webnovel

Crazy Rich Squad : Dolmabache Gate

SINOPSIS "Jangan pernah bicara tentang arti cinta kepadaku. Seseorang yang tidak mengerti arti seni tidak pantas bicara tentang cinta. Dan kamu, adalah salah satunya." Prameswari terpaku, kalimat itu membuatnya sadar, bahwa selama ini, sikap kasar dan dingin yang ditunjukan Ferhat untuk dirinya, adalah luka masa lalu saat Ferhat hidup sebagai Aslan, yang telah digoreskan olehnya. Belum sempat Prameswari menjelaskan segalanya, Aslan telah menutup mata perlahan di pangkuannya sambil tersenggal seolah nafasnya akan berhenti. Tepat di saat Prameswari hendak mencabut belati tersebut, berharap masih sempat menyelamatkan Aslan dan menjelaskan semuanya, kesadarannya seperti berangsur hilang, dan tiba-tiba saja dirinya telah berada dalam pelukan seseorang yang paling dia benci di dunia ini. Ferhat. ~•••~ Prameswari adalah seorang siswi teladan dari desa kecil di Jawa Tengah, tepatnya Desa Bangsri Jepara yang mendapatkan beasiswa untuk meneruskan pendidikan di salah satu pusat mode dunia, yaitu kota Paris, negara Perancis. Keadaan membawanya pada perseteruan panjang dengan Ferhat, Asisten Dosen yang menjadi pembimbingnya. Ferhat memang selalu dingin dan cenderung sinis kepada wanita, tidak terkecuali kepada Prameswari. Meskipun demikian, Prameswari tidak perduli. Sampai saat mereka harus bekerjasama membuat tugas proyek yang membuat keduanya terpaksa pergi ke Istanbul Turki bersama-sama. Sebuah peristiwa supranatural membuat Prameswari tersedot dan mengalami kehidupan di masa lalu, yang membuatnya mengerti, mengapa Ferhat sangat membenci wanita, khususnya Prameswari. Prameswari yang menyadari bahwa Aslan dan Ferhat adalah jiwa yang sama dalam raga yang berbeda, serta hidup dalam waktu yang berbeda, membuatnya mengerti, mengapa Ferhat sangat membenci dirinya.

Risa Bluesaphier · História
Classificações insuficientes
24 Chs

19. Tangan Fatimah dan Angel Eyes

Dalam lamunannya, Prameswari meraba sebuah gantungan kunci pemberian ayahnya. Angan Prameswari melayang pada satu setengah setahun yang lalu.

Dulu, saat penerbangan pertama menuju Paris, Prameswari tidak sempat membuat foto-foto langit seperti keinginan ayahnya, sebab saat itu Prameswari belum memiliki ponsel. Prameswari mengingat moment bersama ayahnya, saat dirinya akan berangkat ke Paris.

"Tidak apa-apa, Mes. Ayah masih punya tabungan. Kamu perlu sebuah ponsel untuk menunjang aktivitasmu selama bersekolah di Paris." Ayahnya memang terbiasa memanggilnya Memes. Saat itu ayahnya sedang memaksa Prameswari untuk membeli ponsel.

"Ayah, setiap bulan, aku akan menerima uang beasiswa. Jadi kalau aku berhemat, dalam beberapa bulan aku pasti sudah akan mampu membeli ponsel dengan kamera yang canggih." Prameswari menghibur ayahnya. Dia tahu, bahwa ayahnya berhutang cukup banyak untuk memberinya bekal ke Paris. Ayahnya tidak mau Prameswari berangkat tanpa pegangan dan hanya mengandalkan sedikit uang transport dari universitas. Sementara uang saku dan kebutuhan lainnya baru akan Prameswari terima bulan depan.

"Tidak apa-apa, Mes. Ayah masih punya tabungan, cukup untuk membelikanmu sebuah ponsel. Ayah ingin kamu memotret langit dari jendela pesawat. Ayahmu ini Nak, ingin melihat gambar awan yang kamu lihat dengan matamu dari jendela pesawat."

