webnovel

Crazy Rich Squad : Dolmabache Gate

SINOPSIS "Jangan pernah bicara tentang arti cinta kepadaku. Seseorang yang tidak mengerti arti seni tidak pantas bicara tentang cinta. Dan kamu, adalah salah satunya." Prameswari terpaku, kalimat itu membuatnya sadar, bahwa selama ini, sikap kasar dan dingin yang ditunjukan Ferhat untuk dirinya, adalah luka masa lalu saat Ferhat hidup sebagai Aslan, yang telah digoreskan olehnya. Belum sempat Prameswari menjelaskan segalanya, Aslan telah menutup mata perlahan di pangkuannya sambil tersenggal seolah nafasnya akan berhenti. Tepat di saat Prameswari hendak mencabut belati tersebut, berharap masih sempat menyelamatkan Aslan dan menjelaskan semuanya, kesadarannya seperti berangsur hilang, dan tiba-tiba saja dirinya telah berada dalam pelukan seseorang yang paling dia benci di dunia ini. Ferhat. ~•••~ Prameswari adalah seorang siswi teladan dari desa kecil di Jawa Tengah, tepatnya Desa Bangsri Jepara yang mendapatkan beasiswa untuk meneruskan pendidikan di salah satu pusat mode dunia, yaitu kota Paris, negara Perancis. Keadaan membawanya pada perseteruan panjang dengan Ferhat, Asisten Dosen yang menjadi pembimbingnya. Ferhat memang selalu dingin dan cenderung sinis kepada wanita, tidak terkecuali kepada Prameswari. Meskipun demikian, Prameswari tidak perduli. Sampai saat mereka harus bekerjasama membuat tugas proyek yang membuat keduanya terpaksa pergi ke Istanbul Turki bersama-sama. Sebuah peristiwa supranatural membuat Prameswari tersedot dan mengalami kehidupan di masa lalu, yang membuatnya mengerti, mengapa Ferhat sangat membenci wanita, khususnya Prameswari. Prameswari yang menyadari bahwa Aslan dan Ferhat adalah jiwa yang sama dalam raga yang berbeda, serta hidup dalam waktu yang berbeda, membuatnya mengerti, mengapa Ferhat sangat membenci dirinya.

Risa Bluesaphier · História
Classificações insuficientes
24 Chs

9. Karantina Bersama 'Putra Mahkota'

Rombongan para gadis tiba di sebuah rumah besar dengan banyak kamar, mereka dipersilahkan untuk memilih kamarnya masing-masing. Hari ini mereka akan menginap satu malam sebelum terbang ke Istanbul Turki.

Karena ruang kamar yang begitu luas melebihi luas unit apartemen mereka di Buzenval, bagaikan sudah direncanakan ke empat gadis tersebut mengajukan pertanyaan yang sama secara bersamaan.

"Bolehkah kami satu kamar saja bersama-sama?"

Keempat mentor pendamping mereka tersenyum dan mengangguk memberikan izin. Keempat gadis tersebut berjingkrak-jingkrak gembira dan segera memilih sebuah ruangan yang paling luas diantara ruangan yang lain. Para mentor hanya tersenyum dan mengedikkan bahu, lalu mengambil tempat di sekitar ruangan yang dipilih para gadis.

Setelah membereskan perlengkapan mereka di sebuah sudut, para gadis langsung meloncat ke tempat tidur dan duduk saling berhadapan.

Sejenak mereka saling memandang, lalu dengan berbisik, masing-masing bertanya secarabersama-sama. "Kita sedang di karantina, kah?" Keempatnya langsung menutup mulut mereka sambil cekikikan. Ini bukan kali pertama mereka sering mengajukan pertanyaan atau membuat pernyataan secara bersama-sama seolah sudah diatur lebih dulu. Itulah sebabnya mereka merasa sangat sehati dan sejiwa. Soulmate ter-bestie sepanjang masa kalau istilah mereka.

Laksmi yang selalu teliti langsung meletakkan ibu jarinya di atas bibir, yang lainnya langsung terdiam, menunggu kata-kata yang keluar dari bibir Laksmi.

"Kita harus cek kamar ini, mungkin dipasang CCTV dan semacamnya." Ketiga gadis lainnya mengangguk bersama-sama. "Hien, kamu periksa kamar mandi, jangan lupa cek cerminnya dengan kuku jarimu yang lentik itu."

