"Ini adalah kamarmu!" Jonathan mendorong pintu kamar yang berukuran tidak terlalu besar. Koper-koper di depan pintu langsung Leonar bawa masuk ke dalam.
Mata wanita itu masih sembab, mengingat kejadian tadi di ruangan Hittler. Penghinaan yang membuat luka di hatinnya semakin menjadi. Leonar menata semua baju-bajunya di dalam lemari. Tangannya nampak lemas, seperti tak bertenaga sama sekali. Saat ia menoleh ke samping, ia mendapati Jonathan yang masih berdiri di ambang pintu. Pria itu menatap wajah Leonar dengan tatapan sinis. Mengintimidasi kantung mata Leonar yang membengkak.
"Mulai esok, jika Tuan Hittler meminta apa pun, maka lakukan saja! Kau tahu, bukan? Dia bisa membunuh ayahmu kapan saja!"
"Sepuluh menit setelah ini kau bisa pergi ke taman depan rumah. Ada banyak pekerjaan yang harus kau selesaikan di sana." Leonar diam tak menjawab. Ia terus menata pakaiannya di dalam almari. Hal itu membuat Jonathan sedikit jengkel dengan Leonar yang tidak meresponnya sama sekali.
"Mulutmu bisu, ya?"
Leonar masih tidak merespon. Ia membiarkan Jonathan tetap berdiri di ambang pintu kamarnya. Membiarkan pria itu terus mengamati untuk waktu yang lebih lama.
'Dia sangat menyebalkan!'
"Hey, jika dalam lima belas menit kau tidak tiba di taman depan rumah, maka siap-siap."
'Ya, siap-siap kau akan menghukum ayahku!' batin Leonar. Ia yang kesal pun langsung menghentikan aktivitasnya. Membiarkan semua pakaian itu tertumpuk-tumpuk di dalam almari. Dia segera pergi meninggalkan kamar. Melewati Jonathan tanpa memandang wajah pria itu sama sekali.
Sepanjang lorong Leonar tidak mempedulikan orang-orang yang memandanginya. Membiarkan para pelayan itu saling berbisik. Di ujung lorong ia melihat ayahnya sedang berdiri di dekat jendela. Leonar mendekati ayahnya, berdiri di sampingnya tanpa berkata-kata. Kedua matanya menatap wajah ayahnya dengan nanar. Leonar tidak melihat penyesalan di mata ayahnya. Perlahan mata Leonar berair. Dadanya bergemuruh kencang, membuat ia merasakan sakit yang berlebih.
"Leonar, Ayah menyayangimu." Mendengar itu Leonar langsung tersenyum penuh arti. Ditatapnya mata ayahnya lebih dalam lagi.
'Ini adalah kata termanis yang pernah keluar dari mulutmu, Ayah. Sayangnya ungkapanmu itu palsu.'
"Ya, aku juga mencintai Ayah," jawabnya sambil menarik ujung bibirnya. Leonar pandai bermain peran. Air matanya sudah menetes, namun ia masih mampu melempar senyum ke wajah ayahnya.
"Leonar, kau adalah penyelamat Ayah. Jika saja kau tidak datang, mungkin saat ini Ayah sudah tinggal di jeruji besi ruang bawah tanah."
"Tidak masalah."
"Leonar, Ayah mohon... jangan pernah menolak perintah Tuan Hittler. Kau tahu, kan dia siapa? Jika kau menolak perintahnya, tidak hanya kau saja yang akan dia celakai, namun juga ayah dan semua keluarga kita. Kau tidak mau itu terjadi, bukan?"
Leonar mengangguk. Senyuman di bibirnya masih belum memudar. Masih menghiasi wajah sedih dengan air mata yang masih menggambang di kantung matanya.
"Ayah, apakah kau benar-benar tulus menyayangiku?"
"Ya, tentu saja. Aku adalah Ayahmu, bagaimana mungkin aku tidak mencintaimu?"
'Aku tahu kau berbohong, Yah. Itu tidak terdengar tulus.'
"Ah, ya... kudengar tadi Jonathan menyuruhmu pergi ke taman depan. Ada banyak pekerjaan di sana. Sebaiknya kau pergi ke sana sekarang Leonar, jangan sampai terlambat. Lakukan pekerjaanmu dengan baik," tungkas Leonardo. Sejurus kemudian pria itu langsung berpaling, pergi dari hadapan putrinya begitu saja.
Jarum jam di atas jendela itu terus berputar, Leonar masih berdiri terpaku di tempat yang sama. Menatap punggung ayahnya yang perlahan menjauh. Air matanya kembali menetes. Rasa sakit itu kembali datang. Sesaat kemudian ia tersadar, Jonathan menyuruhnya untuk tiba di taman depan rumah sebelum lima belas menit, dan sekarang sudah lebih dari lima belas menit!
