webnovel

Hukuman Kerajaan

Kedua tangannya di rantai, jubah hitam dan senjatanya telah di lucuti, berjalan sosok berpakaian abu-abu itu dengan kain yang menutupi kepalanya. Semua mata memandang tajam ke arahnya layaknya seorang durjana. Apa yang telah di perbuat sosok ini hingga harus berhadapan dengan Para Petinggi Bartham?. Di tengah ruang megah beserta puluhan tentara yang menggenggam tombak di sekelilingnya, terdiam pemuda itu tanpa perlawanan.

SLLAAPPP

Sebuah tangan melepas kain penutup kepalanya dengan kasar. Tampak rambutnya yang acak-acakan, agak heran ia melempar pandangan ke sekeliling memerhatikan para petinggi yang sedang berkumpul duduk di singgasananya masing-masing. Satu singgasana paling besar dengan posisi lebih tinggi tempatnya berdiri juga tak luput dari perhatiannya. Sosok besar yang duduk di sana memancarkan aura kewibawaan yang seolah menyebar ke seluruh ruangan. Jubah kebesaran berwarna hijau gelap yang di kenakannya dengan janggut lebat yang rapi itu, entah kenapa? Dari gerak geriknya, semua orang tampak menghormati pria separuh baya tersebut.

"Siapa namamu anak muda?" tanya sosok itu sembari mengusap dagunya dengan pelan seolah sengaja menampakkan tiga cincin besar di jari-jarinya.

"Randra," jawab sosok muda itu sembari serius memperhatikan orang yang bertanya.

"Randra? Dari mana? Dan mengapa kau kesini? Aku di beritahu jika ada penyusup di Gerbang Bartham," masih bertanya orang ini dengan tatapan tajamnya yang mengintimidasi.

"Ini tak seperti yang Anda pikirkan! Saya hanya berkelana dari satu tempat ke tempat lain, kampung halaman saya sudah hancur! Saya tak tahu lagi akan ke mana, saya pikir disini...."

"Jaga bicaramu anak muda! Kau sedang di hadapan Sang Raja," bentok seseorang di belakang Randra yang mengacungkan tombak ke kepalanya, membuat pemuda ini terdiam sementara.

Semua orang terdiam dengan raut muka serius, sepertinya mereka membenarkan tindakan orang yang membentak Randra.

"Tenanglah Jendral Darius, aku penasaran dengan kampung halamannya yang hancur, di mana itu? Apa kau bisa bercerita yang sebenarnya?" selidik Sang Raja pada Randra.

"Tentu, saya berasal dari Hellaom, daerah pinggiran dari pusat Ra-Herl," jawab Randra.

"Ra-Herl? Hmmmm, jadi begitu? Aku dengar jika pemerintahan di kerajaanmu benar-benar kacau, Mosteine juga sedang menyerang Ra-Herl bukan? Apa kau ke sini sedang mencari tempat berlindung?" tak henti Sang Raja terus bertanya.

"Benar, saya pikir di sini lebih tenteram dari pada Ra-Herl yang sebagian wilayahnya sudah hancur," jawab Randra agak keras.

Samar-samar ia teringat semua kejadian di Ra-Herl dalam tiga tahun ini, mulai dari peperangan yang merenggut kehidupan damainya sampai hari-harinya yang di isi dengan pelarian dari satu kota ke kota lain.

"Tapi tetap saja, kau tetaplah orang dari Ra-Herl dan aku belum bisa memastikan kau ini salah satu mata-mata kerajaan atau bukan? Ceritamu mungkin menyedihkan, tapi aku tak bisa membiarkanmu seenaknya memasuki wilayah ini tanpa izin," balas Sang Raja yang kemudian terdiam sejenak, helaan nafasnya terdengar berat.

"Dengan ini, aku Ramon Ergolas, Raja Bartham! Memerintahkan mengurung sementara pemuda ini selagi aku berunding dengan Sang Dewa, apakah Dewa memutuskan pemuda ini di eksekusi Para Algojo atau dia di bebaskan bersyarat," perintah Sang Raja terdengar jelas bagi siapa saja yang berada dalam ruangan tersebut.

Terkesiap Randra mendengar dirinya akan di eksekusi, melebar matanya memandang sosok yang duduk di singgasana tinggi itu yang masih bisa bersikap tenang. Kedua orang itu beradu pandang sejenak, hanya mata tajam yang masih mengawasinya dengan sinis itulah yang tampak di pelupuk mata Randra.

