webnovel

Crazy Rich Squad : Dolmabache Gate

SINOPSIS "Jangan pernah bicara tentang arti cinta kepadaku. Seseorang yang tidak mengerti arti seni tidak pantas bicara tentang cinta. Dan kamu, adalah salah satunya." Prameswari terpaku, kalimat itu membuatnya sadar, bahwa selama ini, sikap kasar dan dingin yang ditunjukan Ferhat untuk dirinya, adalah luka masa lalu saat Ferhat hidup sebagai Aslan, yang telah digoreskan olehnya. Belum sempat Prameswari menjelaskan segalanya, Aslan telah menutup mata perlahan di pangkuannya sambil tersenggal seolah nafasnya akan berhenti. Tepat di saat Prameswari hendak mencabut belati tersebut, berharap masih sempat menyelamatkan Aslan dan menjelaskan semuanya, kesadarannya seperti berangsur hilang, dan tiba-tiba saja dirinya telah berada dalam pelukan seseorang yang paling dia benci di dunia ini. Ferhat. ~•••~ Prameswari adalah seorang siswi teladan dari desa kecil di Jawa Tengah, tepatnya Desa Bangsri Jepara yang mendapatkan beasiswa untuk meneruskan pendidikan di salah satu pusat mode dunia, yaitu kota Paris, negara Perancis. Keadaan membawanya pada perseteruan panjang dengan Ferhat, Asisten Dosen yang menjadi pembimbingnya. Ferhat memang selalu dingin dan cenderung sinis kepada wanita, tidak terkecuali kepada Prameswari. Meskipun demikian, Prameswari tidak perduli. Sampai saat mereka harus bekerjasama membuat tugas proyek yang membuat keduanya terpaksa pergi ke Istanbul Turki bersama-sama. Sebuah peristiwa supranatural membuat Prameswari tersedot dan mengalami kehidupan di masa lalu, yang membuatnya mengerti, mengapa Ferhat sangat membenci wanita, khususnya Prameswari. Prameswari yang menyadari bahwa Aslan dan Ferhat adalah jiwa yang sama dalam raga yang berbeda, serta hidup dalam waktu yang berbeda, membuatnya mengerti, mengapa Ferhat sangat membenci dirinya.

Risa Bluesaphier · História
Classificações insuficientes
24 Chs

10. Tragedi Meja Bilyar

Pintu kamar para gadis diketuk lembut dari luar. Para gadis yang sejak memasuki kamar sama sekali tidak keluar karena merasa tidak nyaman berada di luar, saling berpandangan. Saat mereka berempat bersama-sama, merek akan merasa kuat dan tenang. Namun ketika dipisahkan, rasanya kekuatan serta keyakinan diri mereka menguap entah ke mana.

Dalam situasi normal, ketukan di pintu tidak akan membuat para gadis terkejut. Namun kali ini situasinya berbeda. Bagaimanapun para gadis masih memiliki banyak pertanyaan yang belum terjawab. Selain itu, mereka tidak terbiasa berada dalam pantauan selama duapuluh empat jam seperti ini.

Laksmi yang paling berani diantara mereka, berjalan menuju pintu untuk membukakan pintu. Sesaat setelah Laksmi mebuka pintu, muncul wajah manis dokter Hannah yang tersenyum.

"Boleh aku masuk?" Tanya dokter Hannah lembut.

"Ketiga gadis yang sedang duduk di sofa serempak menjawab. "Silahkan masuk dokter Hannah."

Dengan anggun dokter Hannah masuk. Meskipun dia seorang dokter, saat ini sama sekali tidak nampak bahwa dirinya seorang dokter. Outfit jeans yang sobek di lutut, serta kaos putih polos yang sederhana dan rambut pirangnya yang di kuncir ekor kuda, lebih membuat dirinya seperti mahasiswi semester akhir dibandingkan sebagai seorang dokter.

"Apakah aku mengganggu kalian?"

Serempak keempat gadis itu menggeleng. Dokter Hannah masih tersenyum dan mengambil tempat duduk diantara para gadis.

"Kenapa kalian tidak keluar sejak tadi?" Tanya dokter Hannah lembut. Di luar ada banyak tempat yang bisa kalian nikmati. Villa ini memiliki kolam renang juga loh." Dokter Hannah mengedipkan matanya mencoba memancing antusiasme para gadis.

