"Laura, hari ini lembur dengan saya, ya. Ada beberapa hal yang perlu kita diskusikan."
Laura mengangguk setuju. Lagi pula sudah lama sekali ia tidak merasakan lembur seperti dulu. Apalagi projek nasi goreng instan akan segera dipasarkan. Pasti Edgar harus bekerja keras untuk hal itu.
"Pak, jadi gimana projek nasi goreng instan itu? Apa kita tetap mendistribusikannya ke mini market dekat-dekat sekolah?"
Edgar meninggalkan layar komputernya dan beralih menatap Laura. "Ini projek kamu, kan? Kalau kamu yang buat, saya yakin semuanya sudah terencana dengan matang. Jadi, saya akan ikuti apa yang sudah kamu rencanakan sejak dulu."
Tidak tahu. Namun Laura senang mendengarnya. Edgar sangat mendedikasi para karyawan yang telah bekerja dengan serius. Meski ia sudah tidak memegang Divisi Pemasaran, namun Edgar tetap memberi apresiasi yang luar biasa. Semua ide dan rencana Laura dilaksanakan sesuai dengan apa yang susun dahulu.
"Terima kasih banyak, Pak. Saya pikir ... Pak Edgar nggak akan melanjutkan projek ini."
"Jangan bercanda kamu," sahut Edgar, sambil tertawa pelan. "Kita sudah bertemu beberapa pemilik mini market, Laura. Kalau tiba-tiba projek ini batal, bukankah kita yang harus mengganti rugi?"
Ah, benar juga. Jadi bisa disimpulkan, Edgar melanjutkan projek ini karena tidak ingin menanggung ganti rugi? Sudahlah. Seharusnya Laura tidak boleh berharap lebih.
Bisnis tetaplah bisnis.
Arloji di tangan Laura sudah menunjukkan pukul empat sore. Seluruh karyawan telah membubarkan diri, alias pulang di waktu yang tepat. Kini, hanya mereka yang masih berada di kantor. Tepatnya di dalam ruangan Edgar.
Laura pernah bertanya satu hal kepada atasannya itu. Mengapa ia tidak membuat satu ruangan lain khusus untuk Sekretaris? Jika seperti ini, bukankah Edgar seperti tidak memiliki lingkungan pribadi yang harus dilindungi?
Namun Edgar hanya menjawab, "Supaya saya nggak perlu manggil kamu, Laura. Apalagi kamu harus bolak balik ke ruangan saya. Lebih baik seperti ini."
Oke. Cukup masuk akal juga.
"Hoam .... " Laura refleks menutup mulutnya yang menguap tidak sopan. Mata wanita itu membola, menatap Edgar yang tengah menertawakan dirinya. "Maaf, Pak. Saya kelepasan," ungkapnya.
"Bikin kopi sana. Saya juga udah mulai capek mendekati ngantuk."
"Siap. Pak Edgar mau kopi apa?" Laura menutup bolpoinnya dan beranjak meninggalkan kursi.
"Kopi hitam aja, Laura. Gulanya dua sendok teh, jangan terlalu manis."
"Oke. Pak Edgar tunggu sebentar, ya."
Pintu tertutup. Edgar baru menoleh dan tersenyum. Laura yang apa adanya, benar-benar berhasil membuat hatinya tersentuh. Wanita itu tidak pernah berpura-pura untuk terlihat anggun di depannya.
"Agh! Lama-lama lo bisa gila, Edgar!"
Suara langkah kaki Laura terdengar cukup nyaring, karena suasana kantor yang sepi. Tidak masalah. Laura sudah terbiasa dengan hal itu.
Ibarat kata, ia adalah penghuni perusahaan. Sebelum atau sesudah menjadi Sekretaris.
"Kopi hitam, gulanya dua sendok teh aja." Laura mengingat kembali pesanan kopi untuk Edgar. Tidak boleh salah, jika ingin karirnya bertahan lama.
Sedangkan untuk dirinya, Laura membuat kopi susu yang dirasa nyaman untuk lambung. Meski pecinta kopi, Laura juga memiliki sakit lambung yang sedikit akut.
"Kamu sendirian?"
"Akh!" Laura tidak sengaja menumpahkan kopi panas ke tangannya. Ia terkejut, tatkala Edgar tiba-tiba muncul dari belakang tubuhnya.
"Ya ampun ... saya minta maaf, Laura. Perih, ya?" Edgar meraih tangan Laura, seperti apa yang dilakukan wanita itu siang tadi. Dasar memang takdir, mereka bisa merasakan hal yang sama dalam satu hari.
