webnovel

12. Tanya termudah

Atha mencoret kata menemui dan menggantinya menjadi menghampiri. Ia menggeleng pelan dengan kefokusan yang tak dapat teralih, bahkan ketika seorang wanita cantik berjalan ke arahnya.

Filosofi kupu-kupu yang pernah ia pelajari selama ini berusaha ia ingat kembali, segala cerita dan kisah mengenai hewan rapuh yang bersayap indah tersebut.

Gemerisik daun yang berjatuhan sama sekali tak membuat Atha mengangkat wajahnya, sebaliknya, ia semakin tertunduk karena angin yang membelai dan meniup itu seolah menyemangatinya menulis rangkaian kata.

Namun, tepukan pelan di pundaknya membuat Atha hampir melepaskan pegangannya pada pena.

"Assalamualaikum, Atha!"

Atha melirik sang pemanggil dengan tatapan ingin tahu, dan yang ia dapati adalah gadis berkulit putih dengan mata bulat berwarna coklat.

Cantik, itu yang pertama kali terbetik di benak Atha mengenai gadis yang mengucapkan salam padanya.

"Waalaikumsalam?" jawab Atha dengan pandangan bertanya, ia berusaha mengorek ingatannya mengenai gadis yang ia hadapi sekarang, barangkali ia pernah bertemu di suatu tempat.

Mata Atha terbeliak ketika mengingat bahwa ia pernah berpapasan dengan gadis ini di gedung putih beberapa bulan yang lalu.

"Hai Atha, aku Aya. Salam kenal," tutur Aya dengan nada riang.

Atha mengangguk kaku, ia seolah pernah mendengar nama itu disebut-sebut, tapi ia benar-benar lupa kapan nama itu disebut dan kenapa.

"Boleh aku duduk?" tanya Aya.

Atha mengangguk pelan, lalu mengulurkan tangannya ke arah kursi taman panjang yang tadi diduduki Maise.

"Lagi apa?" tanya Aya sembari melirik notebook Atha.

Atha melirik notebook-nya dan menutupnya perlahan, ia melirik ke arah Aya dan tersenyum. "Hanya coret-coret," jawab Atha.

Aya mengernyit, "Ah, aku kira kamu menulis sesuatu yang penting, ternyata hanya coret-coret. Aku tadi sempat mengangumi kefokusanmu dalam menulis, lho!" sanjung Aya.

Atha mengerjapkan matanya, merasa aneh dengan Aya. "Terimakasih," ujar Atha yang benar-benar tak tahu harus mengatakan apalagi.

Aya tersenyum, menatap Atha dari jarak sedekat ini bisa membuat Aya mengucap tasbih berulangkali. Di matanya Atha begitu cantik.

"Kudengar, kau seorang hafidzah?" tanya Aya membuka topik obrolan.

Atha tertunduk, tersenyum malu, lalu mengangguk. Sedikit ada rasa penasaran dalam hati, dari mana sosok cantik di depannya ini mengetahui tentangnya.

Aya bertepuk tangan dan bersorak heboh. "Kau tahu, Atha? Aku sudah pernah mencoba menghafalkan Al-Qur'an sejak lima tahun yang lalu! Dan sekarang aku hanya mencapai setengahnya saja!"

Atha tersenyum, "Alhamdulillah, Allah memberiku kemudahan, sekarang aku juga sedang belajar memahami maknanya kok," ujar Atha merendah.

"Apa itu berarti, aku boleh bertanya-tanya padamu?" tanya Aya.

Atha tersenyum tipis, "Insya Allah akan kujawab jika aku tahu jawabannya."

Aya mengangguk.

"Ada tidak sahabat nabi yang namanya disebut dalam Al-Qur'an?"

Atha mengangguk, "Ada kok, Zaid bin Haritsah, rujuk dalam surah Al-Azhab ayat ke tiga puluh tujuh."

"Dari caramu menjawab, seolah kamu sering mendengar kisah tentang mereka?" tanya Aya dengan tatapan menyelidik yang tak lepas dari Atha.

Atha tersenyum, "Ya, to be honest, aku sering membaca kisah-kisah mereka," aku Atha.

"Oh ya? Cerita yang mana yang sering kamu baca? Aku fans berat Sayyidah Khodijah loh!" sorak Aya.

Atha membenarkan letak bukunya agar rak terjatuh, "Aku, sering membaca kisah Sayyidah Asiyah, aku amat mengangumi beliau," jawab Atha.

"Kalau laki-laki? Siapa yang kau kagumi?" tanya Aya ingin tahu.

Atha menggaruk ujung alisnya, "Sayyidina Ali bin Abi Thalib."

Aya menjabat tangan Atha dan tersenyum lebar, "Selamat, idola kita sama!"

"Eh, tapi aku juga mengidolakan Rasulullah Muhammad loh!" elak Atha.

Jabatan tangan Aya semakin erat dirasakan Atha, "Ternyata kita sama lagi!"

Kali ini Atha tak bisa menahan senyum lebarnya, sosok yang baru saja dikenalnya ini punya aura hangat yang bisa membuat siapa pun nyaman dengannya.

