webnovel

Bab 1 | Minta Adik, Ya?

Antariksa sedang berkutat dengan tabung sinar katodanya. Dia masih saja tertarik dengan perkembangan LED yang mandek sejak beberapa tahun terakhir. Heran dia, kenapa ilmuwan di Amerika yang banyak mengejar profit itu tak segera meluncurkan teknologi mutakhir paling baru. Dia tak sabar untuk melihat.

Baginya, masih banyak waktu untuk belajar, sekarang biar dia bersenang-senang dulu dengan tabung sinar katode paling sederhana yang dia pasang ulang pada televisi 14 inchi hitam putih yang dia beli di Mangga Dua.

Jam kelima dan keenam kosong tadi, sudah dua jam terakhir dia menghabiskan waktu di laboratorium. Sekarang perutnya melilit. Sudah waktunya makan siang. Tapi dia masih sayang meninggalkan pekerjaannya yang maha mulia ini. Akhirnya, dia tetap lebih memilih berkutat pada triode buatannya. Geeky.

Baru beberapa detik, fokusnya buyar lagi. Bukan karena perutnya yang tiba-tiba bunyi, tapi suara pintu yang terbuka. Antariksa sudah menduga siapa yang datang, jadi dia tak mau repot-repot mengangkat kepala.

"Halo, aku ganggu nggak?"

Antariksa tak mau menjawab. Perempuan itu, iya, yang baru masuk tadi perempuan. Aaralyn namanya.

Merasa tak akan mendapat tanggapan, Alyn mengulurkan roti dan minuman kotak kepada Antariksa. Tak disambut juga.

"Kamu belum makan siang 'kan?" tanya Alyn yang tak mendapat tanggapan dari Antariksa sama sekali.

"Yaudah, aku nggak mau ganggu kamu. Tapi aku pengen cerita nggapapa 'kan?" jeda sebentar, "aku kesel banget hari ini. Hari pertama sampai ketiga MOS kacau diacak-acak sama cewek tengil nggak tahu aturan. Cewek itu nggak ada hormat-hormatnya sama senior. Udah bagus sekarang MOS cuma seminar, baca puisi, pensi. Tetap aja banyak nyolotnya. Kamu tahu nggak sih, dia itu dari kemaren nyari gara-gara sama anak-anak terus. Di suruh baca puisi malah niruin suara kodok. Dihukum suruh nyanyi Mars SMA malah bilang nggak hapal. Diajak seru-seruan suruh pura-pura nembak si Seffan malah ditembak beneran pake ketapel. Nggak tahu nemu dimana. Jidatnya Seffan sampai benjol, tahu."

Biar Antariksa menghitung, rasanya ini hari ke 172 perempuan ini mencoba mengajak dia bicara. Seingatnya juga, yang ditanggapi hanya 6 kali, kalau anggukan bisa dibilang sebagai tanggapan. Sepertinya sih, ingatan Antariksa jarang meleset.

"Yaudah, kamu makan ya, aku balik ke lapangan. Sebentar lagi istirahat selesai. Kamu jangan lupa masuk kelas. Aku mau kasih pelajaran dulu sama si Aurora tengil itu."

Tanggapan Antariksa ketujuh, kernyitan di dahi.

***

"Lo lagi ... lo lagi. Nggak ada capek-capeknya ya lo bikin senior lo dongkol. Sok superior banget sih lo jadi cewek. Mentang-mentang di sini nggak ada hukuman fisik trus lo bisa seenaknya? Apasih yang lo kejar? Lo butuh tenar? Di sini orang biasa make otaknya, bukan kelakuan songongnya."

Gatal sekali kuping Aurora mendengar perempuan cerewet ini berbicara. Hanya karna telat hari pertama kenapa jadi panjang urusan begini sih? Salahin bundanya yang masih menyuruh dia naik angkot dan bikin dia terlambat. Bundanya lupa apa sudah ada gojek, begonya si Aurora ini ngikutin aja lagi. Mana dari turunan angkot ke sekolahnya lumayan banget jauhnya kalau jalan kaki. Ya gimana nggak telat.

Aurora masih diam. Belajar dari kesalahan kalau menjawab cuma bakal diomelin lagi.

"Liat gue kalau diajak ngomong!" bentak perempuan itu.

Aurora mengangkat kepalanya. Hih, nggak paham banget sih kalau Jakarta kaya neraka bocor sekarang. Panas! Buruan apa!

"Lo kalau cuma niat cari tenar, mending lo cabut dari sini. Saran gratis!"