"Akh ... perih, Pak." Laura meringis pelan. Punggung tangannya memerah. Ditambah dengan kulit Laura yang putih, sehingga luka kemerahan itu terlihat dengan jelas.
"Ayo duduk dulu. Saya obati sekalian."
"Nggak usah, Pak. Saya malah ngerepotin Bapak."
"Nggak papa. Kamu tunggu di sini." Edgar berlari dengan cepat, mencari kotak obat di tempat khusus karyawan.
"Gue kenapa ceroboh banget, sih? Kalau kayak gini, gue jadi nyusahin Pak Edgar."
"Laura. Sini tangan kamu."
Laura mengulurkan tangannya pada Edgar. Dia memperhatikan dengan seksama, detik-detik Edgar mengobati lukanya.
Pria itu terlihat serius dan fokus. Ia juga sangat teliti. Laura hampir tersenyum dibuatnya, tidak menyangka jika Edgar memiliki hati selembut ini.
'Laura, sadarlah. Lo nggak boleh terbawa suasana. Pak Edgar nggak mungkin suka sama lo.'
"Selesai." Edgar menepuk lengan Laura beberapa kali. "Sekali lagi, maafin saya, ya. Seharusnya saya nggak ngagetin kamu."
"Nggak papa, Pak. Saya udah nggak papa, kok."
***
"Pa, memangnya Edgar nggak marah, kamu suruh kerja di perusahaan Dewantara?"
"Nggak, Ma. Papa bingung harus ngomong apa sama Edgar. Takutnya dia nggak terima dengan kebangkrutan perusahaan kita." Evan melepas kacamata yang bertengger di pangkal hidungnya sejak pagi.
Ya. Perusahaan milik orang tua Edgar mengalami kebangkrutan dua bulan yang lalu. Namun, Evan tidak memberitahu sang putra tentang semua itu. Sebelumnya, Edgar menempuh pendidikan di luar negeri, sehingga ia tidak tahu kondisi perusahaan yang hampir bubar itu.
Beruntungnya, Dewantara memberi tawaran untuk mengakuisisi perusahaan tersebut. Dengan syarat, Edgar harus menjadi pemimpin di perusahaan induk Dewantara's Company.
"Mama takutnya dia mengalami kesulitan di perusahaan itu, Pa. Apa Dewantara memperlakukannya dengan baik?"
"Harusnya begitu, Ma. Nanti kita tanya Edgar aja. Kalau dia merasa nggak nyaman, lebih baik kita beri modal untuk membuat bisnis lain."
Elena, ibu kandung Edgar mengangguk setuju. Ia merasa kasihan pada sang putra, yang seharusnya menjadi pemimpin di perusahaan sendiri.
Ceklek.
Suara pintu terbuka membuat Evan dan Elena menoleh.
"Edgar?"
Pria itu menoleh dan tersenyum pada Elena. "Ma, Pa. Kalian kenapa belum tidur?" Edgar turut bergabung bersama kedua orang tuanya.
"Edgar, Papa mau tanya. Gimana perasaan kamu kerja di tempat Om Dewa? Apa dia memperlakukan kamu dengan baik?"
Kedua alis Edgar bertaut. Ia melirik Elena sekilas. "Maksud, Papa? Kenapa tanya kayak gitu?"
"Begini, Ssyang .... " Elena mengusap tangan putranya. "Kalau kamu merasa nggak nyaman di perusahaan itu, kami bisa memberi modal untuk membuka bisnis baru."
"Iya, Edgar. Papa juga merasa nggak tega, liat kamu kerja di perusahaan orang."
Edgar menghela napas pelan. Ia menggeleng pelan, dengan senyum manis bertengger di bibir. "Pa, Ma, Edgar seneng kerja di tempat Om Dewa. Om Dewa juga memperlakukan Edgar dengan baik. Apalagi mereka punya karyawan yang handal dan cekatan." Ia membayangkan Laura ketika mengatakan pujian itu. Karena hanya Laura, yang menurutnya sangat telaten.
"Baiklah kalau begitu. Tapi, apa Dewa menjanjikan kenaikan jabatan?"
"Kalau itu ... Edgar nggak mau berharap apa pun, Pa. Karena Om Dewa pasti harus mempertimbangkan banyak hal. Yang terpenting, Edgar sudah melakukan yang terbaik buat perusahaan."
Tidak ada kata selain bangga yang bisa Evan katakan pada Edgar. Putranya sangat membanggakan.
"Papa salut sama kamu, Edgar. Kamu benar-benar mewarisi sifat keluarga ini."