webnovel

35. Bias Pandangan (3)

"Kerjaanku banyak, mana sempat ada waktu buat pacaran! Uhuk!" tepis Hasan dengan suara tinggi. Saat menyadari semua mata di ruangan tertuju padanya, Hasan mengumpat dalam hati.

"Kalian bisa tanya Dhika atau Mbak Aaliya kalau nggak percaya," ujar pemuda itu dengan lebih tenang.

Rrrr! Rrrr!!

Ponsel Hasan berbunyi. Dia sedikit terkejut melihat nama pemanggil yang tertera. Masih nervous akibat kata-kata Ny. Husni tadi, tangan Hasan masih canggung tidak memegang ponsel dengan benar. Sehingga ponsel miliknya itu tergelincir, masuk ke dalam cangkir.

Plung!

"Tidak!!" teriak Hasan yang berusaha menyelamatkan smartphone secepat kilat. Benda itu masih bergetar meski basah, membuat Hasan bernafas lega.

"Ada telepon dari kantor," ujarnya sambil menggeser tombol terima, dan melangkah keluar ruangan. Tidak sadar bahwa wajah dan matanya berbinar saat itu.

"O!M!G! Dia sudah sakit parah!" teriak Jasmine. "Siapa yang senyum lebar kayak gitu kalau dapat telpon dari kantor pas cuti?!"

"Hmm," Ny. Husni mengangguk. "Dugaan Mami benar."

Aaliya yang tertawa kecil dengan antusiasme keluarganya, ingin ikut bergosip. Hanya gelengan kecil Asraf yang membuatnya berhenti di detik terakhir.

"Mi, pasti ada alasan kenapa Hasan nggak mau cerita," ujar Aaliya. Dia lalu memberi usul, "Bagaimana kalau kita tunggu sebentar lagi?"

"Untuk apa menunggu-nunggu. Mami harus secepatnya tahu!" kata Ny. Husni yang lalu berjalan keluar dengan tergesa. Berteriak memanggil nama Dhika.

"Oops!" seru Aaliya seolah tidak sengaja mengompori ibu mereka. Melihatnya, Asraf dibuat geleng kepala.

"Jadi, sebenarnya ada acara apa kita berkumpul disini?" tanya anak laki-laki pertama keluarga itu sambil duduk di kursi rias yang kosong.

"Bukan apa-apa. Mami cuma buat alasan biar Mas Hasan datang," sahut Jasmine yang kembali asik main ponselnya.

Asraf mengangkat tangan saat salah seorang asisten perias mendekat. Asisten itu lalu membungkuk sekejap lalu mengerjakan hal lain. "Hmm, kalau begitu aku juga tidak perlu berlama-lama disini."

"Wah, aku nggak nyangka kalau tempat kerja segitu menyenangkan," celetuk Jasmine sarkastik.

Asraf hanya memutar mata dengan komentar adiknya itu. Dia kembali berdiri dan meninggalkan ruangan.

..

Haris entah kenapa sulit berkonsentrasi dalam pekerjaannya. Berkali-kali matanya tertuju pada ponsel yang bungkam. Dan kecewa ketika yang menghubungi, karena ada urusan pekerjaan.

Belum juga 24 jam berlalu sejak Hasan pamit, tapi dirinya sudah gelisah.

Duda itu lalu menyalakan layar dan jarinya ragu untuk menekan nama Hasan. Dia pun melihat riwayat chat yang mereka lakukan. Percakapan terakhir, sekitar seminggu yang lalu.

Sejak sering bersama, ada banyak hal yang bisa ditanyakan langsung. Utamanya tentang pekerjaan.

Tanpa Haris sadari, jarinya tidak sengaja menyentuh tombol 'panggil'. Mendadak duda itu terkejut dan langsung berlari keluar ruangan dengan ponsel di tangan.

"Halo?" sapa suara yang akrab dari sebrang sana.

"Oh, halo, Hasan... " Duda itu bingung akan bicara apa. "Eh, bagaimana kabarmu?"

"Iya, saya...baik."

Duh! Tentu saja, memangnya Hasan akan menjawab apa? 🙄😬 Haris jadi jengkel dengan kebodohannya sendiri.

"Kapan kamu pulang?" tanya Haris lagi. Sesaat kemudian, dia ingin menggali lubang dan mengubur diri. Saking malunya.

Ketika duda itu sibuk dengan pikirannya sendiri, senyum Hasan merekah di tempat lain. Dia sengaja mencari tempat yang tersembunyi agar tidak terlihat oleh anggota keluarga lain.

"Saya tidak yakin," jawab Hasan, meski dalam hati dia sudah berencana kembali secepatnya. "Ada apa?"

Haris sedikit kecewa dengan jawaban Hasan. Tapi dia tidak ingin terdengar manja dan menyebalkan dengan meminta Hasan pulang saat itu juga.

"Nggak, aku dan Niar mungkin akan ke Malang setelah pulang kerja. Dan baru kembali besok sore." Haris tidak ingin pulang ke tempat yang terasa canggung tanpa Hasan.

"Saya kira minggu depan Pak Haris baru ke Malang," ujar Hasan berusaha menutupi kegelisahan.

"Acara keluargamu bagaimana?" Haris balik bertanya untuk mengalihkan topik pembicaraan.

"Begitulah... Minggu depan saya harus kembali lagi." Hasan memutuskan tidak mengejar jawaban dari atasannya. "Pak Haris bawa saja mobilnya. Musim hujan begini, kasihan kalau Niar sampai kehujanan."

Haris hendak menolak tapi akhirnya mengangguk dan berterima kasih pada sekretarisnya itu. "Baiklah, aku tutup dulu teleponnya. Kamu jaga diri baik-baik, Hasan."