Lebay betul cewek ini. Baru jadi ketua OSIS aja belagu!

"Lyn, dia anak akselerasi. Jadi gue rasa sih nggak cuma cari tenar," sahut salah satu senior cowok. Info saja, Aurora sekarang sedang dikelilingi tujuh sampai sepuluh orang seniornya.

"Oh lo anak akselerasi? Pantes belagu!"

Suka-suka lo aja dah, Nyet.

Kesal sekali Aurora, dia paling tak suka diintimidasi dan kepanasan.

"Hukuman apa nih yang mau kita kasih ke nih cewek? Biar kapok suruh lari keliling lapangan aja kali ya?"

"Iya buruan dah, capek gue mau balik. Satu orang doang bikin kerjaan aja."

Lalu seruan-seruan serupa terus dilontarkan.

"Lo denger kan senior lo pada kesel sama lo? Gue nggak akan hukum lo lari keliling lapangan, terlalu sepele buat lo. Buat harga diri lo yang ketinggian, lo sekarang ungkapin penyesalan lo ke kakak kelas lo dan urusan kita selesai."

Lalu para senior itu mundur beberapa langkah dan memberi ruang pada Aurora untuk berbicara.

Dengarkan baik-baik apa yang akan Aurora katakan.

"Saya Aurora. Saya menyesal karena gagal menonton konser Sam Tsui di Indonesia untuk yang ketiga kalinya. Ibu saya tidak memberi izin. Katanya, takut saya keinjek-injek di sana. Saya rasa alasan sebenarnya karena Ibu saya pelit. Saya minta beli kamera vintage Yasica Mat 124 G juga tidak dikasih. Katanya mubazir. Benar kan, ibu saya memang pelit. Oh iya, saya juga menyesal bilang ibu saya pelit. Kalau beliau tahu, uang jajan saya bisa dipotong. Tolong, jangan kasih tahu ibu saya. Sekian. Terima kasih."

Wajah-wajah yang mengelilingi Aurora tadi melongo. Antara takjub dan dongkol setengah mati. Tak menunggu lama, tiga laki-laki lari dan kembali dengan bunga kertas di tangannya. Lalu mereka mendekat ke arah Aurora dan mengulurkan bunga itu padanya.

"Gue nggak kalah ganteng dari Sam Tsui kan?"

"Gue ahli banget fotografi, nanti gue ajak hunting foto."

"Jadian sama gue ya, nanti duit jajan lo gue tambahin."

***

Setelah insiden di lapangan basket tadi, Aurora masih mendongkol. Ujung-ujungnya dia kena hukuman lari keliling lapangan 3 kali. Daripada digoda-goda sama senior cowoknya, mending yang waras ngalah. Dia ngaku salah terus menghukum diri sendiri lari keliling lapangan. Siang hari. Jakarta. Bayangkan sendiri nerakanya seperti apa.

Alhasil, sampai rumah keringat segede-gede buah kedondong masih lulur di wajahnya.

"Assalamu'alaikum, Bun, aku udah pulang."

Lalu Aurora menghempaskan diri di sofa dan menikmati semriwing hawa AC.

Bunda datang dari arah dapur dan geleng-geleng liat kelakuan putri bungsunya. "Dek, kamu kalau pulang lansung ganti baju sama cuci muka sana. Nggak ada bagus-bagusnya udara Jakarta ini."

"Ya ampun bentar ya Bun, Aku napas dulu. Lelah sumpah." Tiba-tiba Aurora terpikir sesuatu, "Bun, bikinin es doger dong."

"Es doger? Ada-ada aja kamu ih. Minum air putih sana, jangan minum es. Lagian dapet tapai dari mana mau bikin es doger? Nggak ada es serutnya juga. Nanti Bunda bikinin es lidah buaya aja."

"Sayang sama Bunda."

"Gombal. Udah sana masuk kamar, ganti baju trus salat. Trus turun bantuin Bunda masak."

"Nggak ada bobok siang?"

"Tiga puluh menit aja."

"Sip, Bos! Eh Bun, si mas udah pulang?"

"Udah itu di perpusakaan."

"Nggak ngerti lagi sama satu manusia itu. Apa enaknya pula pantengin buku?"

"Iya ya, Bunda juga suka sebel sama Ayah. Buku aja terus yang dipegang."

"Ish, jadi Ayah harus sering pegang Bunda gitu?"

"Ih, kok kamu ngajarin Bunda yang enggak-enggak sih, Dek?"

"Lah kok aku sih?"

