webnovel

Bentuk Perhatian Kecil

"Ah ... akhirnya sampai juga." Laura melepas sabuk pengaman di tubuhnya. Dia menoleh ke samping kanan, di mana Edgar juga tengah melakukan hal yang sama. "Lho, Pak Edgar kenapa lepas sabuk pengaman juga?" tanya Laura. Kebingungan.

"Emangnya kenapa? Saya mau antar kamu keluar."

"Eh, nggak usah, Pak." Tentunya Laura menolak. "Pak Edgar udah nganter saya pulang sampai ke depan apartemen, masa sekarang mau nganter saya sampe turun. Nggak usah, Pak. Bapak pasti capek."

"Nggak papa, Laura. Saya cuma mau memastikan kalau kamu baik-baik sama sampai dalam. Ayo turun."

Laura merasa tidak enak pada atasannya. Sudah menyusahkan, sekarang Edgar harus meninggalkan mobil. Apa pria itu tengah melayangkan protes secara tertutup?

Maksudnya, Edgar ingin menyinggung Laura melalui tindakan, agar ia tak merepotkan lagi?

Sebagai wanita yang mempunyai rasa malu dan sungkan, pastinya Laura memiliki prasangka seperti itu. Baiklah, mungkin besok Edgar tidak akan mau lagi menawarkan diri untuk menjadi sopir Laura.

Keduanya berdiri di depan kap mobil dengan rasa canggung yang menyelimuti. Laura berdeham pelan, mengangkat wajah dan menoleh pada Edgar.

"Saya ke atas dulu, Pak. Udah malam," ucapnya. Sopan sekali.

"Silakan masuk. Saya tunggu di sini, sampai kamu benar-benar masuk apartemen."

Laura hampir tersedak oleh salivanya sendiri. Atas dasar apa Edgar memperlakukannya seperti itu? Mereka rasanya seperti ... sepasang kekasih?

Oh, ya Tuhan ... dada Laura rasanya hampir sesak. Pria setampan dan semapan Edgar kenapa memperlakukannya seperti ini?

'Nggak, Laura. Lo jangan geer. Pak Edgar cuma mau mastiin karyawannya pulang dengan selamat.'

"Laura?"

Wanita yang masih berdiri di hadapan Edgar terkesiap, lantas mengerjap beberapa kali. "Ah, iya, Pak. Kalau gitu saya naik dulu, ya. Nanti saya sms Bapak."

"Iya. Hati-hati." Edgar bersandar di samping mobil, sembari menatap kepergian Laura. Diam-diam ia tersenyum, memandangi wanita polos seperti Sekretarisnya.

Edgar memang tidak memiliki pengalaman mendekati wanita. Namun, ia adalah pemain yang handal, dalam urusan membuat wanita terlena. Meskipun ia tahu, Laura sepertinya sulit untuk ditaklukkan.

Dalam langkahnya, Laura sesekali menoleh ke belakang. Jujur, ia mencemaskan Edgar. Hingga beberapa detik kemudian, suara petir terdengar menggelegar.

"Mau hujan. Apa Pak Edgar masih nunggu di luar?" Sungguh, Laura tidak bisa membayangkan jika hal itu benar-benar terjadi. Edgar tidak mungkin berkorban untuk dirinya, kan? Lagi pula pria itu membawa mobil kesayangannya. Jika hujan, ia akan mudah untuk berteduh.

Seperti itulah isi kepala Laura saat ini. Dia berusaha untuk acuh dan tidak mau memikirkan hal yang belum terjadi. Bagaimana pun juga, Laura harus sadar diri, akan posisinya yang jauh di bawah Edgar.

Hanya membutuhkan waktu kurang dari sepuluh menit, Laura akhirnya tiba di apartemen kesayangannya. Wanita itu melangkah ke arah jendela, lantas menunduk. Menatap Edgar yang benar-benar masih berdiri di bawah sana.

"Sssh ... Pak Edgar kenapa masih di sana, sih?" Sesuai janjinya, Laura mengirim pesan pada Edgar untuk segera pulang.

[Pak, saya udah sampai. Bapak hati-hati, ya. Udah gerimis. Jalanan pasti licin.]

Benda pipih berbentuk persegi itu digenggam erat oleh Laura. Ia terus memperhatikan Edgar. Lantas tersenyum, tatkala pria di bawah sana tengah menatap ponsel.

Seperti yang diharapkan, Edgar bersama mobilnya keluar dari area apartemen.

"Fyuh .... " Lega rasanya.

Akhirnya Laura bisa beristirahat dengan tenang.

