webnovel

DEADLY LAGOM

Ada alasan kenapa sekumpulan manusia dikumpulkan dalam sebuah lingkaran yang sama. Entah itu karena persamaan nasib di masa sekarang, kisah di masa lampau atau bahkan takdir di masa depan. Seperti sebuah seni keseimbangan, Lagom, beberapa di antara mereka bersama untuk mengisi gelas tanpa kurang maupun lebih. Tapi beberapa di antara mereka juga menjadi Lagom sempurna yang justru berbahaya.

Gwen_Lightein · Outros
Classificações insuficientes
7 Chs

PART 5 : LAGOM

"Membenci seseorang adalah hal paling melelahkan yang pernah kulakukan,"

*****

Mendatangi rumah abu mungkin salah satu cara paling mudah mengenang sosok yang tak lagi menapakkan kakinya pada tanah dunia dan pergi atas panggilan Tuhan. Hampir lima belas menit Baekhyun berdiri di depan loker yang memperlihatkan foto perempuan bernama Kim Taeyeon sambil menyembunyikan dua tangan di balik saku celana, sementara Do Kyungsoo masih setia berdiri diam menemani.

"Malam itu, Aerin bilang ingin menyampaikan sesuatu tentang Taeyeon-noona." Baekhyun akhirnya membuka suara.

"Tentang apa?" tanya Kyungsoo.

"Sayang sekali aku tidak bisa mendengarnya karena dia sudah lebih dulu pergi," jawab Baekhyun.

"Mereka tidak saling mengenal, kecuali dia tahu bahwa Taeyeon-noona adalah istri Kwon Jiyong," ucap Kyungsoo.

"Menurutmu apa yang ingin dia katakan, Kyungsoo-ya?" Baekhyun balik bertanya.

"Sepertinya dia mendengar sesuatu dari Kwon Jiyong."

Beberapa orang sering bertanya bagaimana bisa Baekhyun memiliki marga berbeda dengan keluarganya sendiri? Jawaban paling sederhana untuk menjelaskan adalah fakta bahwa pemuda bermata abu-abu itu diangkat menjadi anak oleh Kim Jungjae saat duduk di bangku kelas dua Sekolah Menengah Pertama dan bahkan mendapat dukungan baik secara moral serta materi oleh Kim Jungjae saat mendirikan Studio Lightein. Mereka begitu dekat layaknya keluarga satu darah.

Beberapa bulan lalu Kim Taeyeon terlibat dalam sebuah kecelakaan beruntun yang menewaskan beberapa pengemudi termasuk dirinya sendiri, meninggalkan seorang suami berengsek serta anak berumur tujuh tahun yang kini dirawat oleh kedua orang tua.

"Apa sesuatu yang tidak aku tahu tentang Taeyeon-noona? Kenapa justru Aerin yang mengetahuinya?" gumam Baekhyun.

Tangan Kyungsoo mendarat di bahu kanan sahabat sekaligus pimpinan Studio Lightein tersebut, mencoba mengalirkan energi untuknya lebih kuat lagi. "Soojung bilang kau ada pertemuan dengan klien sebentar lagi. Ayo, kita pergi sekarang," ajaknya.

*****

Begitu manis suara penyanyi kafe Foon memanjakan seluruh pasang telinga pengunjung yang datang tidak hanya sekadar memuaskan cacing dalam perut, tapi juga menikmati trendinya desain interior bangunan. Sepiring waffle belum juga disentuh oleh Bae Irene sejak dia menempati meja nomor sembilan bersama Jiyong dalam rangka makan siang, sementara lemonade akan habis dalam dua kali tegukan lagi. Atensi Irene sepenuhnya dicuri oleh suara magis pemuda berkemeja kotak-kotak di atas panggung kecil kafe.

