webnovel

20. Good Day (2)

Setelah cukup puas berada di udara terbuka, Haris mengajak Niar pulang. Pekerjaan rumah tidak akan selesai dengan sendirinya dan lebih baik dilakukan selagi ada waktu.

"Ayah mau nyapu, Niar diam di atas sofa, ya. Jalan-jalannya nanti kalau ayah sudah selesai," perintah Haris sambil mencuci tangan dan kaki mereka di kamar mandi.

"Iya, Yah," jawab Niar dengan suaranya yang imut. "Tapi kalau nanti Niar haus, gimana?"

"Biar Ayah yang ambilkan minum," jawab Haris sambil menyiapkan minum dan makanan kecil. Dia juga menyalakan televisi agar putrinya betah duduk di sofa.

Selain menyapu, Haris juga melap beberapa barang yang dirasa perlu. Setelah kamarnya selesai, dia berpindah ke kamar Hasan. Pemuda itu sedang duduk di kasur dengan laptop di pangkuan. Dari suara yang terdengar, Hasan sedang menonton film.

"Film apa?" tanya Haris sedikit penasaran.

"Harusnya action," jawab Hasan. Suaranya yang rendah, seperti bergetar di tenggorokannya.

Makin penasaran dengan jawaban Hasan, Haris berjalan mendekat untuk melihat layar perangkat. Sedang terjadi perlawanan antara seorang wanita muda yang dikejar beberapa pria berdandan garang. Adegan selanjutnya berlangsung sangat panas.

Haris segera kembali berfokus pada tujuan awalnya untuk bersih-bersih.

"Tidak mau lihat lanjutannya, Pak?" tanya Hasan sambil mengusap-usap bagian celananya yang mulai memuncak.

"Nggak, selesai nyapu aku mau cuci-cuci," sahut Haris bergegas meninggalkan kamar dengan kuping terasa panas.

"Hahahaha, oke. Panggil saja saya kalau butuh tangan tambahan," ujar Hasan menawarkan diri.

Haris menjawabnya dengan membanting pintu keras-keras.

..

Hasan akhirnya keluar kamar saat mendekati jam makan siang. Dia hanya melihat Niar yang tertidur di depan televisi yang menyala.

Setelah mematikan layar, Hasan melongok stok makanan di dalam lemari es. Ada telur, susu, berbagai buah potong, kol, wortel, kentang, dan beberapa bumbu siap saji. Di dalam freezer juga terdapat beberapa makanan beku.

Grrrrllrlrl....

Suara gemuruh terdengar dari ruang laundry yang terhubung dengan teras. Saat melongok kesana, Haris sedang duduk di kursi pendek dengan bak cucian.

"Kenapa tidak dicuci mesin saja semuanya?" tanya Hasan dengan kedua tangan di dalam saku celana.

"Nanti pakaian dalamnya gampang molor, duh," jawab Haris tanpa menengok ke arahnya.

"Saya mau goreng kentang dan spicy wing buat makan siang. Pak Haris mau sekalian?"

Pria lebih tua itu menghentikan gerakan tangannya. "Hmm, boleh. Tolong sekalian gorengkan sosis 3 biji buat Niar."

"Oke," jawab Hasan singkat.

Sewaktu pemuda berkulit gelap itu tidak juga beranjak dari tempatnya bersandar di kusen pintu, Haris bertanya, "Apa?"

"Nanti sore ada rencana keluar atau dirumah saja?"

"Sebenarnya..." Haris lalu menceritakan tentang berbagai fasilitas yang dia dengar dari pihak keamanan gedung. Daripada keluar ke tempat yang jauh, ingin mencoba yang ada di dalam kompleks.

Haris berpikir kalau tidak ada ruginya jika mengenal tetangga meski beda gedung. Harapannya yang lain adalah agar Niar bisa secepatnya beradaptasi dengan lingkungan baru. Terutama setelah Haris memutuskan dimana putrinya itu akan bersekolah.

..

"Siap?" tanya Haris sambil menatap cakrawala.

"Siap!" jawab Niar penuh semangat.

"Jangan lari-lari dekat kolam, awas kepleset," wanti-wanti Hasan sambil berjalan melewati keduanya.

Sore itu mereka memutuskan mendatangi kolam renang di kompleks apartemen. Selain mereka, ada banyak anak kecil dan orang dewasa yang juga menghabiskan akhir pekan di sana.

