webnovel

Dear Adam (Indonesia)

Khadijah Putri Ayaas, perempuan yang melanjutkan S2 Universitas ternama di Seoul. Ia memiliki saudara kembar laki-laki bernama Hasan. Namun, kehidupan Khadijah tidak sesempurna yang orang bayangkan. Ia memiliki sebuah luka dalam hatinya. Ia harus kehilangan ayahnya akibat kecelakaan pesawat. Saat dinyatakan ayahnya meninggal. Khadijah tidak percaya, karena ia yakin kalau ayahnya masih hidup. Meskipun, ia sudah memiliki ayah tiri yang sangat menyayanginya. Tapi, dia tetap menyayangi ayah kandungnya. Ketika di masjid kampusnya, ia mendengarkan lantunan indah surah AL-Mulk yang begitu mengetarkan hatinya. Ia merasakan jatuh hati kepada pemilik suara syahdu, bagaikan angin surga yang menyejukkan hati. Ia pun menamainya dengan sebutan Adam. Siapakah dia? Mungkinkah gadis itu merupakan tulang rusuk dari pria yang selalu dia kagumi, bahkan selalu ia rapal namanya dalam setiap sujudnya?

Riska_Vianka · Urbano
Classificações insuficientes
416 Chs

Musim Semi

Pov Author

Senin di kampus Khadijah sedang duduk di Gazebo. Ia mengerjakan tesisnya demi gelar S2 nya.

Sepasang kekasih berjalan, nampak sesak saat melihatnya, apalagi tidak sepasang lagi, tapi ada seorang balita laki-laki.

"Apa dia?"

Pikiran Khadijah menjadi tak menentu. Ia merasakan ingin rasanya bersandar dengan seseorang kala itu.

Musim semi seharusnya bisa seindah seperti di drama korea, sayangnya musim semi berkecamuk dalam perasaan dalam cinta sendirian.

"Hai apa kabar hati? kenapa harus jatuh hati kepadamu? sesat dan tak tahu arah pulang? kenapa jatuh hati tak bisa memilih?"

Khadijah melamun dan menatap layar pada laptopnya. Seakan ia memikirkan dia yang bersama dia.

Menghela napas kasar, Khadijah merasakan sebuah sesak di dada. Tatapannya tidak bisa lepas dari mereka.

"Sungguh kejam rasa jatuh cinta, apalagi jatuh ke pelukan yang salah. Belum sempat memiliki sudah patah hati. Rasanya tercabik-cabik sampai tak beraturan bentuk perasaan bak ayam suwir-suwir."

Tatapan kosong Khadijah.

"Jah, kenapa tumben, akhir-akhir ini kamu kebanyakan bengong?"

Fabian nongol bak tuyul di siang bolong.

"Sejak kapan kamu di sini?" selidik Khadijah dengan memincingkan matanya.

"Sejak kamu melamun."

"Aku nggak melamun hanya saja memikirkan tesisku."

"Tesis? atau cowok?"

"Tesislah!"

"Yakin, kalau tesis, bukan pandangan yang lain?"

Khadijah hanya meringis melihatnya. Sungguh menatap nanar bayangan kemesraan diantara mereka.

"Cukup tahu ajaa," Jerit Khadijah dalam  hati.

"Sudah, Dijah. Kamu harus fokus sama tesismu!"

Bagaimana merasakan perasaan sendiri? jiwa yang terapung diatas angin. Sebuah bayangan kepiluan mewakili perasaan bak hati yang sedikit sesak hingga menyiksa dalam uluh hati.

"Kau masih saja bisa ada kesempatan itu, asalkan kamu bisa mengucapkan dan mendoakannya secara diam-diam lewat sebuah sujudmu."

Khadijah menatap sendu layar pada laptopnya hingga hasil ketikannya tak terlihat lagi. Sungguh menyebalkan bak hati yang tak seharusnya bisa ia lakukan, sadar diri akan dirinya bukanlah siapa-siapa. Bahkan, tidak ada hak sama sekali melarangnya.

"Yakin, kamu nggak mikirin pria dan perempuan yang sedang berjalan beriringan?"

