webnovel

26. Jangan Pegang-Pegang(1)

Mata Haris menatap langit-langit kamar. Ada perasaan aneh dengan Niar di sebelah kiri dan Hasan di sebelah kanannya. Mungkin karena terasa sesak, sebab biasanya hanya mereka berdua.

Haris menoleh ke kiri, gadis kecilnya itu sudah terlelap sejak tadi. Dia sangat bersyukur karena pihak penitipan mau dimintai tolong untuk mengantar hingga ke pintu masuk apartemen. Meski sudah baikan, Haris ingin beristirahat semaksimal mungkin. Sehingga besok dia bisa bekerja maksimal.

Di sebelah kanannya, Hasan tidur dengan nyenyak. Wajahnya yang tampan terlihat tenang.

Haris pun menutup matanya. Membayangkan hal-hal menyenangkan yang akan dia hadapi besok.

Sesaat kemudian, duda itu membuka matanya. Dia merasakan sesuatu yang merayap di daerah perutnya. Ketika diperhatikan dengan baik, memang ada yang...

"Hasan!" bentak Haris sambil berbisik. "Kalau tidak bisa tidur tenang, kamu bisa kembali ke kamarmu."

Mata Hasan langsung terbuka. Sebuah senyum nakal tersungging di bibirnya.

"Sayang kalau cuma tidur," bantah Hasan dengan suara berat dan kerlingan matanya yang terlihat sexy.

Haris tetap melotot agar pemuda itu tidak meremehkannya.

"Baiklah, Pak," bisiknya sambil senyum.

Sebuah lengan lalu melingkar di perut Haris. Sedangkan pemilik lengan itu mendekatkan wajahnya hingga Haris bisa mencium aroma shampo yang samar-samar.

Sesuai janjinya, Hasan tidak lagi berulah sepanjang sisa malam. Haris pun bisa terlelap dengan tenang.

..

Ketika bangun pagi itu, Haris merasa panas dan sesak. Dan sedikit terkejut melihat Hasan yang masih memejamkan mata di sebelahnya.

Sebuah gerakan di dekat kakinya membuat Haris kembali ingat betapa usilnya Hasan. Haris pun menepuk pelan lengan pemuda itu. "Sudah pagi, bangun, bangun."

Bukannya menjauh, tangan Hasan malah menarik tubuh Haris dan memeluk duda itu erat-erat. Hanya keberadaan Niar yang membuat Haris berang dengan tingkah Hasan saat itu.

"Jangan pegang-pegang! Ada Niar!" bentak Haris sambil berbisik.

Duda itu lalu berbalik ke arah putri kecilnya, yang sudah membuka mata lebar-lebar. Spontan, Haris segera melepaskan diri dari kurungan lengan Hasan.

"Niar! Ayo, sini, peluk Ayah~"

Namun gadis kecil itu hanya menguap lebar. Matanya lalu kembali menatap ke arah ayahnya yang sudah tidak lagi dipeluk om Hasan.

"Om Hasan, jangan meluk ayah. Ayah nggak suka dipeluk," ujarnya dengan suara kecil yang bening.

Haris seketika tertawa terkekeh. "Dengar itu, Hasan? Jangan peluk-peluk!"

"Om Hasan harus tunggu sampai Ayah mau meluk.." lanjut Niar lagi.

Kali ini giliran bahu Hasan yang berguncang menahan tawa.

Sedangkan Haris sangat malu dengan kata-kata putrinya. "Niar~ kenapa bicara begitu..."

Diluar dugaan, mata gadis kecil itu berkaca-kaca. "Habisnya.. habisnya Om Hasan sudah jahat sama Ayah.."

Kali ini, baik Haris maupun Hasan sama-sama bingung dengan perkataan Niar.

"Tunggu, memang Om Hasan ngapain? Ayah kenapa?" tanya duda itu sambil meraih badan kecil Niar. Haris bahkan memeluk dan memebelai kepala anak gadisnya itu.

Namun Niar menutup mulutnya rapat-rapat. Hanya mata bulat yang memandang ke arah Hasan. Pandangan yang seolah-olah menuduh lelaki itu sudah berbuat sesuatu.

"Niar, Om Hasan sudah bantu Ayah. Niar ingat, rumah Ayah kebakaran. Terus kita nginap di rumah Om Hasan. Om Hasan juga sudah nganterin Niar sekolah," ujar Haris.

Niar menggelengkan kepala, sambil tetap bersembunyi di dalam buaian ayahnya.