"Siap. Kalau kuku menempel di cermin artinya itu cermin yang normal dan aman." Hien dengan yakin mengungkapkan pendapatnya. Namun ketiga sahabatnya langsung mengacak-acak rambut Hien dengan gemas.

"Terbalik Hien." Prameswari malah menjewer kuping Hien lembut, membuat Hien meringis. Diantara mereka berempat ingatan Hien memang paling lemah, sementara yang paling detil dan bisa mengingat semua dengan lebih akurata adalah Laksmi. Dalam hal ingatan Sanjona dan Prameswari berada di tengah-tengah.

Dengan lembut Sanjona meluruskan ingatan Hien. "Kalau kukumu menempel di kedua sisi, justru itu merupakan cermin dua arah atau tembus pandang. Artinya, kita seolah-olah merasa sedang bercermin, padahal orang di sisi lain cermin tersebut bisa melihat segala aktivitas yang kita lakukan. Jadi cermin yang normal, dan bisa dibilang aman adalah ketika kamu tempelkan kukumu di cermin, akan ada jarak di antaranya."

Hien menepuk pelipisnya sambil terkikik geli. "Maafkan short memoriku ya teman-teman, sahabat terbestie sepanjang masa. Baiklah, aku sudah mengingatnya sekarang." Jawab Hien yakin. Namun ketiga sahabatnya saling berpandangan tidak percaya.

"Aku akan menemanimu meneliti kamar mandi, Hien." Sanjona menawarkan diri. Laksmi dan Prameswari mengangguk tanda setuju. Hien hanya pasrah melihat teman-temannya yang tidak mempercayainya. Namun dalam situasi ini dia tidak ingin berdebat. Kecuali untuk urusan merias diri, dia jagonya, dan dia siap mematahkan segala argumentasi dalam hal kecantikan termasuk perawatan diri. Akhirnya Hien ikut mengangguk sambil tersenyum simpul.

"Prameswari, aku akan meneliti area sebelah Selatan ruangan, dan kamu cek area sebelah Utara. Bagaimana?" Prameswari mengangguk. Baginya sama saja, meneliti bagian manapun tidak ada bedanya. Keempat gadis itu mulai bergerak dan meneliti dengan hati-hati setiap inchi ruangan.

Setelah beberapa saat, keduanya kempali berkumpul di titik awal, masing-masing tidak menemukan kejanggalan apapun. Untuk sementara mereka merasa aman. Keempat gadis itu mulai merebahkan diri bersama-sama, saling berdesakkan, padahal ada satu lagi tempat tidur kosong di sebelah mereka.

"Apakah kita perlu menentukan siapa tidur dengan siapa dan di tempat tidur yang mana?" Tanya Prameswari, dirinya saat ini berada di tengah-tengah seperti sosis yang terjepit sandwich.

Laksmi yang berada di sebelahnya dan juga dalam posisi terjepit langsung duduk. "Tidak perlu, biar aku saja yang tidur di tempat tidur satunya. Siapa yang mau bersamaku?" Tanya Laksmi, sambil memandang ketiga sahabatnya.

Hien yang paling penakut diantara ketiganya dan saat ini berada di sisi Laksmi langsung menariki tangan Laksmi. Aku akan bersama kamu tidur di sana. Tetapi itu nanti. Sekarang mari kita bahas, mengapa kita sampai harus melakukan ini semua? Kalian tidak merasa ada yang aneh?"

Prameswari ikut duduk, dan akhirnya semua kembali duduk, saling memandang satu sama lain. Prameswari memandang Hien lembut. "Hien, jika kita tidak merasa aneh, kita tidak akan berpikir untuk meneliti ruangan ini ada kamera atau tidak. Kita itu cuma sama-sama penasaran, tetapi tidak cukup punya keberanian untuk bertanya. Iya, kan?"

Sanjona ikut melengkapi apa yang Prameswari ungkapkan. "Sebenarnya, aku yakin kita semua sudah merasa aneh sejak berada di ruang dekan dan melihat lima 'putra mahkota kerajaan' ada di sana." Sanjona menyebutkan kata putra mahkota dengan nada sarkas. Sebab mereka memang putra para milioner yang kebetulan sekolah di kampus yang sama dengan mereka. tentunya mereka adalah salah satu putra mahkota pewaris kekuasaan atau kerajaan bisnis orang tuanya.