"Sial!" Fabian berhasil membaca pikirannya bak mbah dukun dadakan.

Khadijah hanya duduk terdiam, bagaikan musim semi yang tiada cinta bersemi, yang ada hanyalah cinta sepihak menyakitkan.

Tangis dalam hati Khadijah kalah itu, menangis tanpa air mata, mungkin ia merasakan cinta yang tak pernah bisa terjadi.

Suara ocehan Fabian mendadak hilang dari pendengarannya.

Kenapa harus ada rasa cinta, jika pada akhirnya, cinta itu tak pernah terjadi.

Batin Khadijah seakan menjerit. Sore dalam kebisuan yang disaksikan senja yang jingga.

Flash back on

Aku mengingat dia kala itu, hujan sempat menghentikan aku dan dia. Tapi, kita tak saling bicara, hanya saling memandang.

Hanya batinku yang bicara, tidak akan pernah ada satu kata diantara aku dan dia.

Sebuah motor vespa butut tahun 90 an berhenti di depanku.

"Dijah, ayo naik."

Aku mengelengkan kepalaku, karena aku tak ingin kala itu moment ku bersamanya berhenti begitu saja.

"Dijah."

"Kamu duluan saja, Fab. Aku menunggu Hasan menjemputku."

Aku pun menolak Fabian, lalu dia pergi bersama vespanya.

"Ehem."

Suara deheman keluar darinya. Napasku seakan kasar. Hatiku berasa deg-degkan. Ingin rasanya mengucapkan satu kata, namun sayangnya kata-kata itu tak bisa ku ucapkan.

Hujan itu mulai reda, seakan menjadi kode keras perpisahan antara aku dan dia. Kami saling menatap, arah kita saling berlawanan berjalan. Saling meninggalkan. Namun, sadar diri kalau bukan siapa-siapa. Dalam doaku seakan ku rapal namanya setiap waktu.

Ya dia seorang Adam yang sungguh ku rindukan setiap waktu dan detik. Bagiku, dia adalah Adam yang selalu ada dalam doaku. Sepanjang doaku ku inginkan dia, meskipun kenyataannya hanya sebatas mengenal aku dengannya.

Flash back Off.

Kini hanya musim semi bak perasaan patah hati yang mulai bersemi. Bukan, perasaan cinta yang bersemi, apalagi kehadiran perempuan itu. Bak bom atom yang meledak seketika.

***

Pagi ini sinar mentari begitu indah.

"Selamat pagi!"

"Pagi, Dad."

"Sarapan yukz."

Khadijah pun turun langsung ke meja makan.

"Tumben, dad. Kok sepi?mana Hasan sama Ridwan?"

"Mereka?"

"Ehem."

"Udah dari tadi pagi mereka keluar. Katanya mereka ada urusan."

"O."

Khadijah celingukan.

"Kemana bibi?"

"Bibi?"

"Iya, Dad."

Ayasss hanya menaikan bahunya memberi tanda tidak tau.

"Nak, kira-kira kapan mommy kamu akan balik?"

Seketika Khadijah terdiam mendengar pertanyaan dari daddynya. Ia takut kalau semua terbongkar di waktu yang tidak tepat.

"Yaa Allah bagaimana kalau semuanya ini akan membuat daddy kecewa? Bukan maksudku berbohong, tapiii....."

Lamunannya seakan buyar, ketika ponselnya bergetar. Sebuah pesan chat wa dari mommy.

Mommy : Dek, mommy akan segera datang.

Khadijah melotot melihat pesan singkat darinya. Sungguh di luar dugaannya. Rahasia itu akan tepat terbongkar hari ini.

Khadijah : Khadijah mengetik....

"Siapa, nak yang chat kamu?"

Jantung Khadijah mendadak ada seperti sebuah setruman mendadak. Mau dijawab, tapi.

Ponsel Khadijah berbunyi seperti panggilan VC dari mommynya.

"Mau dijawab, tapi ada daddy."

Khadijah pun pada akhirnya mengeser sebuah tombol penjawab untuk mereject.

"Loh, kok kamu tolak, nak."

"Nggak penting kok, dad. Ini si Fabian menelpon."