Merasa apapun yang dia katakan tidak akan didengar, Haris lalu mengusap punggung anaknya. "Ya sudah, ayo Niar mandi dulu. Hari ini kita mau ke sekolah barunya Niar."

Dia sengaja bicara keras-keras agar Niar ikut bersemangat. Mungkin nanti dia akan menanyakan lagi pada Niat. Dia ingin tahu, bagaimana putrinya bisa berpikir begitu.

Haris berharap bahwa apapun penyebabnya, bukan karena Niar mendengar rintihannya saat sedang bergumul berpeluh dengan Hasan.

..

"Apa Pak Haris sudah minum obatnya pagi ini?" tanya Hasan. Tangannya menyentuh rambut Haris bagian samping yang sudah tersisir rapi.

"Sudah," jawab Haris sambil mengencangkan sabuk pengaman.

Hasan lalu menoleh ke arah putri kecil yang duduk tenang di belakang, dengan tas motif strawberry yang imut. "Niar sudah siap?"

Gadis itu mengangguk. Matanya bulat lebar, berbinar. Seolah kejadian tadi pagi tidak pernah ada.

"Baiklah, ayo kita berangkat," ujar Hasan seraya memindah gigi dan persneling.

Mobil SUV itu berjalan mulus menuruni parkiran apartemen, lalu bergabung dengan kendaraan lain di jalanan. Hari masih pagi tapi lalu lintas sudah mulai padat.

Kendaraan itu berhenti di depan sebuah sekolah dengan cat warna warni.

"Ini tempatnya?" tanya Hasan.

Haris memeriksa brosur yang dia bawa. Gambar disana persis seperti bangunan di depannya. "Iya. Terima kasih sudah mengantar."

Haris pun melepas sabuk pengaman dan mengambil ranselnya.

"Pak Haris," panggil Hasan.

"Hmm?" Haris menoleh ke arah pemuda itu. Tangannya terjulur, mengusap pelan pipi dan keningnya.

"Kalau tidak enak badan, cepat katakan. Jangan ditahan seperti kemarin," pinta Hasan. Matanya yang tajam menyebabkan Haris tidak bisa menatapnya berlama-lama.

"Aku tahu," jawab Haris pelan sebelum turun.

Duda itu lalu membantu Niar turun, dan bergegas memasuki bangunan sekolah.

..

Salah seorang staf sekolah,mengantar Haris dan Niar mengelilingi sekolahan.

"Satu kelas terdiri dari 12 sampai 16 siswa. Semua meja dan tempat duduk diperiksa seminggu sekali. Kalau ada kayu yang mengelupas, bisa cepat ketahuan, dan aman buat anak-anak," ujar staf itu.

Selain bangunan warna-warni, tembok dalam kelas juga sama menariknya. Tapi tidak terlalu ramai hingga mengganggu fokus belajar mereka.

"Selain guru, juga ada asisten yang membantu. Terutama saat memakai kamar kecil atau ada yang kurang sehat," staf itu menambahkan.

"Bagaimana, Niar? Niar suka apa nggak, kalau sekolah disini?" tanya Haris.

Gadis kecilnya itu sedang melihat ke arah mainan ketangkasan yang berada di halaman. Bel masuk sekolah berbunyi dan anak-anak itu dipanggil oleh guru dan orang tua mereka. Beberapa bersikeras masih ingin bermain, sementara yang lain sudah masuk dengan teratur.

Dari anak-anak yang masuk ke dalam kelas itu, ada yang melihat ke arah Niar.

"Tidak tahu, Yah," jawab Niar. Tangannya mempererat gandengan mereka. Haris bisa merasakan kekhawatiran dan kecemasan anaknya itu.

"Niar suka atau tidak, bukan masalah. Yang penting Niar mau coba dulu. Katanya Niar mau sekolah..." Haris mengingatkan keinginan anaknya.

"Mungkin karena masih belum ada yang kenal, Pak," ujar staf itu ramah. "Setelah beberapa kali, nanti pasti Niar sudah punya teman."

Tidak lama, staf itu berpamitan. Tinggal Haris yang masih menggandeng tangan kecil putrinya sambil berjalan di sekeliling sekolah.

Haris menunjukkan rasa antusias pada mainan, dan kegiatan yang akan dilakukan Niar kelak. Duda itu berharap rasa senangnya akan membuat Niar lebih berani dan tertarik untuk menjelajah sekolahnya.

