Siapa dia? Apa dia kekasihnya? Kenapa kok akrab sekali mereka?"
-Khadijah-
*
"Mas Rumi!"
"Mawar?"
Rumi menghampiri seorang gadis cantik bernama Mawar.
"Kamu kok disini? terus dia siapa?"
"Dia anakku, mas?"
Rumi menatap curiga.
"Iya, dia anakku dari hubunganku dengan mas Adrian."
Rumi masih menatapnya.
"Mas Adrian, tidak tahu kalau aku melahirkan anak ini, karena pernah aku datang ke rumahnya, saat usia kandunganku menginjak bulan ke dua, tapi dia menyuruhku menggugurkannya. Apalagi keluarga mas Adrian menganggap aku wanita penggoda."
Mawar pun sejenak menghela napas menahan bendungan air matanya.
"Terus?"
"Aku nggak ingin mas, dia anakku, hanya anakku. Dia bukan anak haram melainkan hubungan aku dan mas Adrian yang haram, sungguh aku bodoh mas. Tergila-gila karena ketampanannya hingga menjerumuskanku ke lembah nista."
"War, keputusan kamu sudah benar, kamu tidak boleh lari dari tanggung jawabmu, anakmu tidak bersalah sama sekali."
"Mas. Aku tidak peduli, kalau anakku bertanya siapa ayah kandungnya, mungkin aku akan menunjukkannya. Dia berhak tahu, tapi aku hanya ingin anakku tak pernah bertanya soal ayah kandungnya."
"Boleh aku mengendongnya?"
"Boleh, Mas."
Rumi sedang mengendong Farhan. Balita itu terlihat sangat tenang dan nyaman, ia merasa kesejukan hingga tidur.
"Mas, kita duduk di sana yuks?"
"Baiklah."
Mereka mulai duduk di sebuah kafe dekat taman kota.
*
Pov Khadijah.
"Dijah, temen aku ke kafe, sumpah aku lagi bete!"
Minggu tenang seharusnya ku gunakan untuk kegiatan mager, tapi sayangnya ada Sera. Temen baikku yang super berisik minta ampun.
Udah jadi kaum rebahan, eh dia-nya main nyelonong masuk ke kamar ku. Pasti Hasan dan Ridwan asyi ngegame.
"Dijah, please kita ke Kafe biasanya kita nongkrong, aku lagi sumpek nich."
"Yaelah, Ser. Kamu ajak Fabian atau nggak pacar barumu si Suho."
Aku sungguh males, pengen bobok.
Sera mengoyak-goyak tubuhku yang mulai dalam zona nyaman.
"Ser, kamu ajak Fabian aja!"
"Fabian lagi ngedate sama Kiena."
"Nggak mungkin, tuch anak lagi jomblo, Kiena-kan cuman temennya aja."
Sera menunjukkan instastory milik Kiana yang sedang dinner.
"Heem, ya sudahlah. Mereka cocok terus mau diapakan lagi?"
"Dijah!"
"Aduh suara Hasan, ada apa lagi sich?!" gerutuku.
Hasan masuk ke kamarku tanpa ketukan permisi.
"Ada apa, Can?"
"Aku bawa mobilmu ya, soalnya mobilku, kan lagi di servis."
"Ah, tapi ini Sera mau ajak aku keluar, terus aku harus naik apa?"
"Taksi online!"
"Emang kamu mau kemana sich, Can?"
"Cari angin!"
"Cari angin?? Gimana kalau angin kentutku yang semerbak harumnya bagai aroma surga!" Ceplos Sera
"Angin surga bagimu, bagiku angin neraka yang bisa membunuhku!"
Sera pun terlihat kusut.
"Kuncinya!"
"Ada di atas meja belajarku, ambilah."
Setelah mengambil kunci Hasan langsung meluncur, entah katanya mau cari angin.
"Dasar, Can. Hobinya nyelonong aja!" umpatku.
"Yaelah, Jah. Aku kan bawa mobil, tenanglah."
"Lupa kalau kamu punya mobil."
"Iya, kan. Aku sering dijemput sama abangku, maklum adik kesayangan takut diculik."
"Ah, kadang aku iri sama kamu punya abang kayak Bagas. Bisa jadi sopir pribadi."
"Ya, Bang Bagas selalu posesif sama aku, mungkin ya, karena aku adalah keluarganya satu-satunya. Semenjak orang tuaku meninggal kecelakaan itu, dia semakin sayang pakai banget. Bahkan, Kak Imelda yang jadi kekasihnya selalu iri sama aku, dan dia pun nyuruh aku buat hindarin abangku sendiri."
"Dia nggak punya otak mungkin! kalau Hasan punya kekasih kayak pacar abangmu sudah aku putuskan, aku perintahkan Hasan buat putusin. Enak saja dia memecah bela antar saudara."
"Tenang, bu. Nggak usah emosi dech."
"Kesel aja dengerinnya."
"Daripada kamu darting mendingan kamu mandi sana, bau mu sudah kayak sampah!"
"Anjay, kamu bilang bau ku kayak sampah, yaudah aku tidur lagi."
"Tidur terus, mau bikin peta buta di spreimu?"
"Sialan, kamu Ser."
"Abis kamu susah banget diajaknya, emang kamu udah nggak care sama aku?"
"Duh, Ser. Aku males banget!"
"Jangan malas, siapa tahu pas kita keluar ketemu Rumi."