"Lha itu tadi pegang-pegang?"

"Yee. Nggak bener nih ngomong sama Bunda. Aku salah terus. Adek ke atas ya, Bun. Sono dah sono telepon si babe. Begitu amat mukanya. Inget umur, apa."

"Udah ih sana ke atas. Jangan nunda salat. Udah hampir habis waktunya."

Aurora sudah bersiap kabur. Saat di tangga ketiga, "Bun ...," panggil Aurora lagi melihat bundanya sudah asyik pegang ponsel.

"Ya, Dek?"

"Nggak mau bikinin aku adik? Kumaulah adik cowok."

***

"Udah makan lo, An?" tanya Aurora saat mendapati Antariksa sedang bersender di cushion tak lupa dengan aji pamungkasnya. Kali ini, Physic Philosophy and Theology. Aurora harus menahan diri sekuat tenaga untuk tak merampas buku itu dan membuangnya ke kolam renang di bawahnya.

"Udah."

"An, temen-temen lo nyebelin bener sih."

"Yang mana?"

"Tuh pengurus OSIS, pada tengil semua."

"Nggak pernah ngobrol sama mereka."

"Ya ya ya gue tahu, lo kan gaulnya sama anak klub matematika, fisika, astronomi."

Aurora memainkan tangannya di udara sementara otaknya sibuk berpikir, "An, nanti kalau gue nggak betah di sekolah lo gimana?"

"Lo takut sama anak OSIS?"

"Enak aja. Gue cuma males sama peraturannya. Siswa kok kaya tahanan perang."

"Cuma berlaku buat yang otaknya kriminal kaya lo."

"An...."

"Setiap lo dateng, kinerja otak gue menurun."

"Asem!"

"Lo bikin ulah di MOS?" tanya Antariksa tanpa menanggapi umpatan adiknya.

"Peduli juga lo sama gue?"

Antariksa ingat apa yang dikatakan Alyn tadi, yang katanya ada cewek tengil tukang rusuh. Dipikir-pikir, Aurora ini kurang kerjaan juga. Belum juga jadi siswa, sudah berulah. Lihat saja sekarang, dia sudah kesal karena salah mengartikan pertanyaan Antariksa. Jadi orang kok emosional bener.

"Asal nggak ganggu gue, gue nggak peduli."

"Kampret bener lo. Seneng kan lo muka kita nggak mirip?"

"Jadi lo kenapa di sekolah?"

"Alah basilah, penting amat bahas gue." Aurora sensitif sekali. Sepertinya dia masih saja kesal kejadian di sekolah tadi. Senioritas apalah pentingnya?

Tak menghiraukan kakaknya yang sudah lepas dari buku, dia justru menyalakan iMac di depannya dan mulai menggerakkan mouse main The Sims. Games yang tak pernah bikin dia bosan. Hasilnya? Perpustakaan ini, hasil kreasinya, lalu dia merengek pada ayahnya untuk dibuatkan perpustakaan outdoor yang bukunya di pasang di langit-langit sesuai rancangannya. Katanya, biar ada perjuangan nyari bukunya. Biar pakai tangga portable juga, perjuangannya berasa sekali. Nanti pasti bukunya serius dibaca.

Pintar sekali cari alasan, Aurora saja, belum tentu sebulan sekali pegang buku. Paling ke sini ya cuma main games atau nonton anime.

Tak ada LED TV atau console game di sini. Mana mau ayahnya membelikan untuknya. Bisa-bisa jadi tarzan di rumahnya sendiri si Aurora.

Lama tak ada yang berbicara, Aurora melirik Antariksa yang sudah kembali sibuk pada bacaannya. Beneran basa-basi tadi?

"Jawab aja, gue dengerin," kata Antariksa tiba-tiba.

"Gue kesel sama ketua OSIS-nya. Sok bener, najislah."

"Udah setahun balik ke sini, omongan lo belum bener juga."

"Komentar mulu lo elah. Lo kenal nggak sama ketua OSIS-nya? Malesin banget nggak sih, namanya mirip gue, An. Untung dipanggilnya Alyn. Coba kalo Ara. Gue minta ganti nama langsung."

Mendengar nama itu, ada sinyal yang masuk ke otak Antariksa. Perempuan itu.

"Gue nggak kenal."

"Tapi tahu 'kan pasti?"

"Hmm, tahu doang."

"Kenapa nggak lo aja yang jadi ketua OSIS sih An?"

"Males."

"Belagu!" Aurora mengulas kejadian tiga hari ini di otaknya. Intinya cuma satu, dia kesal sekali pada si Alyn-Alyn ini.