"Oh, kenapa nggak kamu jawab, nak. Kasihan dia."

Ayass menatap curiga.

"Dad, sepertinya aku sudah terlambat."

"Sarapan dulu, Nak."

Khadijah tersenyum,"Dijah, nanti sarapan di kampus, Dad."

"Terus, perlu daddy antar."

"Tidak usah, dad. Dijah bisa naik bus."

"Assalamualaikum, dad" Khadijah mencium tangan Ayass.

"Walaikumsalam" balasnya.

***

Halte bus kali ini cukup sepi, Khadijah duduk sambil mendengarkan Fake Love - BTS lewat headset.

Kepala Khadijah sedikit mangut-mangut. Mulut ala komat-kamit. Ia ada seorang K-POP sejati. Bahkan, di kamarnya aja berjejeran poster BTS.

Menunggu itu melelahkan, tapi kalau dengan mendengarkan BTS bikin rasa lelah dan jenuh.

Bulan depan, konser BTS. Khadijah rela menguras uangnya demi tiket VVIP melihat.

Khadijah juga sangat menyukai drakor, jangan dibilang ia sering melakukan merathon lewat aplikasi viu. Bahkan, ia rela menghabiskan waktunya melihat drakor bersama Sera teman yang gila akan drakor tingkat dewi.

Khadijah pun rela, jadi pengabdi signal. Kata bodoh amat saat kembarannya sering meledek kalau kecanduan drakornya sudah tingkat akut.

Khadijah melakukan kegiatan itu untuk menyembunyikan lukanya, ya anggap aja hiburan yang membuatnya mengalihkan dunianya sedang jungkir balik.

Kehidupan keluarga cukup rumit, apalagi kehadiran daddynya. Dan, sekarang mommy nya akan segera datang.

Cukup melelahkan memikirkan masalah keluarga, cinta pun juga rumit. Belum sempat bersama, sudah patah hati.

Lelah? benar-benar lelah. Tapi, Khadijah cukup kuat alias strong, meskipun harus ngos-ngosan dalam situasi seperti itu seperti melakukan hiking.

Bus pun datang dalam waktu sepuluh menit. Khadijah segera melepaskak kedua headsetnya yang masih melekat di kedua telingannya.

Bus berhenti tepat di halte, Khadijah langsung memasuki bus, lalu mencari tempat duduk yang kosong.

Khadijah duduk di sebuah bangku kosong yang sebelahnya terisi. Saat duduk ia melihat seseorang yang tidak asing.

Siapa dia? lelaki biasa yang mampu menyentuhnya dengan cinta luar biasa, siapa lagi kalau lelaki idaman bak Adam.

Rumi. Ya lelaki itu bernama Rumi yang sangat Khadijah kagumi. Sebuah kebetulan atas rencana Allah.

Mereka berdua hanya diam dalam bisu, bahkan membuat jantung Khadijah berdebar lebih cepat. Kedua manik mata saling bertemu, hanya seutas senyuman, tanpa kata sapa.

"Apa aku harus menyapanya dulu."

Khadijah berusaha membuka sedikit mulutnya. Ia ingin memulai pembicaraan. Meskipun rasa gugup mulai datang.

"Ish, aku harus nanya apa ya? sumpah ngeblank binti amnesia! giliran dia ada deket binti banget kayak gini, mulutku kayak seperti tersumpal. Sumpah demi apa coba, kenapa bacot yang cerewet seakan sekata aja tak mampu!"

Sebuah deheman Khadijah mendengar, lalu menoleh ke Rumi.

"Kita bertemu lagi."

"Iya, nggak nyangka, mas. Moga kita jodoh."

Rumi hanya tersenyum.

"Ya Allah nich mulut asal nyeletuk! sadar Dijah. Kamu nggak ingin perempuan canti ala model beberapa hari lalu di Cafe!" perdebatan Khadijah dengan hatinya.

Rumi tersenyum membuat Khadijah tersipu malu.

"Jodoh? mana kita tau, insyaallah kemungkinan Allah sudah menulisnya dalam garis takdirnya."

Khadijah mak jleb mendengar balasan kata-kata Rumi.