"Iya, Pak," jawab Hasan dengan suara yang membuat Haris berat memutus sambungan. "Sampai ketemu lagi."

Wakil Direktur itu segera memasukkan ponselnya kembali ke dalam kantong. Dalam hati tertawa, tidak menyangka dirinya akan bertingkah seperti remaja di usianya sekarang. Apalagi setelah meyakinkan diri untuk tidak menganggap lebih, perhatian dari Hasan apapun bentuknya.

..

Karena sungkan memakai mobil saat tidak ada pemiliknya, Haris berangkat naik ojol pagi itu. Begitu pula sore harinya.

"Niar, hari ini ke rumah Nenek mau?" tanya Haris begitu mereka tiba di dalam apartemen.

Gadis cilik itu membelalakkan matanya yang berbinar. "Mau, Yah! Berangkat sekarang, Yah?" tanya Niar bersemangat.

Haris melihat ke jam dinding. Jika mereka berangkat sekarang, perkiraan tiba sekitar jam 8 malam. Tapi setelah istirahat semalaman, Niar bisa puas bersama dengan Neneknya mulai pagi.

"Iya, Ayah siap-siap dulu."

Duda itu hanya membawa makanan ringan dan minuman seperlunya untuk di jalan. Tidak lupa memberi obat anti mabuk buat Niar. Meski biasanya tahan banting di kendaraan, putrinya itu melakukan perjalanan jauh setelah aktifitas seharian. Terlebih pada cuaca serba tak menentu seperti saat ini.

Dengan mengucap doa keselamatan, Haris pun menyalakan mesin mobil.

.

Jalanan cukup padat. Antara orang-orang yang baru pulang kerja dengan yang berangkat untuk nongkrong. Haris berharap tidak sampai terjadi kemacetan.

Ketika mobil yang dikendarainya sudah melewati pintu tol, duda itu bisa bernafas sedikit lega.

Rrrrr! Rrrrr!

Perhatian Haris terbagi saat ponsel yang dia letakkan di dashboard, berbunyi. Dia menoleh pada Niar yang sudah menutup mata dan mendengkur halus di kursi tengah.

Aneh, karena jarang sekali ponselnya berbunyi di luar jam kerja. Pria itu pun mengurangi laju kecepatan mobilnya dan berhenti di bahu jalan. Tidak lupa menyalakan lampu darurat.

Keheranan Haris bertambah ketika ID pemanggilnya adalah Hasan.

"Halo, Hasan?" sapa Haris sedikit bingung.

"Pak Haris. Sekarang posisi Bapak ada di mana?" tanya pemuda itu dengan suara gelisah.

"Hmm, baru masuk tol Dupak."

"Kalau saya ikut ke Malang, apa boleh?"

Haris tidak segera menjawab dan balik bertanya, "Urusan keluargamu sudah selesai?"

"Tidak. Tambah ruwet. Makanya saya kabur," jawab Hasan disertai tawa kecil yang menular.

Haris ikut tertawa mendengarnya. Seketika hatinya terasa ringan. "Oke, posisimu dimana?"

"Bandara Juanda," jawab Hasan.

Kejutan demi kejutan Haris dapatkan hari ini. Dia terlalu sibuk dengan pikirannya sampai tidak bertanya kemana Sekretarisnya pergi.

"Aku telepon lagi kalau sudah dekat," ujar Haris. Jika waktu sudah pas, dia akan bertanya sejelas-jelasnya pada Hasan. Lagipula, ada hal lain yang lebih penting yang perlu mereka bicarakan.

.

Haris berhati-hati saat keluar tol Juanda. Di dekat bandara, hampir semua kendaraan dipacu kencang. Seolah takut ketinggalan pesawat.

Kendaraan akhirnya berhenti di lokasi parkir yang cukup dekat dengan lobby.

Duda itu menengok ke belakang, ke tempat dimana Niar masih tertidur pulas. Setelah yakin putrinya tidur dengan nyaman, barulah Haris menghubungi nomor Hasan.

"Halo," sapa Hasan setelah deringan pertama. "Pak Haris sudah sampai mana?"

"Aku sudah di parkiran. Tapi Niar tidur di mobil," ujar Haris.

"Yang sebelah mana, Pak?"

"Hmm..." Haris melihat ke sekeliling. Hampir semua tampak sama. Matanya lalu menangkap anak tangga panjang di dekat air mancur. "Lurus dengan pancuran dekat eskalator."

Duda itu lalu mematikan mesin dan membuka pintu. Dia akan berjaga di dekat mobil agar Hasan lebih mudah menemukan kendaraannya nanti.

Dengan rapi, Haris sudah menyusun apa saja yang akan dia katakan pada Hasan. Pertama-tama, dia akan menanyakan kabar Hasan, sudah makan malam atau belum. Setelah itu..

"Pak Haris," panggil suara yang akrab di telinga Haris.

Wakil direktur itu langsung menoleh ke arah datangnya suara. Pemuda itu berjalan cepat ke arahnya. Meski penerangan sedikit redup, Haris bisa mengenali sosok tinggi tegap itu dimanapun.

"Hasan!" panggil Haris dengan suara lebih tinggi dari biasanya. "Sudah lama nunggu? Kamu sudah makan malam apa belum?"

Alih-alih menjawab dengan kata, Hasan mengulurkan tangan dan meraih tubuh atasannya. Lalu, menangkap bibir pria itu dalam ciumannya yang ganas.

Dalam sekejap, Haris sudah hanyut dalam pelukan sekretarisnya yang tidak hanya tampan, tapi juga seksi dan memabukkan. Seolah tidak rela melepas kedekatan diantara mereka, tangan Haris menarik kerah baju Hasan.

Tidak lagi.

Dia tidak ingin berada jauh darinya.

.

.