Sanjona melanjutkan. "Situasi tambah aneh dan menimbulkan tanda tanya besar ketika muncul sembilan orang mentor pendamping untuk kita masing-masing. Menurut kalian, itu berlebihan ga sih?"

"Jelas berlebihan." Jawab Laksmi singkat.

"Nah. Itulah. Apalagi profil mentor pendamping kita seserem itu. Semuanya profesional pula. Aku bahkan curiga, mereka mungkin saja semacam CIA atau FBI atau datang dari badan intelijen mana gitu." Sanjona mulai meliarkan imajinasinya. Biasanya saat imajinasi Sanjona mulai liar, teman-temannya langsung meminta Sanjona untuk menulis puisi atau cerita pendek, agar imajinasinya tersalurkan. Tetapi kali ini, tidak seorangpun mengusulkan itu kepada Sanjona.

Sejenak ruangan menjadi sangat hening tanpa suara. Masing-masing sibuk dengan pikirannya. Belum sempat mereka melanjutkan diskusi, di luar terdengar sedikit kegaduhan.

"Apakah harus kita di karantina seperti ini sebelum berangkat?" Itu suara Edmond

"Sebenarnya tugas macam apa yang harus kita lakukan sehingga perlu mentor pendamping seperti kalian?" Suara ferhat yang dingin membahana menembus dinding dan menggema memantulakn suaranya yang ternyata bisa juga menggelegar saat marah.

"Bisakah kalian menjelaskan pada kami, untuk apa semua ini?" Gervaso sedikit lebih antai. Intonasinya datar, namun jelas mengandung perintah. Dia memang pandai mengendalikan situasi. Rasanya bakat politisi ayah Gervaso menurun padanya.

Enzo tidak terdengar suaranya sedikitpun. Tetapi para gadis yakin, Enzo juga berada di sana. Tanpa dikomando para gadis menutup rapat-rapat mulut mereka agar tidak bersuara. Rupanya, mereka akan berada di satu tempat tinggal bersama para 'putra mahkota' tersebut.

Sejenak di luar hening, kemudian terdengar suara berat yang mencoba menetralisir keadaaan. "Izinkan kami menjelaskan kepada kalian terkait tugas kami." Itu suara Geraldo, yang menyebut dirinya mantan Angkatan Udara, mentor dari Enzo.

Para gadis memasang telinga mereka baik-baik, sebeba mereka juga ingin tahu jawaban dari semua pertanyaan yang di lontarkan oleh para 'Putra Mahkota' tersebut. Dengan mengendap-endap, keempatnya melangkah perlahan mendekat ke pintu, dan menempelkan telinga mereka ke dinding kamar.

"Pertama. Kami ditugaskan untuk menjadi mentor pendamping kalian yang tidak ada hubungannya dengan tugas-tugas teknis kalian dalam proyek kampus. Kalian akan menerimanya saat di Turki, sebab mentor di Turkilah yang akan memberikan pengarahan terkait proyek tersebut." Geraldo diam sejenank, memberi kesempatan dirinya untuk menarik nafas.

"Kedua. Kami memiliki tugas menjaga kalian sekaligus melatih kegiatan kasual yang tidak berhubungan dengan tugas kalian dari kampus. Antara lain, berolahraga, keterampilan umum, keterampilan sebagai survival, dan sensitifitas yang lebih tinggi. Jadi nanti kami juga akan memiliki agenda yang harus kalian laksanakan saat tiba di Turki."

Kembali Geraldo --yang sepertinya mengambil posisi pemimpin seperti posisi Enzo yang menjadi pimpinan proyek tugas ini-- menjeda kalimatnya sebelum melanjutkan. Tidak ada suara terdengar, semua diam menunggu Geraldo melanjutkan kata-katanya.

"Ketiga. Jika ada diantara kalian yang membangkang, kami memiliki izin untuk memberikan kalian semacam kompensasi atau hukuman sampai kepada hukuman fisik."

Para gadis langsung terkejut dan berusaha menutup mulut mereka rapat-rapat agar tidak menjerit. Mereka yakin, di luar sana, para 'Putra Mahkota' itupun tidak kalah terkejutnya dengan mereka. Hanya saja mereka tidak bisa membayangkan, bagaimana para 'Putra Mahkota' tersebut menjalani saat-saat jika hukuman berlaku terhadap mereka. Para gadis sangat ingin melihat moment tersebut terjadi.