"Well, berarti ada kesempatan buat maju maju cantik, bukan mundur alon-alon" batin Khadijah bersorak-sorak seperti ada ribuan kembang api meledak-ledak."Musim semi, mungkinkah cintaku bisa bersemi juga di hatimu."

Bus melaju cukup cepat tidak terasa sudah sampai di halte bus dekat kampus.

"Kenapa nich sopir nggak selow aja, kan aku masih pengen duduk bareng dia!" cicit Khadijah dalam hatinya.

"Mbak, udah sampai loch. Apa mbak ada rencana ke tempat lain?"

Khadijah mengeleng sambil nyengir.

"Aku juga turun mau bimbingan bareng Mr. Lee Jung Kok."

Khadijah pun turun bebarengan dengan Rumi. Berjalan memasuki area kampus bebarengan juga.

Pagi serba bebarengan, tapi tidak tau takdir bisa membuatnya bebarengan atau tidak.

***

Di ruangan Mr. Lee, hati sedikit deg-deg ser. Wajah Mr. Lee ala oppa-oppa, enak dipandang dan bikin inget drama korea yang lagi trending.

Mr. Lee Jung Kok dosen super perfect idaman kaum hawa nya kampus.

"Ini harus revisi."

"Ini juga."

"Yang ini juga."

"Lihat perbaiki tulisan yang salah-salah ketik."

Sebuah coretan sebanyak itu, membuat Khadijah hanya mampu gigit jari. Melihatnya aja sudah bikin gejala darah rendah mulai muncul.

"Besok kamu temui saya lagi."

Khadijah hanya mampu terdiam dan membisu.

"Revisi oh revisi! sungguh kau keterlaluan!"

***

Khadijah hanya terdiam dalam bisunya suasana. Ia tidak akan mampu melihat segitu banyak revisian.

"Revisi lagi?"

Khadijah menghela napas kasar.

"Aku nggak tau, kalau Mr. Lee sungguh membuatku stress, udah aku berusaha bekerja sekeras mungkin, kenyataannya masih tidak sesuai."

"Sabar."

Khadijah hanya diam melihat revisiannya super duper coretan bikin mual.

Muka Khadijah mendadak cemberut, sebuah panggilan VC dari Rania. Khadijah langsung mengeser ke tombol penjawab.

"Assalamualaikum, Nak."

"Walaikumsalam, mom."

"Hallo, kakak Khadijah ini Husein."

Rania menunjukkan bayi kecilnya bersama dengan Haqi.

"Subhanallah, lucu sekali dedeknya Khadijah."

"Nak, nanti malam kita sampai di Seoul jam 7 malam."

Deg jantung Khadijah mendadak berhenti seketika.

"Nak, kenapa ada masalah?"

"Insyaallah nggak ada, Mom."

"Assalamualaikum, nak."

"Walaikumsalam, ayah. Selamat yaa kehadiran baby Husein."

"Iya, baby Husein segera bertemu dengan kakak Khadijah dan Hasan."

"Halo, baby Husein" celetuk Fabian.

"Itu pacar baru kamu, nak."

"Enggaklah, mommy. Cuman temen aja, mana mungkin aku sama Fabian?"

Rania dan Haqi tersenyum.

"Nak, tunggu kami yaaa, see you!"

Panggilan vc terputus sepihak, Khadijah hanya mampu menghela napas.

"Ini akan makin rumit tak serumit revisi dari Mr. Lee."

***

Di perjalanan ponsel Khadijah berbunyi.

"Nak, pesawat mommy, daddy, dan Husein delay."

"Okay, mom."

Khadijah merasa sedih, ia pun menjadi resah dan gelisah.

Khadijah : "San, ada kabar buruk!"

Khadijah mengirim chat ke Hasan.

Hasan : "Apa?"

Khadijah : "Mommy dan ayah akan datang hari ini."

Hasan : "Dijah, bagaimana?"

Khadijah : "Mumet."

Hasan : "Jam berapa?"

Khadijah : "Mungkin malam ini, karena pesawat mereka lagi delay."

Hasan : "What? bagaimana dengan daddy?"