Keputusan asal-asalan itu terdengar konyol baginya. Sebisa mungkin ia menyembunyikan keterkejutannya sembari bersikap tenang. Sementara pikirannya fokus tertuju pada, bagaimana cara agar ia berhasil lolos dari eksekusi?. Namun jika ia berhasil lolos tak ayal lagi ia akan menjadi buronan kerajaan, setidaknya itu yang terjadi di Bumi Montrea terhadap para kriminal yang melarikan diri.

"Dewa?" ucap Silbi pelan, agaknya ia lebih tertarik dengan dewa yang sedang di bicarakan Sang Raja tanpa memedulikan kecemasan Randra.

Tanpa pikir panjang dua orang prajurit langsung menggelandang Randra, memaksa pemuda tersebut meninggalkan ruangan dengan tergesa-gesa, ketika pintu keluar di ujung ruangan itu terbuka.

CKKRAAKKKK

Tak ubahnya lautan manusia kerumunan yang sedang berjajar di depan gerbang istana. Setidaknya itu yang Randra saksikan, semua mata tertuju padanya seolah ia memang penjahat yang jadi bahan tontonan. Gerbang istana pun di buka Sang Jendral, puluhan prajurit sontak baris berjajar di sepanjang jalan. Mereka membentuk jalan agar Randra bisa lewat dengan membentengi kerumunan tersebut dari sisi kanan dan kiri.

"Itu penyusupnya? Kau tahu akibatnya sekarang!"

"Berani sekali dia!"

"Anak yang malang, kurung dia!"

Sepanjang jalan entah berapa kali cemoohan dan hinaan tertuju padanya. Tertunduk kepala pemuda itu berusaha tak memedulikan banyak mata yang sedang memperhatikannya. Ketika ia mencoba mengangkat kepalanya, hal pertama yang ia lihat adalah sebuah sapu tangan merah sedang melambai-lambai kecil, seolah memang sengaja menyapanya. Ternyata seorang gadis muda yang mengangkat sapu tangan tersebut, ia menatap Randra dengan pandangan datar sama seperti Randra yang mengamatinya dengan malas. Sayangnya, kerumunan yang berdesak-desakan itu membuat sosoknya tak terlihat lagi, begitu pun Randra yang lenyap bersama dengan kereta kuda yang membawanya pergi.

JDAAANNGGG...JDAAANNGGG...

"Lalu bagaimana? Langsung kabur atau habisi dulu semua orang yang merendahkanmu tadi?" tanya Silbi sambil memukul-mukul pintu sel baja.

Beberapa saat berlalu sejak mereka di kurung di selnya, Silbi agaknya bosan dengan keadaan seperti ini.

"Diamlah, menghabisi mereka lalu apa? Meski pun ada yang bisa menghabisi mereka semua, perang akan terus berlanjut di generasi-generasi selanjutnya dengan dendam yang membekas," balas Randra.

"Aku tak paham hal bodoh macam apa itu? Kau payah, tapi kalau di ingat-ingat kau lumayan berani juga tadi, hahaha," seru Silbi dengan gelak tawa khasnya.

"Tadi? Tadi kapan?" tanya Randra heran.

"Saat kau berbicara dengan Raja, kau bahkan tak memanggilnya Paduka Raja, Yang Mulia atau sebutan hebat lainnya, haha, itu bagus untuk ukuran keroco sepertimu," ejek Silbi.

"Ah, itu! Entahlah, mungkin aku agak marah dan terbawa suasana karena cara prajuritnya yang menyekapku," sahut Randra mengelus pelan dagunya, mengingat penyekapannya sebelum memasuki ruangan.

"Begitu? Hmmmm, di samping itu saat aku mendengar sosok Dewa yang mereka bicarakan tadi, aku menduga itu pasti khayalan bodoh Orang-Orang Bartham, ya itu wajar karena Raja mereka juga bodoh haha," ejek Silbi sembari mengutarakan isi kepalanya.

Randra terdiam heran, sejenak ia mencoba memahami apa yang di katakan Silbi barusan. Si Bayangan Hitam pun mendengus pelan menyadari rekannya tak mengerti apa yang ia maksud.

"Kau tahu? Itu sangat konyol jika ada Dewa yang hidup di Alam Manusia, lagi pula untuk apa melakukan hal rendahan seperti itu, hahaha... Dewa? Hmmmm," gumam Silbi seolah menebak sesuatu.

Termenung Randra mendengar ucapan bayangannya, mungkin ia memang mengetahui sesuatu tentang sosok yang di agungkan Sang Raja, mengingat Silbi juga termasuk makhluk yang masih misterius baginya. Selagi mereka berdua terduduk di lantai sel dan waktu terus berjalan, belum ada kepastian apa yang akan terjadi pada mereka atau mereka memang akan di eksekusi?.