"Apa kau kenal siapa aku?" tanya Aya ketika mendapati binar mata Atha tersorot padanya.

Atha mengangkat bahunya acuh, "Siapa? Kak Aya kan? Hamba Allah?" tebak Atha berkelakar.

Mendengar candaan Atha, Aya tak bisa menahan tawanya. "Sama sekali tak meleset," balas Aya.

Atha mengangguk, tentu saja semua makhluk di bumi ini adalah hamba Allah.

"Apa kau sungguh-sungguh tak mengenalku?" tanya Aya lagi.

Kali ini Atha memasang mode serius, ia menelisik wujud Aya yang memang nampak tak asing, "Aku pernah berpapasan denganmu beberapa bulan lalu di gedung putih, apa kau saudara kak Kanzo?"

Aya kembali bertepuk tangan, "Ya! Aku saudaranya! Kau tahu di mana dia sekarang?" tanya Aya memancing.

Alis Atha menyatu ketika mendengar pertanyaan yang menurutnya aneh, pasalnya, Kanzo sudah pergi sedari tadi, dan mustahil ia tahu di mana tepatnya Kanzo berada sekarang.

Atha menggeleng, "Aku pikir mungkin dia sudah di gedung putih, apa Kak Aya tak melihatnya di sana?"

Aya tersenyum dalam hati, "Apa maksudmu dia ke gedung putih?"

Atha memilih jalan tengah, tak membenarkan atau menyalahkan, ia mengangkat bahu. "Tak tahu juga."

"Kau sudah bertemu dengannya kan pagi ini?" tanya Aya lagi.

Atha mengernyit, merasa ada yang tak beres dengan pertanyaan Aya yang semakin tak jelas, tapi Atha memilih jujur. "Ya."

"Kapan?"

Atha menghela nafas, "Tadi pagi."

"Ini masih pagi, Atha!" sorak Aya gemas.

Atha melirik kakinya yang diperban, lalu melirik Aya, "Tadi, saat mengantar buburku."

"Dia ke kamarmu?" tanya Aya yang semakin membuat Atha panik.

"Iya, tapi cuma sebentar kok, lagian dia langsung pergi ke gedung putih," jelas Atha cepat-cepat, ia takut menimbulkan kesalahpahaman yang tidak perlu.

Aya mengangguk dan mengelus puncak kepala Atha, ini pertama kalinya ia melakukan kontak fisik dengan gadis yang disukai adiknya itu.

"Kok panik sih? Ada apa?" tanya Aya dengan nada peduli, sedangkan niatnya menyindir.

Atha menggeleng cepat, "Ga ada apa-apa kok. Beneran!"

Aya terbahak. "Iya, Atha. Aku percaya, Kanzo tak akan berani macam-macam," cetus Aya menenangkan Atha yang panik.

Atha mengangguk dengan ringisan samar, ia sadar jika dirinya seperti maling yang tertangkap.

"Omong-omong, bisakah aku mengunjungimu kapan-kapan?" tanya Aya setelah berdeham pelan.

Atha mengangguk tanpa ragu. "Boleh saja, waktuku selalu senggang kok."

"Kamu tidak berniat untuk sekolah?" tanya Aya, meskipun sekarang sedang musim liburan, Aya tahu beberapa anak di panti ini tidak sekolah. Dan Atha termasuk di antaranya.

Atha menggeleng dengan senyum sungkan, "Aku sudah punya kesibukan sendiri," tolak Atha.

"Oh, apa itu?"

Kali ini Atha tersenyum misterius, "Itu rahasia."

Aya cemberut, "Kalau Kanzo yang mengatakannya, apa kau akan mengatakan itu?" tanya Aya sedikit tersinggung.

Atha melotot jengkel, "Kenapa harus bawa-bawa kak Kanzo sih?"

Aya tersenyum, "Soalnya, kamu kaya suka sama dia," goda Aya.

"Ih!" Atha mengernyit jijik.

"Jadi, gimana? Apa jawabanmu jika yang menanyakannya adalah Kanzo?" desak Aya.

Atha tersenyum masam, "Tapi dia tidak akan pernah bertanya tentang itu."

Lama kelamaan Aya menjadi jengkel. "Meski ini hanya pengandaian, bisakah kau sedikit lebih serius? Ini duarius!"

Atha mengangguk, "Jika dia yang menanyakannya, aku akan menjawab bahwa ini bukan urusannya dan dia tak perlu mengurusiku," jawab Atha savage.

Untuk sejenak, Aya kehilangan kata-kata untuk mengomentari, tapi otak encernya tak mau mengakui.

"Kau.. sekasar ini?"

Atha mengangguk, "Karena kebiasaannya adalah membuat orang jengkel," sahut Atha dengan raut polos.

"Kali ini, aku benar-benar serius. Bagimu, mungkin ini juga pertanyaan termudah, tapi tolong jangan menyangkut-pautkannya dengan Kanzo."

Atha mengangguk.

"Jika dia mengatakan bahwa dia mencintaimu, apa yang akan kau katakan padanya?"

Detik ini, pegangan Atha pada notebook-nya terlepas, tatap matanya menjadi kosong.