"Lo nggak naksir dia An?" tanya Aurora. Dia ingat betapa cowok-cowok di angkatannya banyak yang membicarakan dia. Bidadari turun dari surgalah, titisan dewilah. Basi.

"Nggak ada waktu."

"Anjir, lo belagu kaya gini siapa yang ngajarin sih?"

"Lo survive yang bener di sana, anak-anaknya kompetitif banget. Apalagi akselerasi."

"Ya, walaupun nggak secerdas lo, bisalah gue kalo cuma masih bernyawa ngelewatin SMA nista ini."

"Dapet duit darimana lo?"

"Hah?"

"Jatah lo bulan ini abis gara-gara dipotong bunda 'kan?"

"Hahahaha ada aja."

"Tunggu aja sampai bunda curiga."

"Sialan lo. Jangan lah, gue mau beli kamera nih. Heh! Kita 'kan lagi bahas si Alyn."

"Penting apa?"

Aurora mengedikkan bahu. Iya juga, apa pentingnya bahas Alyn ini. Tapi tetap saja dia masih kesal. Tiba-tiba satu pemikiran muncul di otaknya yang licik, "Mas ...."

"Jangan aneh-aneh lo."

"Gue kesel banget sama dia seriusan."

"Jangan aneh-aneh gue bilang."

"Kalau gue nyalon ketua OSIS gimana?"

***

Ini yang sangat amat Aurora syukuri dari keluarganya, malam hari setelah makan malam, mereka berempat selalu berkumpul. Walaupun cuma sebentar, seringnya juga bikin mules karena ayah dan bundanya umbar kemesraan, tapi Aurora tak pernah tak suka. Dia sangat menikmatinya.

Bagi keluarganya, yang punya televisi hanya sebagai formalitas, saling bercerita dan bertukar pikiran lebih mengasyikkan. Itulah kenapa tak ada yang tak suka dengan ritual unik mereka berempat.

"Gimana tadi di sekolah Dek?" tanya ayah pada Aurora.

"Ayah kok ganteng banget sih?" balas Aurora tak nyambung.

"Ada maunya nih anak," bunda ikutan menyahut.

Aurora mencibir omongan bundanya, "Suudzon wae ih sama anak."

"Habis centil banget kamu sama ayah."

"Biarin apa, ayah 'kan milik bersama."

Seperti biasa juga, Antariksa dan ayah seringnya hanya menjadi pendengar celotehan perempuan-perempuan kesayangan mereka ini.

"Kamu nggak naksir sama seniormu 'kan?"

"Lah? Kenapa jadi ke sana?"

"Jawab aja."

"Enggak ih, Bunda apa deh."

"Kalau yang naksir kamu ada?"

"Tahu ah, penting amat," tukas Aurora.

"Kasihan bener sih kamu, cantik-cantik tapi nggak ada yang naksir."

"Nanti kalau aku naksir orang, Bunda senewen lagi. Males amat dibawelin."

"Kamu tuh, anak baru masuk sekolah diajak bahas beginian. Bahas yang manfaat aja," ingat Ayah.

"Hehehe..." bunda cengengesan.

Aurora tak membayangkan akan seperti apa masa SMA-nya. Dulu saat SMP, dia dua tahun di Yogya bersama eyangnya. Alasannya klasik, dia kesal dengan Jakarta dan di sana ada sepupunya, Anika. Juga malas ketemu Antariksa yang masih tak punya banyak kosa kata.

Alasan yang terakhir adalah alasan yang sebenar-benarnya alasan.

Tapi, akhirnya dia kembali. Baginya, tetap tak ada tempat yang lebih nyaman selain di tengah ayah, ibu dan kakaknya. Ada bundanya yang jago ngomel tapi masakannya enak. Ada ayah yang sering sibuk tapi ganteng dan banyak duitnya. Ada Antariksa, saudara kembarnya yang pintar suka ngemil buku tapi introvert.

"Ayah, sini Adek bisikin," kata Aurora pada ayahnya. Dia julurkan sebentar lidahnya pada bundanya.

Diam sebentar.

"Bun, serius? Kok dari dulu kalau Ayah yang minta dicuekin?"

"Apasih?" tanya bunda curiga.

"Aurora minta adik ya Sayang ya?" tanya ayah pada Aurora. Yang ditanya hanya mengangguk-angguk polos. Antariksa cuma geleng-geleng kepala.

Bunda mukanya sudah tak karuan menahan omelan.

***