webnovel

#11 Kedatangan Bu Susi

Aku sedang membantu ibu mengaduk gula di atas penggorengan. Kami sedang membuat kue karamel untuk Bu Susi, teman mengajak ibu di sekolah. Bu Susi sedang ada hajat lamaran putri sulungnya.

Saat kami sedang serius bekerja, Mamak Mun datang masuk ke dapur kami dengan langkah gontai, dan langsung duduk di kursi makan kami, yang juga terletak di dapur.

"Buatkan kue untuk siapa?" Tanya Mamak langsung begitu ia duduk. Aku dan ibu saling menatap.

"Bu Susi, Yu." Jawab Ibuku singkat.

"Ada hajat apa dia?" Tanya Mamak Mun lagi, ibu menolehku lagi, tapi kali ini aku tetap fokus pada gula di depanku yang mulai meleleh menjadi karamel.

"Lamaran putrinya." Jawab ibu lagi, pelan dan singkat. Aku tahu, ibu pasti tidak enak mengatakan kata lamaran pada orang yang baru saja mengalami tragedi lamaran. Mamak Mun langsung diam, tidak bertanya lagi. Ibu menolehku lagi dengan tatapan seperti bertanya, aku menggeleng.

"Sudah sarapan, Yu?" Tanya ibuku pada Mamak, mengalihkan pembicaraan. Mamak Mun langsung menggeleng.

"Bu Susi dapat mantu orang mana?" Mamak Mun malah kembali ke topik itu, terlihat ibu menghela nafas.

"Orang Sukorejo, desa sebelah saja, Yu. Pean kalau belum sarapan bisa sarapan di sini, aku bikin pecel ikan lele tadi." Kata ibukku, aku perhatikan beliau seperti serba salah. Ingin tidak membahas tapi ditanya, dijelaskan tapi semakin tidak enak. Tapi sepertinya Mamak Mun biasa saja.

"Aku tidak ingin makan, belum lapar. Aku kesini hanya mencari teman bicara saja. Di rumah, ada orang lain, tapi tidak bisa diajak bicara. Aku bicara padanya seperti bicara dengan tembok, dingin tidak ada jawaban." Mamak Mun tampak menghela nafas. Kang Sugi memang belum berubah, meskipun sudah mau makan, dia tetap menghabiskan waktunya dengan banyak melamun dan termenung. Bahkan terkadang tidak bisa diajak bicara, dia seperti ada di dunia lain.

"Ya sudah, Yu. Kalau begitu bantu kami saja membuat kue karamel ini." Kata ibuku menanggapi.

Selanjutnya kami asyik tenggelam dalam kesibukan membuat kue. Bahkan ketika telah usia kue karamel, kami membuat kue pukis dan dadar gulung. Aku bersyukurlah, setelah itu pembicaraan kami sudah berganti. Tidak lagi membahas lamat melamar, topik kami melebar kemana-mana. Bahkan, Mamak Mun sampai tertawa-tawa menceritakan masa kecilnya ketika membuat kue apem. Namun keseruan itu tidak berlangsung lama. Tepatnya setelah Bu Susi datang untuk mengambil kue yang sudah matang dan siap dibawa.

Bu Susi adalah kepala sekolah di SD tempat ibu mengajar. Beliau termasuk orang terpandang di desa ini. Dan, anaknya yang mau menikah ini namanya Safitri, sialnya dulu Safitri pernah menyukai Kang Sugi dan ditolak mentah-mentah oleh Kakangku itu. Alasannya tentu saja reputasi Safitri yang sering gonta-ganti pacar dan gaya pacaran yang sudah seperti suami istri. Meskipun Safitri sangat cantik, tapi Kang Sugi juga pikir-pikir kalau punya gandengan macam itu.

Dan rupanya, berita tentang penolakan Kang Sugi kepada Safitri itu terdengar sampai ke telinga keluarganya. Aku pernah mendengar cerita dari ibu jika keluarga Safitri atau keluarga Bu Susi sangat membenci keluarga Kang Sugi. Tapi Mamak Mun, tidak tahu-menahu tentang hal ini.

Jadi, ketika melihat Bu Susi datang. Aku sangat khawatir Bu Susi akan menyerang Mamak. Meskipun wajah Mamak ya anteng-anteng saja karena memang tidak tahu.

"Eh, ada ibu Muntamah." Nada Bu Susi sudah tidak enak didengar begitu melihat Mamak juga ada di dapur kami. Mamak mengangguk, tersenyum sangat ramah.