Sepasang kekasih penuh romansa biasanya selalu memiliki topik untuk dibicarakan mengisi waktu luang, tidak seperti Irene dan Jiyong yang lebih cenderung diam melakukan keinginan masing-masing bahkan saat duduk berdampingan. Entah lah, apa mereka masih bisa memenuhi standar kepemilikan status kekasih setelah banyak kisah rumit terjadi, seperti perselingkuhan secara terang-terangan.

Subyek yang baru saja memancing pasangan kekasih aneh tersebut menolehkan kepala pada saat bersamaan adalah Lee Gikwang, fotografer berhati hangat dan pemilik senyuman memikat. Bukan tanpa alasan langkahnya tepat tertuju pada meja nomor sembilan. Salah satu cucu konglomerat Son Kyungsan itu semakin dekat dengan Irene selama beberapa bulan belakangan berkat proyek pemotretan Hotel Pascal Sho.

"Gikwang-ssi, rupanya kau juga kemari," ucap Irene, lantas mempersilahkan Gikwang ikut bergabung dalam meja yang sama.

"Aku sedang melakukan pemotretan di gedung seberang," jawab Gikwang.

"Pemotretan produk?" tanya Irene.

Gikwang mengangguk. "Pakaian," ungkapnya.

"Sepertinya kalian sangat dekat," sahut Jiyong. Garpu pastanya telah diletakkan di sisi piring dan pandangan tajamnya jatuh tepat pada si fotografer.

"Memang." Irene menjawab tegas.

"Teman?" lanjut Jiyong.

"Menurutmu kami tampak lebih dari itu?" balas Irene.

Membina hubungan dengan perempuan terlampau cantik tidak hanya membawa kebanggaan. Menjadikan Bae Irene seorang kekasih sejatinya membutuhkan mental besar meski banyak yang beranggapan bahwa perempuan berjulukan Baephrodite tersebut memiliki kepribadian baik dan menyenangkan. Setidaknya seluruh pemasar menyimpan kemampuan luar biasa mengoleksi berbagai jenis wajah serta paket cara bicara guna mendukung pekerjaan mereka.

Kepala Jiyong sedikit meneleng memperhatikan gambaran ekspresi sang kekasih, menerka emosi macam apa yang sedang meliputi perempuan itu. Setelah memajukan kursi serta tubuh, tangannya terulur meminta jabatan dengan Gikwang. "Kwon Jiyong. Sampai detik ini aku masih menjadi kekasih perempuan di sebelahmu," ucapnya.

"Aku Lee Gikwang. Senang bertemu denganmu." Gikwang menjabat tangan Jiyong tanpa lupa mengukir senyum paling tulusnya.

"Kau menyukainya?"

"Huh?"

"Bae Irene. Kau menyukainya?"

Mata Gikwang mengerjap beberapa kali karena pertanyaan di luar perkiraan yang menyerangnya begitu tiba-tiba, meski memang selama beberapa bulan dia telah menyembunyikan perasaan kagumnya terhadap Bae Irene bukan lagi sebagai teman laki-laki. "Kami hanya berteman." Dia hanya bisa menipu diri sendiri untuk saat ini.

"Kencani dia setelah berpisah denganku. Hanya saja aku tidak bisa menjamin kapan waktu itu datang," ucap Jiyong.

Irene yang terganggu lantas menegur, "Seharusnya kau bisa lebih ramah dengan orang baru, Jiyong-ssi."

"Lagi pula aku tidak berniat untuk menjadikannya seorang teman, jadi bukan masalah."

"Tidakkah itu terdengar kurang sopan?"

"Itulah kenapa kukatakan, aku tidak memiliki kemampuan mengubah-ubah kepribadian sepertimu." Noda kecil di sudut bibir telah seluruhnya terseka menggunakan selembar tisu. Jiyong bangkit dari bangkunya dan tetap berdiri sebentar merapikan pakaian yang sama sekali tak kusut. "Kita saling memiliki kartu masing-masing, tapi aku terus terintimidasi olehmu, nona Bae. Sialan." Dia mengakhiri kalimat dengan sebuah umpatan pelan sebelum beranjak meninggalkan meja dan keluar dari kafe.