Prameswari terharu, hampir saja dia menganggukkan kepala, namun bagi Prameswari dan keluarga, harga sebuah handphone dengan kamera cukup mahal. Dengan uang itu, ayahnya bisa menghidupi dan membiayai ongkos makan mereka sekeluarga selama sebulan. Jadi Prameswari menguatkan hatinya untuk menggeleng.

"Ayah, aku akan meminta tolong teman yang duduk di sebelahku untuk memotret awan dari jendela dengan ponselnya. Nanti aku akan memintanya untuk mengirimkan gambarnya melalui email. Dan aku akan mengirimnya kepadamu melalui ibu guru Fina." Prameswari menemukan solusi atas paksaan ayahnya.

Orang yang membantu Prameswari mendapatkan beasiswa dan selalu membimbingnya adalah ibu guru Fina. Jadi apapun terkait informasi pendidikan di Paris, Prameswari akan melaporkan kepada ibu guru Fina, untuk disampaikan kepada kedua orang tuanya, terutama ayahnya yang paling mengkhawatirkan dirinya.

Prameswari tahu, bahwa memotret awan hanyalah alasan ayahnya, agar dia mau dibelikan sebuah ponsel. Akhirnya ayahnya menyerah, dan hanya berpesan agar Prameswari menjaga kesehatannya saat jauh dari keluarga.

"Mes, kamu akan berada jauh dari keluarga. Ayahmu ini, juga ibu dan saudara-saudaramu, tidak akan menuntutmu untuk selalu menjadi yang nomor satu. Belajarlah serta berusahalah dengan sekuat tenaga, tetapi jangan pernah mendzolimi dirimu sendiri dengan mengabaikan kesehatanmu. Kalau kamu cape dan lelah, beristirahatlah. Jika merasa sakit maka berobatlah. Makan makanan bergizi, jangan terlalu berhemat. Sebab kalau kamu sakit, semua tidak ada artinya. Uangmu akan habis untuk berobat, dan kamu juga tidak bisa belajar untuk meraih gelarmu."

Prameswari terharu, akhirnya dia tidak lagi bisa membendung air matanya, lalu menangis dalam pelukan ayahnya. Pipinya menyentuh dada ayahnya yang keras karena hanya bersisa tulang berbalut kulit dilapisi oleh kain tipis kemeja lusuh milik ayahnya. Prameswari berjanji, kelak dirinya harus sukses, sehingga mampu membelikan pakaian yang layak untuk ayahnya, dan membuat ayah serta keluarganya bisa makan dengan gizi yang baik, sehingga tubuh mereka akan menjadi lebih berisi dan sehat.

Setelah beberapa bulan tinggal di Paris, Prameswari menghemat uang beasiswa, juga bekerja paruh waktu setelah kuliah selamam beberapa jam di sela-sela kesibukannya belajar. Akhirnya dia bisa membeli sebuah ponsel murah. Setelah liburan semester awal, Prameswari juga bekerja delapan jam sehari, sehingga dia memiliki lebih banyak tabungan, dia sudah bisa mengirimkan uang kepada ayahnya melalui salah satu pelajar di Paris yang asal Indonesia dan sudah menyelesaikan pendidikannya. Prameswari meminta ayahnya untuk membeli ponsel dengan kamera, juga menyarankan untuk membeli pakaian serta makanan enak untuk seluruh keluarga. Meskipun uang yang dikirimkan Prameswari tidak terlalu banyak untuk ukuran di Eropa, tetapi di Indonesia, uang itu memiliki nilai yang cukup besar.

Sekarang mereka sudah bisa terhubung satu sama lain dengan mudah, bahkan sesekali melakukan panggilan video call.

Seandainya saja ayahnya tahu, saat ini putrinya sedang berada satu pesawat dengan putra milioner dari berbagai negara, mungkin ayahnya mengira dia sedang berdongeng. Prameswari tersenyum dan berterima kasih pada Tuhan atas semua berkah serta karunia yang berlimpah untuknya. Saat di Turki, dia akan menyempatkan diri untuk video call dengan ayahnya, dan menunjukkan keindahan Turki pada ayahnya.