"Selamat ya, Bu, atas lamaran anaknya, semoga lancar." Kata Mamak Mun dengan polosnya. Aku lihat dengan jelas, Bu Susi tersenyum getir dan dibuat-buat. Tapi kukira, Mamak tetap tidak sadar. Beliau bahkan menawari Bu Susi duduk di kursi sebelahnya karena menunggu kue pukis satu kloter lagi yang sudah sebentar lagi siap angkut. Sampai situ, perasaanku sudah tidak enak. Aku kasihan melihat Mamak. Ibuku juga tampak gusar, sambil terus memantau kue pukis yang hendak matang, juga berkali-kali menoleh ke arah Mamak Mun dan Bu Susi yang duduk berdampingan.

"Dapat mantu orang mana, Bu?" Tanya Mamak Mun, beliau itu orangnya memang ramah. Jadi umumnya dengan siapapun, akan diajak mengobrol, grapyak istilah jawanya. Tapi, kali ini ramahnya Mamak sepertinya tidak melihat situasi lawan bicara. Lawan bicaranya itu sedang dipenuhi kebencian padanya, tapi beliau tidak sadar. Aku hanya terus berdoa, semoga Bu Susi tidak berkata yang menyakitkan, karena aku tahu juga, beliau orangnya terbuka apa adanya, tidak suka basa-basi. Aku sendiri yang gregetan Mamak Mun bertanya begitu, beliau seperti sedang memberi umpan pada macan yang sedang tidur.

"Oh! Anak saya? Calonnya anak desa tetangga sini sih, Bu. Namanya IPTU Edo Wibisono. Dinasnya di kota ini juga." Bu Susi mengatakan dengan nada biasa saja sebenarnya, tapi terlihat sekali niatnya adalah pamer. Dan Mamak Mun hanya mangut-mangut. Rasanya, aku ingin menyenggol Mamak Mun agar beliau berhenti bertanya. Karena perkiraan ku, jika diteruskan pembicaraan itu akan menyakitkan.

"Eh, anak Bu Muntamah kabarnya juga mau menikah, ya?" Tanya Bu Susi balik. Aku sudah menduga dia akan pura-pura tidak tahu dengan bertanya begitu. Wajah Mamak Mun langsung berubah tidak enak.

"Bu Susi, sepertinya kue pukisnya sudah siap." Kataku memotong pembicaraan mereka untuk menyelamatkan Mamak. Mereka berdua menolehku, lalu menoleh Ibukku yang sibuk menata kue yang masih fresh dari cetakan ke atas baki.

"Oh, iya. Biar saya Bantu!"

Aku lega, Bu Susi segera mengakhiri pembicaraannya lalu mendatangi ibu. Mamak Mun masih terpaku, mungkin beliau tidak menyangka akan ditanya begitu. Mamak Mun memang sepolos itu.

"Sudah, Mak. Tidak usah dipikirkan." Kataku sambil menepuk pundak Mamak yang melamun menatap Ibu dan Bu Susi dari jauh menata kue pukis. Beliau mengangguk, lalu mengalihkan pandangan.

Aku segera Mamak membicarakan hal lain, agar pikiran beliau teralihkan. Tapi sepertinya beliau sudah terlanjur kepikiran lagi tentang Kang Sugi karena melihat orang lain sedang heboh mempersiapkan acara lamaran anak mereka. Aku melihat wajah Mamak Mun tampak nelangsa. Ingin kurangkul beliau tapi khawatir terlihat aneh.

Setelah semua kue siap, tampak Bu Susi memintaku untuk membawakan kue-kue itu ke mobilnya. Aku, ibu, dan Mamak membantu beliau membawa semua kue itu ke dalam mobilnya.

"Terimakasih ya, Jeng, bantuannya." Kata Bu Susi padaku dan pada Ibu, beliau dengan jelas menyerahkan amplop kepada ibuku. Ibuku juga tak sungkan menerimanya. Setelah itu, Bu Susi mengangguk ke arahku. Tapi ketika melewati Mamak Mun, beliau berhenti sebentar.

"Eh, Bu. Semoga lancar ya acara pernikahan anak jenengan. Jangan lupa undang-undang, lho. Hihihi." Suara Bu Susi terlihat jelas tampak sedang mengejek. Bahkan beliau terkekeh di akhir kalimatnya. Aku nyaris menyahut, tapi ibu menarik tanganku.

"Yukk!! Mariii yaaa…duluan!" Sambung Bu Susi lagi, lantas masuk ke dalam mobil dan berlalu.

Aku langsung menoleh pada Mamak Mun, beliau tampak tertegun. Hatiku hancur melihatnya, beliau tadi ke rumahku berniat mencari hiburan tapi malah bertemu dengan orang yang membuat pikirannya semakin semrawut.

"Mak, tenang saja. Kang Sugi nanti juga akan bertemu jodohnya." Kataku sambil merangkul Mamak, mengajaknya masuk kembali ke rumah. "Anak Bu Susi itu gadis nakal, menikah dengan polisi, pasti pernikahannya tidak langgeng." Kataku lagi dengan emosi.

"Husshhhh!" Ibu dan Mamak kompak memarahiku.