti dulu.
"Nggak juga. Mungkin kamu pacarannya sama orang yang salah, kali."
"Emangnya Bapak punya pacar?"
Edgar menggeleng polos. "Saya belum pengen, Laura. Apalagi sekarang pekerjaan saya lagi sibuk banget. Saya takut nggak punya banyak waktu buat pacaran."
"Iya juga, sih. Tapi, ya, kalau pacar Bapak bisa mengerti, pasti hubungan kalian bakal awet, meski nggak sering ketemu."
Laura mengerutkan dahi, tatkala Edgar tertawa. Ada apa? Apa ada yang lucu?
"Zaman sekarang, mana ada wanita yang mengerti, Laura? Mereka itu egois. Selalu memikirkan diri sendiri. Mungkin bagi mereka, pekerjaan saya ini mudah dan nggak menghabiskan banyak waktu. Saya nggak mau dengan wanita seperti itu."
"Terus, perempuan idaman Pak Edgar yang kayak gimana?" Laura melipat kedua tangan di depan dada, sambil bersandar pada punggung kursi. Anehnya, mereka malah membuka sesi curhat secara mendadak.
"Kayak gimana, ya? Yang bisa mengerti kesibukan saya, mungkin?"
"Oh ... kalau begitu, harusnya Pak Edgar cari pacar di perusahaan. Mereka lebih tahu kesibukan Bapak, terus bisa ketemu setiap hari. Itu bonusnya."