Bertikai selama bersama. Ingin berpisah namun enggan. Pasti ada satu lagu yang pantas untuk mengisahkan hubungan kompleks tersebut. Persis seperti pengungkapan Jiyong tentang perubahan sikap yang sudah menjadi kemampuan paling mendasar, Bae Irene hanya butuh beberapa detik memamerkan serangkai emosi berbeda. Aura kelamnya berusaha mengejar langkah sang kekasih, lalu hanya dalam satu tarikan nafas dia menjadi begitu datar dan berakhir menoleh pada Gikwang melempar senyuman lebar.

*****

Satu lagi grup idola laki-laki muncul meramaikan dunia musik Korea Selatan hingga mancanegara. Lagu debutnya berhasil merangkak naik mencapai peringkat pertama selama beberapa minggu. Melodi trendi yang membuat candu. Masyarakat tidak bisa berbohong tentang bagaimana lagu tersebut menyebabkan mereka ingin kembali mendengarnya berulang, seperti pria gagah berkumis tipis yang sedang duduk menggoyangkan kepala serta dua tangannya mengikuti ketukan lagu.

Sesekali kekehan terdengar berharmonisasi sepanjang lagu. Bangku mewah tempat pria berkumis tipis duduk yang sebelumnya mengarah pada jendela kaca besar ruangan, kini berputar menghadap meja, mengurung atensi pada laki-laki kurus bernama Lee Hyukjae yang hanya terdiam menundukkan kepala melihat kelakuan pria berkumis tipis.

Lagu akhirnya berakhir dalam waktu tiga menit lewat lima belas detik. Tadinya pria berkumis tipis berencana mengulang kembali lagu dengan peningkatan volume, tapi keengganan Lee Hyukjae bicara lebih dulu menjadi alasannya mengurungkan niat dan menopang dagu pada sisi tengah antara dua punggung tangan yang jari-jemarinya saling bertaut.

"Katakan, sepertinya ada yang ingin kau sampaikan," ucap pria berkumis tipis. Cara bicaranya terdengar sangat ramah sementara Hyukjae masih saja memasang sikap awas.

"Tewasnya Son Aerin bukan ulah kami, sajangnim, tapi sekarang semua orang berpikir bahwa pembunuhnya adalah Lily Joker," ungkap Hyukjae.

"Lily Joker? Bukankah nama itu terlalu manis untuk digunakan pembunuh seperti kita, Hyukjae-ya?" canda pria berkumis tipis.

"Mereka sudah terlalu banyak membuat isu palsu. Aku akan menjalankan segera perintahmu untuk mengatasi masalah itu," tambah Hyukjae.

"Jangan terbebani. Bersantailah saja," ujar pria berkumis tipis.

"Kenapa bersantai jika mereka justru mempermainkan kita?"

"Anggap saja itu ulah kita. Anggap Son Aerin tewas karena tanganmu."

"Meski bukan?"

Keramahan pria berkumis tipis lenyap. Cerutu di atas meja lantas ditempatkannya pada ruang kecil belahan dua bibir. Bangku singgasana kembali berbalik. Asap yang keluar mencemari udara bersih ruangan dan dia sama sekali tidak peduli. "Kau tahu, Hyukjae-ya? Dia adalah seorang psikopat. Psikopat yang sudi ikut tenggelam jika memang itu cara terbaik memusnahkan kita." Pria berkumis tipis kembali bersuara.

"Maksudmu ... Son Aerin?"