Kasur busa milik Laura seketika memantul, saat tubuh wanita itu mendarat secara kasar. Laura memandangi langit-langit yang tak membalas tatapannya. Kemudian ia tersenyum, ketika wajah Edgar tiba-tiba melintas tanpa permisi.

PLAK!

"Lo gila, Laura!" Ya. Laura menampar wajahnya sendiri. Ini sudah termasuk tidak waras. Mengapa ada wajah Edgar dalam bayang-bayangnya?

"Mending gue mandi. Supaya kepala gue dingin. Akibat lembur, makanya gue jadi agak gila begini."

***

Di sepanjang perjalanan, Edgar sibuk memikirkan cara agar bisa memiliki Laura. Tidak salah lagi, dia benar-benar tertarik pada wanita itu.

Rintikan hujan turun begitu saja. Menyadarkan Edgar dengan bunyi yang paling dinikmati oleh seluruh isi penjuru bumi. Pria dengan kemeja abu-abu itu pun berdecak pelan. Pasalnya, ia masih dalam perjalanan.

Seandainya Edgar sudah di rumah, pasti ia sudah berselimut tebal dan tidur dengan nyenyak.

"Laper banget. Mending gue beli makan dulu di pinggir jalan." Edgar menepikan mobilnya. Ia mendekati sebuah tenda penjual nasi goreng yang tidak terlalu ramai. Perutnya memberontak minta diisi.

Sebenarnya Edgar sempat mengajak Laura untuk makan malam bersama ketika pulang tadi. Namun, wanita itu menolak dengan alasan tidak ingin merepotkan. Baik sekali memang. Itulah mengapa Edgar tertarik pada wanita cerdas yang selalu mendampinginya bekerja.

Drrtt ....

Ponsel di saku celananya bergetar. Edgar mengambil benda tersebut dan menarik kedua sudut pipi dengan ekspresi sumringah.

[Kalau udah sampai, jangan lupa kabarin ya, Pak.]

Pesan yang dikirim Laura berhasil membuat hati Edgar menghangat. Hanya bentuk perhatian kecil, namun efeknya membuat Edgar tak kuasa menahan senyum.

Sekretarisnya terlalu manis. Ia pasti sangat mencemaskan atasannya.

[Saya lagi makan nasi goreng di pinggir jalan. Di sini udah hujan. Tapi saya pasti hati-hati, kok.]

Ternyata benar apa yang orang katakan. Jatuh cinta adalah perasaan yang paling menakjubkan di dunia ini.

Jantung Edgar selalu berdebar berlebihan, ketika berada di samping Laur. Lalu, hanya menerima pesan, perut pria itu terasa geli, seperti ada ribuan sayap kupu-kupu yang beterbangan di dalamnya.

Entahlah. Namun rasanya beda. Tidak seperti ketika Edgar berhubungan dengan para wanita malam di kelab.

[Oh, ya sudah, Pak. Selamat makan.]

***

Sepertinya Laura benar-benar hampir gila. Wanita dengan balutan handuk yang masih melilit tubuhnya mengacak rambut dengan kasar. Lantas menjatuhkan tubuh ke atas kasur, dengan posisi terlentang.

"Lo kenapa malah sms Pak Edgar sih, Laura? Lo suka sama dia, hah? Lo tertarik sama dia" Wanita cantik itu mengomel seorang diri, sambil menatap langit kamar. Sepertinya benda tak bernyawa itu sudah menjadi santapan sehari-hari Laura dalam meluapkan emosi.

"Lah ... kan emang gue suka sama dia. Gimana, sih?!"

Apa wanita selalu seperti itu? Dia yang mengomel, dia juga yang merasa bodoh. Jika semua wanita seperti ini, pasti kekuasaan akan jatuh ke tangan mereka.

Laura memutuskan untuk beranjak dan mengenakan baju. Perutnya sudah berbunyi sejak tadi. Seperti anak rantau pada umumnya, Laura hanya memiliki mie instan di dalam lemari dapurnya. Tidak ada makanan layak yang bisa dia masak. Kecuali hari libur.

"Gini banget nasib gue. Tinggal sendiri, jadi harus masak sendiri. Pengen gitu, pulang kerja langsung ada makanan di atas meja." Malang sekali nasib Laura.

Tapi tidak apa. Dia sudah terlatih oleh semua ini. Perutnya yang rata sudah terbiasa menerima mie instan dengan lapang dada.

Sampai beberapa menit setelah mie instan dituangkan, ponsel berharganya berdering nyaring.

"Halo, Laura. Saya udah selesai makan. Nanti saya kabari lagi, kalau sudah sampai rumah."