Karena Niar belum punya pakaian renang sendiri, Haris menyewa di lokasi. Sedangkan dirinya saat ini memakai celana renang milik Hasan.

Hasan melihat Haris yang sibuk mengawasi Niar bermain di kolam anak-anak. Pemuda itu pun berjalan ke arah kolam yang lebih dalam. Matanya yang tajam melihat situasi sekitar, dia tidak ingin menabrak orang lain saat meluncur.

Sampai di spot yang sesuai, Hasan langsung melompat ke air beraroma klorin. Tanpa mengacuhkan beberapa pasang mata yang terarah pada sosoknya yang atletis, tubuhnya meluncur memiak air dengan kekuatan lengan dan kaki.

.

Ketika Hasan berkata dirinya akan berada di kolam dewasa, Haris mengira Hasan akan berenang dari ujung ke ujung lalu berhenti. Duda itu tidak mengira Hasan akan berenang dengan lihai, seperti seorang atlet.

Tangannya terangkat sesaat sebelum menghujam kuat ke air, disusul lengan satu lagi. Begitu terus bergantian. Wajahnya hanya sesekali terlihat untuk menghirup nafas dengan mulut berbentuk 'o'.

Kerumunan kecil yang sekedar celap-celup di bagian yang agak dangkal, otomatis memberi ruang saat Hasan mendekat, berputar lalu memijakkan kaki dan kembali meluncur seperti anak panah.

"Baru kali ini aku lihat perenang langsung," ujar salah satu pengunjung yang duduk santai di pinggir kolam.

"Hnn," temannya mengiyakan. "Nggak cuma bodinya yang bagus, Choi. Ganteng juga, tau! Sayang ga pakai speedo."

"Wakakaka! Dasar kamu! Haaah...speedo... 💕 Mana ada orang sini pakai speedo kalau bukan acara lomba atau kolam pribadi. Udah bawaannya pakai celana kolor aja."

"Xixixixi. Minta nomor telepon, gih."

"Nggak minta ajarin renang sekalian? Mayan, bisa ditolong kalo kamu kelelep nanti. Di CPR-in."

"Hush! Kalo giginya kuning atau punya bad breath gimana?"

"Yeee, mana tahu kalau belum bicara langsung. Nggak apa, kalo kamu nggak mau, biar aku samperin sendiri."

Percakapan para gadis yang terbawa angin itu, membuat pikiran Haris terpecah belah. Dia tahu secara personal kalau Hasan punya gigi cemerlang dan nafas yang segar. Dan dia yakin kalau Hasan akan tetap terlihat menarik meski hanya pakai karung goni.

Perhatian Haris kembali teralihkan saat Niar menepuk air ke arahnya.

"Ayah basah! Ayah basah!" teriak gadis itu senang.

"Lho! Ayah basah... Gantian Niar yang basah!" teriak Haris sambil mengejar Niar, menyebabkan bocah itu menjauh sambil tertawa geli.

"Rawwrr!" geram Haris garang, saat berhasil menangkap Niar yang terkekeh. Putrinya itu berteriak saat Haris menggigit pelan di lengan, pipi, dan perutnya.

.

Puas berenang, Hasan pun mentas dari kolam dewasa. Matanya mencari sosok Haris di antara orang-orang yang berkerumun baik di tepi maupun di dalam kolam.

Pemuda berkulit eksotis itu tidak dapat melihat jelas dari tempatnya berada. Sehingga Hasan melangkah ke bagian kolam anak yang dilengkapi permainan air.

Banyak pasang mata yang terarah ke tubuh atletisnya yang terpampang jelas untuk siapa yang mau melihat. Atau ke arah wajah dengan dagu yang maskulin.

Berkat pandangan orang itu, Hasan yakin kalau tidak ada yang salah dengan dirinya. Haris tidak tertarik padanya seperti yang Hasan harapkan, mungkin karena mata duda itu sudah rabun. Atau karena beliau malu-malu kucing.

Hasan menahan tawa. Dia berpikir kalau atasannya itu akan cocok memakai kostum landak. Keras dan prickly di luar untuk melindungi bagian dalamnya yang halus dan lunak.