*****

Dilema membuat keputusan paling bijak masih terus membayangi seluruh kegiatan harian bahkan selama proses perkuliahan hingga sore ini, ketika Hyejoo menduduki bangku tribune bersama beberapa orang sahabat, menolak pulang hanya untuk menonton pertandingan santai sejumlah mahasiswa di lapangan olahraga. Helai-helai anak rambutnya bergerak sesuai arah angin. Tidak menciptakan kesan indah layaknya adegan drama. Pergerakan acaknya justru sukses menjadi bahan tertawaan Lee Haechan dan Lee Jeno yang sepertinya akan demam jika sehari saja tak mengganggu Hyejoo.

Kolaborasi antara pemandangan para pemain sepak bola serta embusan sepoi-sepoi angin sempat mengurangi sedikit stres sebelum Shin Ryujin dan Park Jihoon menjadi pasangan paling kompak membicarakan Penyihir Eos yang belum lama ini terlibat dalam pertarungan sengit dengan makhluk legendaris penghuni hutan terlarang. Mereka bahkan berdebat bagaimana kisah akhir Penyihir Eos yang disebutkan terkontaminasi racun ular bertanduk.

Konyol.

Bahkan Choi Jongho tidak bisa diandalkan. Pemuda berkaca mata itu sengaja mendekati Hyejoo sekadar ingin mendapatkan satu saja gigitan roti lapis isi krim dan potongan buah segar tanpa izin. Setidaknya dia masih menyadari kekalutan Hyejoo dan bertanya, "Kau baik-baik saja?"

"Tidak sama sekali." Hyejoo menjawab datar.

"Tapi kudengar pernikahanmu dengan Dosen Byun dibatalkan," ucap Jongho.

"Membatalkan pernikahan tidak menyelesaikan masalah,"

"Maksudmu?"

"Jongho-ya,"

"Apa?"

"Pernahkah kau melihatku hanya diam saja saat membenci seseorang?"

"Jika itu terjadi, maka aku akan menyebutnya keajaiban. Kau memukul wajah Dino-sunbae, membangkang perkataan Dosen Yoon Hyunjung dan bahkan mendatangi Bang Yedam karena kebencian."

Penjelasan sang kakek pagi tadi terlalu logis. Terlalu berperan menumbuhkan bibit-bibit kebencian pada Kwon Jiyong yang diduga memiliki perang penting dalam kasus kematian dua sepupunya. Tidak pernah Hyejoo kira bahwa ada sosok dalam keluarga dengan beban hidup yang seharusnya bisa menguras air mata setiap hari. Mendengar kisah menyedihkan Park Hyomin dan usaha keras Son Aerin membalas dendam, telah perlahan membuka hampir seluruh pintu pertahanan Hyejoo.

"Membenci seseorang adalah hal paling melelahkan yang pernah kulakukan," ungkap Hyejoo sambil kedua matanya menatap kosong lapangan olahraga.

"Kenapa?" tanya Jongho.

"Karena aku tidak bisa mengobati lukanya secara langsung dan hanya terus berpikir cara mengekspresikannya," jawab Hyejoo.

"Apa kau membicarakan Dosen Byun?"

Hyejoo menggeleng. "Dia belum ada pada posisi untuk bisa kubenci," ucapnya kemudian.

"Meski sudah menjadi sangat biasa, aku harap kau tidak sedang berencana mengekspresikan kebencianmu, Hyejoo-ya. Terlebih jika itu pada keluargamu." Jongho berusaha mengingatkan. Dia khawatir sahabatnya mengambil keputusan yang salah.

"Justru ini untuk keluargaku."

"Keluargamu? Memangnya siapa kali ini—"

"Hati-hati!"

Pekikan luar biasa keras seseorang mendominasi area lapangan olahraga. Seluruh penonton di kursi tribune mengikuti arah datang bola yang melambung tinggi keluar dari garis permainan berkat tendangan salah satu pemain. Kedua mata Hyejoo memicing memandangi pergerakan benda bulat tersebut. Posisi matahari senja musim gugur di hadapan menyebabkan bayangan hitam meliputi bola hingga sulit terlihat. Semua orang telah mencoba menghindar, tetapi tidak dengan Hyejoo yang akan menjadi sasaran pendaratan bola jika seorang pemuda tidak tiba-tiba datang dan berdiri tepat di depannya.

