webnovel

COLORFUL

Hitam dan putih Hidup ini hanyalah kehampaan Bagaimana cara terbebas dari kehidupan yang suram ini? Apakah dengan melakukan hal yang diinginkan dapat membuat perasaan menjadi lebih baik? Bagaimana cara mengembalikan warna yang telah pudar? Tak ada cara lain selain mewarnainya. Lalu bagaimana cara mewarnai kehidupan yang telah pudar?

RokuZa · Adolescente
Classificações insuficientes
8 Chs

4

Manusia adalah makhluk sosial. Itulah yang tertanam di otak kita selama ini. Secara tak sadar, manusia akan selalu membentuk kelompok dengan mereka yang memiliki jalan pikir yang sejalan. Jika ada orang yang tak memiliki kesesuaian dengan mereka, maka ia akan disisihkan. Lantas bagaimana nasib orang yang tersisihkan itu? Ia akan membentuk kelompok dengan mereka yang sama sama tersisihkan. Bagaimana jika ia tidak diterima pula di kelompok orang yang tersisihkan? Apakah ia gagal hidup sebagai makhluk sosial?

Pagi di hari Kamis. Gerimis yang menetes membuat udara lebih sejuk. Suara dari lembaran seng yang menutupi koridor membuat suasana menjadi tenang hampir sepi, gemericik hujan yang dikeluarkan merelaksasikan pikiran. Tak ada lagi suara bising di dalam kelas. Sekarang, pak asep tidak akan hadir untuk menghadiri rapat guru. Zen diminta untuk membuat kelompok belajar untuk mengerjakan tugas kelompok. Zen dan wakil nya yakni Silvia berdiri di depan kelas. Semuanya menatap mereka berdua kecuali Rena. Seperti biasa, Rena tidur di bangkunya. Dengan cuaca yang sangat mendukung ini bagaimana mungkin ia tidak menikmatinya. Tubuhnya dibalut sweater tanpa perlu khawatir ada orang yang menyuruh untuk melepasnya.

Prok Prok! Zen menepuk tangannya menarik perhatian seisi kelas. Tetapi Rena tak mengindahkannya.

"Silvia, bisa tolong bangunin Rena?" pinta Zen.

Silvia beranjak mendekati Rena. Setelah berada di dekatnya, ia hanya menekan nekan tangan yang di gunakan sebagai bantal oleh Rena sambil berbisik. Masih tak mempan juga, Silvia lalu menggoyang tubuh Rena pelan pelan. Akhirnya dia terbangun.

Wajahnya sekarang sudah terlihat jelas, kantung mata hampir terbentuk di wajahnya. Nampaknya ia begadang semalaman.

"Baiklah, seperti kata pak Asep tadi, sekarang kita akan membuat kelompok belajar. Agar adil, silakan tulis nama kalian di secarik kertas. Nanti akan kami ambil satu satu."

Semuanya mulai bergerak sesuai arahan, beberapa orang ada yang meminta pada teman sebangkunya. Rena dengan lemas lesu merobek kertas dari buku bagian belakang lalu menulis namanya.

Setelah semuanya selesai menulis, Zen dan Silvia mengambil kertas nama itu satu persatu dengan mendekati bangkunya. Zen yang menagih kertas lalu Silvia menyimpan kertas itu ke dalam kaleng bekas.

Giliran Rena tiba. Zen dan Silvia membawa kaleng yang sudah hampir terisi penuh itu mendekati Rena.

"Oi! Cepetan." Ucap Zen dengan suara yang agak dinaikkan. Tanpa disadari oleh Rena, ia sudah ada di sampingnya.

Rena baru menulis dua huruf, pantas saja Zen kesal. Sesaat setelah Rena selesai mengeja ke empat huruf pada namanya, Zen langsung merebut kertas itu dengan tangan kirinya, setelah itu ia pindahkan ke tangan kanan.

"Ini sekalian punyaku." Zen memberikan dua gulungan kertas nama pada Silvia

Mereka berdua pun kembali kedepan setelah semua nama telah terkumpul. Total penghuni kelas adalah 35 orang, berarti dengan tujuh kelompok dengan isi lima orang harusnya cukup.

Sekretaris pun maju kedepan dengan membawa spidol.

"Kelompok pertama. Andi, Wulan…" Zen mengambil kertas lalu menyebutkan nama yang tertulis disana.

"Kelompok kedua…"

"Kelompok ketiga."

Zen mengambil secarik kertas.

"Andhika."

Selanjutnya Silvia yang mengambil kertas.

"Zen."

Sekarang Kembali giliran Zen untuk mengambil kertas. Ia tersenyum sedikit ketika hendak mengambilnya.

"Rena." Setelah menyebut namanya, Zen menatap ke arah Rena dengan wajah puas.

Selanjutnya Silvia mengambil kertas itu.

"Aku!" Ternyata dia mengambil kertas miliknya sendiri.

Sekarang Zen kembali mengambil kertas.

"Reza."

"Kelompok 4... 5... 6... 7..."

"Oke, apa ada yang belum kesebut? Kayaknya gak ada. Kalau begitu silakan berkumpul dengan kelompoknya masing masing."

Kelompok lain telah berkumpul, hanya kelompok 3 yang belum berkumpul semua. Masalahnya hanya satu orang, Rena. Ia nampaknya kembali tertidur sedari tadi setelah ia mengumpulkan kertas nama. Bisa ditebak karena dari tadi ia menyembunyikan wajahnyya dibalik meja. Sudah pasti Rena tidak menyimak saat pembagian kelompok.