Buru-buru Leonar turun menuruni anak tangga, meninggalkan lorong lantai dua yang dipenuhi pelayan makanan.
Tiba di taman depan rumah, Leonar menatap sekeliling. Ia tidak melihat seorang pun di sana. Kursi-kursi di taman itu nampak kosong, tak seorang pun mendudukinya.
Leonar berjalan mendekat ke taman. Banyak sampah berserakan di mana-mana. Ia mengernyit, merasa aneh dengan semua sampah yang memenuhi taman depan rumah.
"Kemarin sore aku lewat depan sini, perasaan tidak ada sampah sebanyak ini. Kenapa sekarang tiba-tiba banyak sampah?"
"Aneh sekali!" Leonar langsung bergegas mengambil sapu yang ada di dekat pos satpam. Buru-buru ia menyapu semua sampah-sampah itu. Tiga tempat sampah berukuran sedang sudah terisi penuh oleh sisa-sisa makanan. Leonar mengelap keringat, memejamkan mata sambil menghembuskan nafas panjang. Ini adalah pekerjaan yang benar-benar melelahkan.
Baru saja ia hendak duduk di kursi taman, tiba-tiba seorang pria berjas hitam berjalan sambil bermain ponsel. Ia tidak tahu jika di depannya terdapat tempat sampah yang sudah terisi penuh!
BRUK!!
Sontak Leonar langsung menoleh, wajahnya langsung pasrah. Semua isi di dalam tong sampah itu keluar, kembali membuat lantai menjadi kotor! Dengan wajah pasrah Leonar menatap sampah-sampah yang berserakan itu, dia langsung mengambil sapu dan membersihkannya kembali.
"Tidak apa, Tuan... Tuan pasti tidak sengaja melakukannya," ucap Leonar sambil melempar senyum.
'Tidak! Kau pasti sengaja melakukannya!'
BRUK!!
Dengan sengaja Hittler menendang dua tempat sampah di depannya. Membuat lantai itu kembali kotor dan dipenuhi sampah. Tanpa rasa bersalah sama sekali Hittler mengatakan, "Ya, aku sengaja melakukannya!"
"Sekarang bersihkan lagi tempat ini."
Tanpa menjawab Leonar segera membersihkan tempat tersebut. Ia kembali memasukkan semua sampah itu ke dalam tong sampah. Ia nampak kesal dengan sikap pria di depannya yang sewenang-wenang. Sayangnya ia tidak berani meluapkan emosinya di depan Hittler. Tentu karena ia tahu apa yang akan terjadi jika ia berani melawan tuan muda itu.
'Kenapa semua orang di sini menyebalkan? Mereka seperti tidak punya perasaan sam sekali! Tidak tahu sopan santun!'
"Hey!!"
"Ya, Tuan?"
Hittler memberikan isyarat supaya Leonar mendekat. Ia juga menggerakkan matanya, memberikan perintah pada Leonar untuk duduk di sebelahnya.
"Sa-saya?"
"Hm!"
Begitu Leonar duduk, Hittler langsung mengangkat kakinya. Menaruh kedua kakinya di atas paha Leonar. Lagi-lagi matanya memberikan isyarat. Kali ini Leonar tidak paham dengan bahasa mata Hittler. Pria di sampingnya itu bahkan tidak mau berbicara! Tak sepatah kata pun keluar dari mulutnya.
"Maaf, saya harus melakukan apa?" tanya Leonar sambil menunduk takut.
"Kau terlalu bodoh untuk memahaminya?"
'Kau yang bodoh! Kau punya mulut, dan kau malah mempergunakan matamu untuk berbicara. Kau pikir aku paham dengan bahasa matamu!' batinnya dongkol. Karena merasa kesal, reflek tangan Leonar menepuk kaki Hittler.
"Sedikit keras lagi!"
'Ha? Jadi... maksudnya dia menyuruhku untuk memijatnya?' Tanpa disengaja apa yang ia lakukan barusan membuatnya tahu apa yang tuannya perintahkan.
Dengan semangat Leonar memijat kaki Hittler. Ia sengaja melakukannya dengan kuat, sedikit melampiaskan kekesalannya karena ulah Hittler yang membuatnya jadi harus membersihkan sampah dua kali. Saking semangatnya, tidak sengaja kuku panjang Leonar menggores kaki Hittler!
"BODOH!!"
PLAK!
"Kau membuat kakiku lecet!"
Reflek tangan Hittler menampar pipi Leonar. Tamparan itu cukup keras, membuat pipi Leonar langsung merah seketika. Gambaran tangan Hittler terpampang jelas di pipi kanan Leonar!
"Sakit," lirihnya.
"BODOH!!"
Leonar langsung lari meninggalkan taman itu. Dengan rasa panas di pipinya ia menaiki anak tangga. Berlari cepat sambil memegangi pipi kanannya.
"Sakit...."