Terdengar beberapa penonton berseru khawatir ketika bola menampar punggung pemuda populer Universitas Haewon, Jaemin. Masih dengan posisi sama persis dan bahkan dalam keadaan begitu tenang, Son Hyejoo mendongakkan kepala melihat sosok yang sengaja menghalau bola untuknya. Mereka bertukar pandang di sorot oleh cahaya kemerahan Raja Langit.

Mengabaikan beberapa detik waktu saling menyampaikan pikiran lewat cara pandang, Hyejoo adalah orang yang lebih dulu membuka suara. "Apa itu sakit?" tanyanya, tanpa sedikit pun membiarkan wajah mengukir raut bersalah atau setidaknya peduli.

"Pasti tidak lebih sakit dari pundak Jeon Heejin yang pernah kau injak," jawab Jaemin.

"Kalau begitu tanyakan padanya apakah itu cukup sakit," ucap Hyejoo sesantai mungkin.

"Kau tidak ingin berterima kasih padaku?" sindir Jaemin.

"Padahal aku berharap terkena bola dan mendapat kepedulian pemuda-pemuda tampan di lapangan."

"Baiklah, artinya aku harus minta maaf."

Berdirinya Hyejoo dari bangku membuat posisinya dengan Jaemin tampak jauh lebih dekat seolah tak lagi ada jarak untuk seekor kupu-kupu terbang melewati. Beberapa jari Hyejoo merapikan helai-helai rambut dan membawanya tertata kembali ke belakang. "Kau sangat menyukaiku?" tanyanya kemudian. Suara gadis berbibir apel itu terdengar rendah juga begitu tajam.

"Tidak. Aku sedang bertaruh dengan teman-temanku. Mereka akan memberikanku uang jika berhasil mendapatkanmu." Jaemin menjawab frontal.

"Seberapa banyak?"

"Seharga tteokbokki."

"Jika hanya sekecil itu, maaf, aku tidak bisa membantumu. Katakan pada mereka untuk berhenti."

Tanpa senyuman, intonasi manis atau bahkan mata berbinar menggoda, Jaemin berucap, "Bahkan jika bukan dengan mereka, aku akan tetap bertaruh. Dengan diriku sendiri."

Tanggapan Hyejoo sendiri terlalu mengerikan untuk seorang gadis yang terang-terangan dijadikan pujaan hati. Bukan sebuah respons malu-malu apalagi angkuh. Sambil menepuk pundak Jaemin dia bersahut, "Sudah kukatakan, kau bukan tipeku. Aku tidak ingin memiliki hubungan dengan seorang model yang memiliki banyak penggemar. Cari saja gadis lain. Jeon Heejin sepertinya sudi melakukan apa pun untukmu."

"Aku membenci Jeon Heejin, sama sepertimu."

Senyuman masam mengakhiri perbincangan dingin antara pemuja dan sang subyek pujaan. Tidak terburu Hyejoo melangkah menuruni tangga tribune. Belum sampai kaki menginjak tanah kering, Choi Jongho sudah berteriak melempar pertanyaan memaksa Hyejoo berbalik sebentar, "Hyejoo-ya, kau mau ke mana?"

"Studio Lightein."

Lambaian tinggi tangan menyampaikan salam pamit di tengah-tengah langkah sang Alpha universitas meninggalkan para sahabat serta Jaemin yang tersenyum melihat punggungnya semakin menjauh. Mereka tidak juga menyadari keberadaan Mark Lee. Duduk di salah satu tribune seraya mengutak-atik ponsel selama pertandingan sepak bola berlangsung, diam-diam pemuda asal Kanada itu terus mengawasi Hyejoo dan kawanannya. Pernyataan mengenai Studio Lightein sebagai tujuan pun membawa Mark Lee menepikan diri guna menghubungi seseorang.