"Rumi?" ulangku. "Mana mungkin dia nongkrong di cafe? Yang ada dia nongkrong di masjid!"
"Nggak usah ngegass, bu. Ya, siapa tahu Allah itu mempertemukan dalam skenarionya."
"Ser, boleh nggak aku ikutan?!"
"Nggak!" Tolakku otomatis.
"Dijah, aku nanya Sera bukan kamu? kenapa malah kamu yang nyahut!"
"Ya Enggak! kamu jaga rumah aja!"
"Ngegas mulu kamu, Dijah. Tiati kamu bisa stroke loh."
"Kamu menyumpahin aku?"
"Enggg...."
"Pergi sana, aku malas dan mual kalau ada kamu Ridwan!"
Aku mengusir Ridwan.
"Iya, aku nggak ikut kalian."
"Kasihan loch, Dijah. Biarin dia ikut biar jadi sopir kita."
"Iya, aku ikhlas jadi sopir kalian, kok."
"Terserah," singkatku.
Ku melangkah ke kamar mandi untuk segera mandi.
Di kamar mandi...
Aku termenung, dan melamun tentang Rumi, kekasih idamanku. Bahkan, namanya selalu terapal dalam hatiku paling dalam. Sungguh, aku mengaguminya, karena akhlaknya.
Ku nyalakan kran shower, setelah ku lucuti semua bajuku, lalu ku ambil sabun, dan membilasnya.
*
Pov Sera
Sudah hampir 30 menit aku menunggu Khadijah, dia kalau mandi kayak putri keraton lama sekali.
"Jah, masih lama nggak!"
"Heeem."
Suara gemericik shower, ku hanya dapat sahutan "Heem" bak Nisya Syaban.
Ku sebenarnya agak bosan yang dinamakan menunggu, tapi apalah artinya menunggu, kalau nggak nunggu, tuch anak malahan mager.
Ku berusaha mengotak-atik ponsel, mengecek IG, aku melihat sebuah pemotretan tidak mengenakan.
Fabian berfoto dengan Kiena, sungguh membuat suasana semakin panas. Dalam ruangan ber-ac masih tetap panas.
"Kamu kenapa, Ser?"
"Sepertinya ac kamar kamu mati dech, Jah."
"Mati?" ulang Khadijah.
Khadijah mengecek AC di kamarnya, nyatanya baik-baik saja.
"Hadeh, AC kamarku nggak mati, mungkin tubuhmu lagi dalam masa pemuaian perasaan," lirik Khadijah melihat layar ponselku.
Aku hanya diam membatu.
"Fabian, Jah."
"Fabian?" Mata Khadijah membulat.
"Iya, dia sama Kiena."
"Sampai kapan kamu mencintainya diam-diam?!" ucapnya dengan menekan tiap kata-katanya.
Aku hanya diam kala itu dalam kesunyian.
"Sebelum kamu terlambat dan kehilangan dia?"
Aku pun hanya diam dalam kebisuan.
"Aku suka sama dia, Jah."
"Suka itu ngomong, bukan hanya dipendam kuat-kuat."
Khadijah mulai mengeringkan rambutnya dengan hair dryer nya, setelah memberikan vitamin rambut.
"Kamu nunggu sampai kapan? Sampai lumutan?!"
Aku tetap dalam diamku, bahkan aku merasa kalau Fabian tak pernah melihat cintaku. Yang ku tahu Fabian hanya cinta dengan Khadijah. Dan, Kiena hanya sebatas pelampiasannya saja.
Cinta itu sebenarnya sederhana, namun yang membuat rumit hanyalah pelaku cinta tersebut.
Ku embuskan napas kasar. Rasanya tak rela, jika pria yang ku sukai bersama dengan perempuan lain. Di satu sisi aku sadar akan diriku bukan siapa-siapa baginya.
"Sera, bangun! ingat dia bukan siapa-siapamu, bahkan kamu cuman bunga kuncup yang tidak menarik baginya, atau kamu itu bintang-bintang kecil diantara bintang yang bersinar! Sadar dirimu! sadar!"
Aku berusaha tegar, berusaha menahan rasa kecewa campur kepedihan dan rasa bak permen nano-nano.
Cuman orang bodohlah, mengharapkan orang yang tak pernah bisa cinta kamu, kamu hanya bagian dari bumi lapisan yang paling tipis tak terlihat. Bayangkan saja kalau seandainya saja, hati itu bisa memilih pelabuhannya, tapi sayangnya aku terjebak dengan cinta satu pihak, ini lebih sakit dan retak daripada patah hati atau putus!
Aku mulai mengeleng-gelengkan kepala. Dan, menepis perasaan yang sungguh memuakan, seandainya cinta bisa pakai logika, mungkin takkan sesakit ini! hati terasa sakit teriris-iris. Begitu ngiluh sampai ke uluh hati, sungguh menyebalkan terlibat akan cinta.
*
Pov Author.
Cafe tengah kota, tiga orang memasukinya.
"Dijah, aku pengen matcha greentea."
Pandangan Khadijah pun berpindah ke satu arah.
"Siapa dia? Apa dia kekasihnya? Kenapa kok akrab sekali mereka?" Gumam Khadijah.
Khadijah hanya mampu menahan sesak dalam dadanya, dia berusaha tetap tenang. "Apakah ini sebuah kenyataan?" Batinnya.
*