"Kenapa gua sekelompok sama dia?" Keluh Reza sambil mengetuk ngetuk pulpen diatas meja yang sudah rapatkan untuk sekelompok.

"Mungkin lo lagi nggak hoki." Balas Dhika

"Lo juga sama." Reza mengembalikan kata katanya. Mereka berdua pun tertawa.

"Zen, mending biarin aja dia. Dari tahun kemaren juga gitu mulu. Gua aja sampe repot ngurusinnya." Ucap Dhika.

"Hmm, repot yahh, perasaan tahun kemaren gak ada yang ngurusin kelas." Pancing Zen.

"KM nya gua, woy!" Dhika membalas dengan nada tinggi meskipun diakhiri tawa.

"Gitukah? Reza, emangnya tahun kemaren si Dhika jadi KM?" Tanya Zen.

"Entah, gua gak inget. Si Dhika bukan KM, kayaknya dia cuma tempat ngumpulin tugas. Tapi bangsatnya malah dia salin tugasnya." Jawab Reza dengan bercanda meskipun sesuai kenyataan.

"Lo mau kemana?" Tanya Dhika.

"Ngebangunin dia." Jawab Zen sambil menunjuk ke arah Rena.

Zen pun mendekati bangku Rena. Jika dilihat dari dekat, Rena benar benar tidur pulas. Ia sudah tidak peduli dengan penampilannya. Zen menoleh kearah kedua temannya, mereka berdua memeragakan ulekan dengan tangan yang dikepal lalu di putar putar diatas meja. Mereka memberi isyarat untuk menjitaknya.

Zen menghiraukan isyarat mereka berdua. Ia menepuk nepuk pundak Rena sambil menyebut namanya.

"Rena, bangun, woi…"

"Gua gak tidur." Rena mengibas ngibaskan lengannya menghindari tepukkan Zen.

Rena pun mengangkat kepalanya. Kali ini tidurnya tidak bisa tenang seperti biasanya. Zen pun kembali berkumpul dengan kelompoknya, dan Rena secara terpaksa hanya mengikuti perkataan Zen.

"Selamat pagi putri tidur, apakah anda sudah bertemu pangeran di mimpimu?" Reza menggodanya.

"Tentu saja sudah, bahkan pangerannya ada disini." Dhika membalas godaan Reza sambil melihat kearah Zen.

Rena menghiraukan candaan mereka. Otaknya belum siap untuk mencerna lelucon garing.

Setelah mereka berkumpul, Zen lalu mengumumkan tugas yang diberikan. Yang benar benar mengerjakan hanya Zen dan Silvia. Reza dan Dhika hanya menyalin dan Rena hanya melamun sambil menyimpan kepalanya di atas meja. Sesekali ia bersenandung, entah lagu apa yang ia nyanyikan, lantunan nada yang terdengar seharusnya merdu meskipun Rena tak pandai menyanyikannya.

Kerja kelompok berlangsung hingga jam istirahat pertama. Rena membuka bekalnya yang berisi mie dan telur goreng. Sekarang Zen entah mengapa tidak pergi ke kantin. Rena mengingat sesuatu. Zen tidak pergi ke kanting pasti karena dompetnya tertinggal. Karena Rena berniat untuk mengembalikan dompet milik Zen, ia membawa dompet itu ke sekolah. Ia pun mencari dompet itu. Dari resleting kecil hingga besar ia cek. Dompet itu pun ditemukan terselip diantara buku buku.

"Rena!" Seru Silvia sambil berjalan mendekati Rena, ia membawa kotak bekal di tangannya.

"Mau makan bareng?" ajak Silvia.

"Gak." Jawab Rena spontan.

Silvia menghiraukan jawabannya, ia membalikkan kursi yang ada di depan bangku Rena agar bisa saling berhadapan. Ia pun duduk disana. Silvia membuka kotak bekalnya, seporsi nasi, sepotong ayam goreng dan oseng sayur tersimpan didalam kotak bekalnya. Nampak sederhana namun nikmat. Melihat bekal yang dibawa Silvia, Rena merasa tak tahan duduk di bangkunya. Dompet Zen yang sudah ia pegang dilepaskan kembali kedalam tas. Ia berdiri sambil membawa bekalnya lalu beranjak keluar kelas.

"Rena! Mau kemana?" Tanya Silvia kebingungan.

Silvia pun pergi kembali ke bangkunya. Ia merasa kebingungan ditambah merasa ada yang mengganjal di hatinya. Setelah istirahat berlalu, Rena kembali ke kelas, ia sama sekali tak ingin menatap wajah Silvia.

Pelajaran berjalan seperti biasa. Sekarang Rena terbangun saat pelajaran.Tapi tetap saja, terbangun bukan berarti mendengarkan, mendengarkan bukan berarti menyimak. Rena tidak mendengarkan apalagi menyimak. Ia hanya melamun sambil memutar pulpen, sesekali ia mencoret coret buku. Setelah ia bosan, ia hanya diam sambil memperhatikan Gerakan jam dinding.

***

Di Malam harinya, tepatnya pukul 10 malam. Zen kembali datang ke tempat Rena bekerja. Ia berniat mencari dompetnya yang hilang sambil membeli sesuatu disana. Setelah memarkirkan motornya, Zen melihat kedalam minimarket melalui kaca yang membuat ia bisa melihat keseluruhan ruangan. Tak ada Rena disana. Mungkin ia tidak mengambil shift malam kali ini.

Zen mengurungkan niatnya. Ia kembali menaiki motornya lalu pergi merelakan dompetnya yang tak ditemui.