*****

"Sajangnim." Jung Soojung si sekretaris andalan Pimpinan Studio Lightein segera membuka suara sesampainya dia di ruang eksklusif pemuda bermata abu-abu.

"Ada apa?" tanya Baekhyun. Fokusnya masih terpusat pada tumpukan pekerjaan di laptop.

"Seseorang memaksa masuk ingin menemuimu. Dia—"

"Son Hyejoo?" sela Baekhyun.

"Bagaimana kau bisa tahu?"

Pekerjaan bisa ditunda atau dialihkan pada salah satu bawahan, tapi keputusan seseorang cepat berubah sehingga Baekhyun harus buru-buru mengambil hasil umpan yang datang menemuinya sendiri. Rupanya butuh waktu beberapa hari bagi ikan segar itu memandangi umpan sepanjang waktu sampai akhirnya memutuskan mencicipi dan ikut ke permukaan bersama kail.

"Biarkan dia masuk." Baekhyun bertitah.

Laptop sudah ditutup tanpa lebih dulu dimatikan sesuai prosedur. Jung Soojung mengerutkan kening, bertanya-tanya hal apa yang menyebabkan pimpinannya tersenyum miring begitu tipis sementara satu alis matanya sedikit naik. Jarang sekali ekspresi macam itu muncul.

*****

Pintu lift lantai tiga memunculkan bunyi khas saat terbuka. Son Hyejoo mengetukkan sepatunya menyusuri koridor lantai yang diapit oleh ruang-ruang berdinding kaca tersebut, sehingga para karyawan sontak menolehkan bersama kepala mereka melihat kehadiran orang asing. Beberapa dari mereka saling bicara, mendiskusikan jawaban paling benar atas otoritas yang menyebabkan seorang gadis muda berpakaian kasual berani masuk sendirian ke lantai paling berbahaya Studio Lightein.

Sebagian besar kaum adam memang cenderung membahas lebih dulu soal fisik setiap kali melihat wajah baru perempuan. Tiga animator di ujung ruangan kerja menyuarakan ketertarikan mereka pada Son Hyejoo. Memulai dari bahasan tubuh sehat yang tampak molek, bibir ranum berbentuk apel dengan polesan gincu merah, serta mata pemilik tatapan mengerikan bagai pimpinan serigala pemburu.

Salah satu penjaga di pintu lobi memberitahu Hyejoo letak ruang pimpinan, tetapi dia tidak perlu mengeluarkan lebih banyak energi sebab sosok tujuannya sudah menampakkan diri, berjalan dari arah berlawanan dan berhenti memberikan jarak dua meter di antara mereka. Pertemuan keduanya tentu saja menjadi tontonan para karyawan di ruangan kerja secara tak langsung.

Sebuah buku lantas Hyejoo lemparkan. Baekhyun cukup cekatan untuk segera menangkapnya hanya dengan satu tangan. Buku bersampul hitam milik Son Aerin tersebut menuliskan proses panjang serta detail cara hingga hasil usaha pembalasan dendamnya selama ini.

"Aku tidak suka belajar, tapi jelaskan secara perlahan-lahan semua hal dalam buku itu," ucap Hyejoo.

"Apa aku sudah memiliki alasan untuk memberi penjelasan padamu?" balas Baekhyun.

"Tentu saja," jawab Hyejoo tegas.

"Kenapa?"

"Karena aku sudah membuat keputusan." Hyejoo melanjutkan langkahnya, dengan gontai mendekati Pimpinan Studio Lightein hingga jarak mereka perlahan semakin terhapus. Hanya tersisa dua langkah lagi dan Hyejoo berhenti. Bibirnya bergerak menguntai senyum. "Juga mulai hari ini, aku bisa memperkenalkan diri sebagai ... kekasih Byun Baekhyun."

---To be Continued---