Meski dalam hati dia sangat ingin menanyakan pada Niar perihal tadi pagi, Haris menahan diri. Yang terpenting bagi Niar sekarang adalah fokus pada sekolah dan bermainnya, selayaknya anak-anak. Nanti saat waktunya sudah tepat, entah kapan...

Menjelang jam 9, dia berpamitan pada staf sekolah dan menuju tempat penitipan biasanya. Tidak lupa mencium kening gadis kecil itu.

Barulah dia berangkat menuju kantor dengan ojol.

.

Haris memperlambat langkahnya saat menyadari bahwa pria yang berada di depannya adalah pak Bangun. Dia tidak ingin kena tegur atasannya itu. Meski sudah membuat notifikasi dan ijin ke bagian HRD, bukan berarti semua akan baik-baik saja.

Duda itu pun berbelok ke arah lain tepat saat pintu lift terbuka.

"Pak Haris," panggil Bangun dari dalam lift. "Nggak naik lift?"

"Saya mau ke gudang ATK, Pak. Ada stok yang habis," kilahnya. "Pak Bangun silahkan duluan."

Haris merasa lega saat pintu lift perlahan tertutup. Agar kebohongannya menjadi kebenaran, dia pun mengambil barang secara random untuk dibawa ke ruangannya.

Sampai di ruangannya, di lantai 7, barulah pria berkulit kuning langsat itu bisa bernafas lega.

"Apa ada perkembangan terbaru?" tanya Haris sambil mendekati deretan meja-bilik yang dipakai rekan-rekannya.

"Pak, akhir tahun ini mau outbond dimana?" tanya Ika.

"Entahlah, biasanya Hasan yang dapat kabar dari HRD." Haris berpaling pada sekretarisnya yang masih dengan tekun mengetik laporannya.

"Saya belum tahu, tapi akhir-akir ini wilayah Mojokerto sering jadi tujuan," jawabnya.

"Lebih enak daerah Malang. Hawanya segerrrr," sahut Ika lagi.

"Duh, terakhir kali, alergi dinginku kambuh. Badanku gatal semua, untung nggak sampai sesak nafas," ujar Budi meluapkan kekesalan dengan berapi-api. Mengundang tawa dari lainnya.

"Aku juga lebih suka daerah Mojokerto atau Pandaan, lumayan sejuk dan nggak terlalu macet." Nisa ikut memberi pendapat.

"Untung kita cewek-cewek sekamar berdua, ya, Nis." Ika memeluk Nisa yang duduk di meja sebelahnya.

"Ah, aku nggak ikut. Niar nggak ada yang jaga. Neneknya masih pemulihan di RS."

"Berarti aku sama Hasan?" tanya Budi.

"Saya sudah ijin tidak ikut. Ada acara keluarga yang tidak bisa ditinggal," jawab Hasan tanpa mengangkat matanya dari layar komputer.

Haris jadi penasaran, laporan apa yang dikerjakan pemuda itu dengan sebegitu seriusnya.

"Eh, tumben kamu ambil cuti. Acara apa, San?" tanya Ika. "Ada yang nikah?"

Kali ini pemuda itu mengangkat matanya. "Semacam itu."

Jawaban Hasan yang mengambang terus mengganjal di hati Haris.

Setelah membahas tentang outbond, mereka kembali pada pekerjaan masing-masing. Wakil direktur itu berencana menanyakan sambil lalu, apakah kakak atau adiknya Hasan yang menikah.

Kemudian, Haris kembali teringat bahwa Hasan tidak benar-benar bercerita tentang keluarganya. Haris tidak tahu jumlah saudara Hasan, atau pemuda itu anak keberapa. Dia bahkan sering berasumsi kalau Hasan anak tunggal.

Diluar dugaan, Haris tidak senang dengan hubungan mereka. Dimana Haris merasa harus memenuhi hasrat Hasan, sebagai ganti tempat tinggal dirinya dan Niar.

Bahwa kebaikan Hasan selama ini, sama seperti yang dia lakukan jika orang lain yang kesusahan. Bahwa kebaikan Hasan, karena memang sudah sifatnya. Bukan karena Haris adalah pengecualian.

Tapi, bukankah dulu Hasan pernah mengatakan ingin berpacaran denganku?

Apakah aku spesial di mata Hasan? Jika iya, kenapa Hasan hampir-hampir tidak pernah bercerita tentang dirinya?

Lalu, memangnya kenapa kalau Hasan menganggap aku spesial atau tidak? Apa aku ingin Hasan menganggap aku istime-

"Asuu!!" umpat Haris dalam hati.

.

.