Wakil direktur itu duduk di pinggir sambil selonjoran ke arah air. Sedangkan Niar duduk di ujung kaki Haris. Tawa renyah bocah itu pecah tiap kali kaki Haris tertekuk turun, membuat badan Niar terbenam ke air. Sesaat kemudian, Haris mengangkat kakinya hingga Niar berada di permukaan sebelum menjatuhkan kakinya lagi ke air.

"Gyahahahaha!"

"Sudah berenangnya?" tanya Haris ketika Hasan berjalan mendekat dan duduk di sebelahnya.

"Iya. Pak Haris kalau mau berenang, biar gantian saya yang jaga Niar."

"Aku nggak bisa berenang," jawab Haris. Senyum lebarnya terarah pada gadis cilik yang berpegang di kaki.

"Mau belajar sama saya?"

Hasan tidak luput memperhatikan saat mata Haris kembali tertuju pada Niar.

"Mungkin lain kali."

"Kalau begitu, apa boleh saya ajari Niar berenang?" tanya Hasan lagi.

"Tentu. Niar, ayo belajar sama Om Hasan," ajak Haris yang menarik tangan gadis itu ke atas. "Belajar renang."

Gadis itu mengangguk saja, mengikuti apa kata Haris. Dia senang bisa bermain seharian bersama ayahnya. Tadi di taman, sekarang di kolam.

.

Haris yang mengamati dari samping, kagum dengan ketelatenan Hasan. Pemuda itu juga memberi instruksi yang mudah dipahami. Haris juga mengikuti apa yang dikatakan Hasan, agar putrinya itu lebih menurut dan tertarik.

Ketika Niar mulai bosan, Hasan menyarankan untuk lanjut belajar minggu depan. Haris setuju, mereka sudah berendam cukup lama dalam air. Besok hari senin dan kegiatan akan dimulai lagi.

Malam itu mereka makan dengan bahan seadanya. Mata Niar berkali-kali terpejam sehingga Haris setengah memaksa anaknya tetap terjaga. Dia tidak ingin Niar tersedak atau bangun tengah malam karena lapar.

Seusai membaringkan Niar di kasur, barulah Haris merasakan lelah di sekujur tubuhnya. Ketika matanya melihat ke ponsel, jam menunjukkan pukul 6 malam.

"Baru jam segini tapi rasanya sudah nguaaantuuuk.." keluh Haris sambil menguap.

"Kamu nggak ngantuk, San?" tanya Haris pada Hasan yang mencuci piring dan perkakas.

"Tidak. Mungkin Pak Haris ngantuk karena jarang olah raga," ujarnya tanpa menoleh ke belakang.

Dari belakang pun pemuda itu terlihat keren. Kenapa dia melibatkan diri dengan duda tua beranak satu seperti dirinya, sungguh membuat Haris keheranan. Padahal tidak satu atau dua orang yang mengagumi sosok Hasan di kolam tadi.

The heck! Bahkan di kantor pun Haris tahu kalau ada banyak karyawati yang kesengsem dengan sekretarisnya itu. Cekatan dalam bekerja, sopan ramah, juga posisinya yang menjanjikan gaji lumayan.

Jika para karyawan itu tahu kalau Hasan juga punya apartemen, mobil dan motor pribadi, Haris yakin kalau mereka akan lebih kekeuh mengejar Hasan.

"Kamu nggak tertarik cari pacar?" tanya Haris lagi.

Kali ini Hasan menoleh ke belakang. Dia pastikan matanya beradu pandang dengan Haris. "Dia tidak mau saya ajak pacaran. Tapi saya lumayan tenang bisa tinggal serumah dengannya."

Jujur, Haris tidak tahu bagaimana merespon kata-kata Hasan. Dia pun mengatakan apa saja yang ada dalam benaknya.

"Apa kamu tidak bosan denganku? Kita ketemu di kantor, dan sekarang serumah."

Selesai membilas panci terakhir dan meletakkannya di tatakan pengering, Hasan pun mengelap tangannya. Dia berjalan pelan ke arah Haris.

"Bosan? Jujur saya bosan karena Pak Haris sering menghindar," ujar Hasan. Tangannya terulur ke arah rambut dekat kening duda itu. Sudah cukup panjang, sudah waktunya untuk dipotong.

"Bukankah Pak Haris yang seharusnya berusaha agar saya tidak bosan?" Pemuda itu balik bertanya.

"Jadi, apa yang akan Pak Haris lakukan?"

.

.