Prameswari yang memang suka berenang langsung berbinar. Dia teringat masa kecilnya di Jepara, desanya dekat dengan pantai, dan ayahnya sering membawa dirinya ke pulau Karimun Jawa, sebuah pulau yang indah dan memiliki pemandangan eksotis. Prameswari bahkan pernah berenang bersama bayi hiu dan manta. Sama sekali tidak ada rasa takut saat Prameswari berenang bersama bayi-bayi hiu yang lucu. Saat itu, Prameswari juga belum paham bahwa hiu adalah salah satu predator yang berbahaya. Namun bayi-bayi hiu yang berada di dalam penangkaran merupakan jenis hiu yang tidak berbahaya, maka banyak turis yang datang untuk berenang bersama mereka.

"Para pria sudah mengacak-acak semua isi villa ini, mereka berenang, bermain basket, bahkan sudah menghancurkan sebuah meja bilyar juga, haha."

Para gadis terkejut mendengar penjelasan dokter Hannah, namun dokter Hannah seolah tidak melihat keterkejutan para gadis. Dia dengan santainya meneruskan.

"Sebuah bola bilyar terpental dari meja dan mengenai pundak Jenny." Para gadis ingat siapa Jenny, pegulat profesional, mentor dari Sanjona. "Kalian bisa bayangkan kelanjutan ceritanya, si pelaku, yaitu Gervaso, harus mau bergulat di atas meja bilyar melawan Jenny sebagai hukumannya. Walhasil, jebol sudah meja bilyarnya. Dan Gervaso harus mengganti biaya kerusakan, selain banyak lebam di sekujur tubuhnya."

Prameswari terbelalak. "Lebam? Lalu bagaimana kondisi Gervaso sekarang?" Tanya Prameswari khawatir. Dia memang terbiasa untuk selalu menolong siapapun yangs edang kesussahan. Meskipun keluarga mereka hidup sederhana, namun orang tuanya selalu mengajarkan untuk berempati terhadap penderitaan orang lain.

"Dia baik-baik saja, jangan khawatir, hanya sedikit ngilu-ngilu yang masih tersisa. Tadi aku sudah memberinya antibiotik dan peredsa rasa nyeri." Hannah memberi penjelasan dengan santai.

"Uhmmm, aku punya beberapa obat gosok tradisional yang aku bawa dari negaraku, bolehkah aku memberikannya kepada Gervaso?" Tanya Prameswari ragu-ragu.

Dokter Hannah yang sudah mendengar tentang kerokan dari Berta, mengerling pada Prameswari. Dia sedikit tertarik dengan kebudayaan herbal Indonesia yang sangat kaya. Banyak obat-obatan tradisional di Indonesia yang dia tahu cukup ampuh. Jadi Hannah tidak ragu untuk mempersilahkan Prameswari membaginya dengan yang lain. Ini juga merupakan test empati antar sesama manusia yang dilakukan secara random, dan akan menjadi catatan bagi Hannah dalam laporannya.

"Boleh saja. Silahkan. Aku akan mengantarkan kamu ke ruangan Gervaso."

Prameswari mengangguk. Jika terkait menolong sesama, Prameswari akan melupakan perrseteruannya. Yang ada di dalam otaknya hanyalah bagaimana caranya bisa menolong orang yang sedang dalam kesulitan atau musibah semampunya.

"Bolehkan aku ikut?" Sanjona meminta izin untuk ikut, sebab Gervaso nantinya adalah parter satu tim dalam menyelesaikan tugas.

"Ya, tentu saja boleh." Hannah memberikan izin.

Laksmi dan Hien saling bertatapan. "Kalau kami ikut juga, apakah bisa?" Tanya Hien ragu-ragu. Baginya akan lebih nyaman jika mereka selalu bersama-sama. Meskipun jika lKasmi tetap berada di ruangan bersama dirinya, namun jika mereka bisa bersama-sama keluar, mengapa tidak?

Hannah tersenyum. "Tentu saja boleh, cantik. Kalian semua boleh datang menengok Gervaso."