Bagi ayahnya, negara Turki adalah impian, ayahnya sering bilang, bahwa orang Turki itu gagah dan tampan, juga baik hati. Ayahnya mengira orang Turki semuanya seperti Tuan Hamed, turis yang pernah mengunjungi workshop ayahnya dan membagikan banyak oleh-oleh khas Turki, ayahnya mendapatkan sebuah gantungan kunci yang katanya disebut Tangan Fatimah dengan Angel Eyes yang akan menjaga dari perbuatan jahat. Dan saat ini, dalam penerbangan ekonomi rasa kelas satu, Prameswari meraba gantungan kunci yang diberikan Tuan Hamed kepada ayahnya, dan diberikan ayahnya kepada dirinya, dengan harapan, agar Tangan Fatimah dengan Angel Eyes itu menjaga putri kesayangannya saat jauh dari keluarga.

Saat dalam perjalanan Prameswari sudah mengirimkan chat pada ayahnya bahwa dia akan pergi ke suatu tempat dan akan melakukan video call dengan seluruh keluarga. Prameswari belum menginformasikan waktunya. Sebab dia juga memperkirakan bahwa akan tiba di Turki pada malam hari, dan agenda mereka saat tiba di Turki hanyalah check in, makan malam, dan beristirahat.

Jadi Prameswari sama sekali belum punya ide, kapan dia bisa melakukan video call dengan keluarganya.

Tadi ayahnya bertanya mengenai waktu melalui whatsapp, supaya seluruh keluarga stand by dan tidak ke mana-mana.

"Jam berapa, Nak?" Tanya ayahnya, dalam chat.

"Belum tahu ayah, mungkin besok pagi sekitar pukul tujuh atau delapan waktu di sini, atau sekitar pukul dua, mungkin pukul tiga sore waktu di Jepara."

"Iya, Nak. Nanti ayah akan bilang sama ibu dan adik-adikmu."

"Tetapi ini juga belum pasti ayah. Tidak apa-apa, tidak usah membuat semua orang jadi membatalkan kegiatannya. Nanti Memes akan sering-sering video call kalau Memes ada waktu ya. Ayah pasti suka kalau Memes tunjukkan tempatnya."

"Tempat apa, Nak?" Tanya ayahnya penasaran.

"Masih rahasia ayah." Jawab Prameswari, menggoda ayahnya.

Dan ayahnya mengirimkan emotikon menangis tersedu-sedu, membuat Prameswari tersenyum dan harus menahan tawanya agar tidak menarik perhatian semua orang di dalam bus saat keberangkatan menuju airport.

Ayahnya sudah pandai menggunakan emotikon untuk mengekspresikan emosinya dalam pembicaraan melalui whatsapp.

Pesawat sudah mulai berjalan dengan stabil, pramugari juga sudah menginformasikan boleh melepaskan sabuk pengaman, dan makanan mulai dibagikan. Prameswari tidak terkejut dengan makanan mewah yang disajikan di kelas ekonomi dalam kompartemennya. Dia sudah kehabisan stok untuk untuk terkejut. Dia memutuskan untuk tidak mau terlalu banyak terkejut lagi saat bersama para 'Putra Mahkota'.

Sambil mengelus gantungan kunci pemberian ayahnya, Prameswari memotret makanan yang disediakan oleh pramugari, lalu berjalan menuju jendela pesawat, dan mulai memotret awan dengan ponselnya.

"Ayah, suatu hari nanti, aku akan mengajakmu untuk mengunjungi Turki dan membeli gantungan kunci Tangan Fatimah dan Angel Eyes di sebuah toko di Turki. Doa dan cintamulah yang menjagaku selama ini, dan Tangan Fatimah serta Angel Eyes ini, hanya merupakan simbol yang selalu mengingatkanku, betapa besarnya cinta serta kasih sayangmu, sehingga membuatku merasa mampu melewati semuanya sejauh ini. Terima kasih, Ayah. Aku mencintaimu. Dan aku akan menjadi Tangan fatimah serta Angel Eyes bagi dirimu, serta seluruh keluarga, dengan dukungan doa darimu."