Khadijah : "Sepertinya, kita harus jujur tentang semuanya, meskipun akan ada kekecewaan diantara mereka. Kita juga harus jujur sama bunda, dan ayah. Mereka berhak tau."

Hasan : "Baiklah, Insyaallah semua akan baik-baik saja."

Khadijah : "Semoga saja."

Hasan : "Amin."

*

Pov Khadijah.

Hai Bulan, aku ingin bercerita tentang dia hari ini. Kamu tahu nggak sepotong hatiku sudah ku berikan ke dia, meskipun dia tidak pernah peka.

Sore tadi aku melihat dia dengan wanita bak super model, sedangkan aku siapa?

Aku hanyalah Khadijah, seorang perempuan biasa yang berharap cinta luar biasa. Ya, harapan itu kadang terlalu sakit, apalagi mencintai dalam diam. Aku di sini bak Fatamorgana alias bayangan semu.

Cafe sore itu...

Aku berjalan masuk bersama Sera dan si kupret. Namun, pandanganku tiba-tiba menuju ke meja pojok. Sebuah pemandangan Adam dengan seorang perempuan memakai pakaian kurang bahan.

Tubuhnya menjadi hidangan banyak para pria. Dan,dia malah asyik mengobrol.

Aku memilih duduk berjarak lima meja dari tempatku ke tempatnya. Hatiku sesak menyaksikannya. Sungguh aku cemburu melihatnya.

"Kamu kenapa, Dijah? tumben nggak bawel?"

Sera menatapku penuh dengan perasaan super kepo tingkat dewi.

"Lagi nggak mood" ucapku sambil mengaduk segelas coffee latte arah berlawanan jarum jam.

Tatapan Sera penuh dengan penyelidikan.

Ridwan mulai memincingkan matanya, ia penasaran dengan apa yang aku lihat.

Ku coba menyeruput secangkir coffee latte. Ya, latte varian kopi paling favorit, rasanya pekat dan balance dengan susunya.

Seorang pelayan mendatangi meja kami.

"Mbak, sorry kalau matcha greentea nya lagi sold out. Apa mau ganti menu?"

Sera terlihat sangat kecewa, karena menu minuman favoritnya kosong. Terpaksa ia pesan ea teh tawar.

Expresso double shot milik Ridwan pun datang. Ya, dia memang suka hal yang pekat, entahlah aku juga nggak tau alasannya, karena malas aku berurusan dengan Ridwan.

Ku menatap terus ke arah mereka, ingin rasanya aku tahu apa yang sedang mereka bicarakan.

"Dijah?" pangillan dari Sera berulang kali ku abaikan.

"Kamu ngelihatin Rumi dengan perempuan itu?" bisik Sera.

Sesak rasanya melihatnya, cinta sendirian terlalu menyakitkan.

"Emang kamu tahu siapa dia?"

Aku mengelengkan kepalaku sekali. Cemburu? ya aku sangat cemburu? bahkan, aku merasa ingin berteriak sekencangnya hingga semesta tahu.

"Jah, sampai kapan kamu aduk terus minumanmu?"

"Bukan urusanmu!" Ku bentak Ridwan yang mulai ingin kepo.

"Kamu lihatin mereka?" tanyanya.

"Sok tahu!"

"Ya iyaa sok tahu masa sok tempe?"

Aku mendelik ke Ridwan. Ingin rasanya menyumpel mulutnya dengan kaus kaki.

"Yaelah, ku kan cuman nanya. Jawaban kamu ngegas mulu!"

Aku melotot ke Ridwan, ingin rasanya ia ku telan tanpa ku kunyah.

"Masih gantengan aku!"

"Ganteng?" ulangku.

"Ya, aku memang ganteng sejak lahir, dan ku pastikan kamu bakal suka sama aku."

"Suka?" ulangku. "Suka sama kamu itu musibah."

Rasa kesal terhadap pria di hadapanku! ia benar-benar menyebalkan! ingin aku lakban mulutnya!

Lamunan itu seakan membuatku cukup sadar diri, tentang siapa aku dan apa hak ku. Hanya dalam doa ku terbangkan kala itu, agar dia bisa mencintaiku, karena Allah semata.

***