Prameswari segera mencari obat gosok yang biasa dia pakai untuk membaluri tubuhnya saat nyeri otot atau terasa terlalu lelah. Dia membawa satu botol kecil ukuran enampuluh mili. Dia masih memiliki beberapa stock di dalam kopernya, juga di apartemennya. Dia memang mengutamankan membawa banyak obat-obatan tradisional dari negaranya saat berangkat ke luar negri, dengan alasan dia sudah terbiasa dengan ramuan tradisional. Alasan yang paling utama, tentu saja dia tidak mau membuang-buang uang untuk berobat di luar negri yang bisa dibilang cukup mahal bagi dirinya.

Mereka beriringan menuju ruangan Gervaso. Berbeda dengan para gadis yang memilih satu kamar untuk ditempati bersama. Para pria memilih kamar mereka masing-masing. Sebab mereka memang terbiasa dengan banyak privacy saat tidur. Mereka tidak terbiasa tidur bersama-sama dengan orang lain, kecuali saat camping.

Gervaso yang sedang meringis merasakan ngilu di sekujur tubuhnya tampak dikelilingi oleh sahabat-sahabatnya. Semua mata memandang ketika rombongan para gadis bersama dokter Hannah memasuki ruangan. Di belakang mereka ada Geraldo, Lisa, Jenny dan Arthur yang ikut masuk.

"Hallo semuanya." Dokter Hannah menyapa dengan ramah. "Bagaimana keadaanmu Gervaso?" Hannah berdiri di samping pembaringan, di belakangnya berdiri Prameswari yang sedikit menyembunyikan tubuhnya dari pandangan Gervaso.

"Aku, uhmm... tidak terlalu buruk. Hanya sedikit pegal dan ngilu saja. Lain kali aku perlu latihan supaya tubuhku lebih siap jika mendapatkan hukuman serupa." Gervaso yang tadi tampak mengeluh di hadapan sahabat-sahabatnya, kali ini justru tersenyum lebar seolah-olah dirinya sehat dan baik-baiksaja. Bagaimanapun, kehadiran para gadis telah menekan egonya untuk menyembunyikan rasa sakit. Meskipun diantara mereka terjadi perseteruan, lebih tepatnya perseteruan Ferhat dan Prameswari, sementara yang lainnya hanya terseret dalam persetruan mereka.

Gengsi pria dihadapan gadis untuk selalu terlihat baik-baik saja adalah sesuatu yang normal dan merupakan insting mendasar. Arnold yang seorang psikolog dan merupakan mentor bagi Ferhat, saat ini hanya melihat dari kejauhan membuat catatan untuk dirinya sendiri. Membiarkan semuanya berproses secara alami. Beberapa hal telah menjadi catatan bagi Arnold untuk melengkapi laporannya.

"Gervaso, aku senang kalau kondisimu baik-baik saja. Bisa aku melihat memarmu?" Dokter Hannah bicara dengan nada mengalun, Gervaso seperti terhipnotis membuka pakaian dan menunjukan bagian pungungnya yang memiliki memar ungu kebiruan. Di sini tampak profesionalisme dokter Hannah saat menghadapi pasien.

"Hmm, aku rasa ini akan segera sembuh, hanya saja rasa ngilunya mungkin akan bertahan selama beberapa hari. Jika kamu tidak keberatan, Prameswari menawarkan ramuan tradisional dari negaranya di Indonesia untuk dibalurkan ke tubuhmu. Menurutnya, ramuan itu akan membuat rasa sakitnya hilang lebih cepat. Bagaimana?"

Ferhat yang pada dasarnya memang tidak menyukai Prameswari langsung protes. "Dokter, apakah Anda yakin, kalau obat tersebut tidak akan membuat Gervaso semakin parah?"

Kecurigaan Ferhat membuat Prameswari mendelik ke arah Ferhat. Dia ingin sekali membalas perkataan Ferhat, namun dia ingat, peristiwa terakhir dia menentang Ferhat berakhir seperti ini. Jadi Prameswari menahan diri untuk tidak terpengaruh. Dengan mengatup bibirnya erat-erat, dan mengepalkan tinjunya, Prameswari berusaha bertahan agar tidak tersulut emosinya.

Segala reaksi yang terjadi di dalam ruangan tidak luput sedikitpun dari pengamatan Arthur. Dia mencatat baik-baik dalam memori dan dibantu oleh ipadnya juga.