Di dalam tempat yang sunyi sepi, Satria masih berdiam sendiri merenungi semuanya.
Dia masih dalam keadaan duduk di atas tanah tanpa beralaskan apa pun.
Dia merasa ketakutan saat mengingat ancaman Dino tadi. Dino tidak akan segan-segan menyakiti Citra jika dia masih berhubungan dengan Citra.
Bahkan Dino juga mengancam akan menyakiti seluruh orang terdekat Satria jika masih saja mengeyel tetap berhubungan dengan Citra.
Dino bisa melakukan apa pun yang dia mau, karna Dino adalah anak orang terpandang dan kaya raya selain itu dia juga memiliki banyak anak buah. Dino adalah anak seorang pejabat setempat, yang kebetulan tempat tinggalnya tak jauh dari tempat tinggal Citra.
Perlahan Satria berdiri sambil memegangi bibirnya yang berdarah karna bekas pukulan Dino dan anak buahnya.
Sambil menahan rasa sakit di sekujur tubuhnya, Satria memaksakan diri untuk pulang mengendarai motornya sendirian.
Satria terpaksa merasakan semuanya, dia tidak berani mengatakan kepada siapa pun.
Dan semenjak itu, Satria merasa sangat stres memikirkan sendirian.
Apa lagi Satria sejak kecil sudah memiliki riwayat gangguan mental, dia sering terkena serangan panik.
Yang sampai saat tidak di ketahui oleh banyak orang. Hanya dirinya dan orang-orang terdekatnya.
Drtt....
"Ha-halo ...!" Satria mengangkat teleponnya.
"Hay, Satria, kamu sedang apa?" tanya Citra lewat telepon.
"Ah, ak-aku ...."
Tut tut tut ....
Satria mematikan teleponnya, dia sudah tidak tahan lagi, dia mulai merasa mual dan pusing, ketika serangan panik mulai menghampirinya, sering kali Satria sampai muntah-muntah.
Tok tok tok!
"Satria buka pintunya, Nak!" panggil ibunya sambil mengetuk pintu kamar.
Dan saat itu Satria masih dalam keadaan ketakutan membuka pintu itu.
"Kamu kenapa, Nak? Apa terjadi sesuatu?" tanya sang Ibu.
Namun Satria hanya menggelengkan kepalanya.
"Kamu jangan bohong, ayo cepat cerita kepada Ibu!" paksa Ibunya.
Namun Satria enggan bercerita, dan dia malah menyuruh ibunya untuk keluar, dengan alasan tidak ingin di ganggu.
Dan semenjak saat itu, Satria jadi lebih sering berdiam diri di rumah saja. Dia jarang pergi kemana pun. Bahkan sisa liburan sekolah malah iya habiskan di rumah saja.
Padahal semua teman-temannya sudah mulai mendaftarkan diri dan mempersiapkan segala keperluan untuk kuliah mereka.
Namun Satria malah santai-santai saja, dia tak memedulikan lagi tentang kuliahnya. Dan saat ini yang dia pikirkan hannyalah, Citra, Citra dan Citra.
Semakin lama tingkah Satria semakin aneh, dia tampak murung dan seperti sedang menyimpan permasalahan yang begitu berat.
Serangan panik semakin sering terjadi dan kondisi tubuhnya pun semakin melemah.
Singkat cerita, akhirnya Satria masuk ke rumah sakit.
Dia mengalami demam dan sering mengigau layaknya seorang anak kecil.
Dia memanggil-manggil nama Citra terus menerus.
Hingga pada akhirnya orang tua Satria memanggil Citra.
Yang awalnya mereka belum mengenal Citra kini mereka mulai mengenal Citra.
***
"Citra ... Citra ... Citra," panggil Satria dengan mata masih terpejam.
"Aku ada di sini, Satria. Kamu cepat sembuh ya," tukas Citra, sambil menggenggam erat tangan Satria yang tengah berbaring.
Lalu secara perlahan Satria mulia membuka matanya, "Citra ...," tukasnya sambil tersenyum.
"Citra, jangan tinggalin aku ya," pinta Satria.
"Iya, aku disini kok, aku temani kamu. Kamu cepet sembuh ya," tukas Citra sambil mengelus rambut Satria.
Saat itu Satria merasa begitu nyaman dengan adanya Citra. Bahkan dia terus menggenggam erat tangan Citra dan seolah tak mau melepaskannya walau sedetik pun.
Dia sangat ketakutan jika akan terpisah dengan Citra.
Tingkah Satria mirip seorang anak kecil. Tapi saat itu Citra tidak terlalu memikirkannya terlalu dalam. Dia menganggap Satria hanya kurang enak badan saja sehingga bertingkah begitu.
Dan ketika Satria mulai memejamkan mata, akhirnya Citra yang kala itu di temani oleh sang ibu memutuskan untuk pulang.
Namun tak lama sepulangnya dari rumah sakit, tiba-tiba ibunda dari Satria meneleponnya.
Beliau berkata Satria mengamuk dan mencari-cari dirinya.
Dia tidak rela Citra pulang dari rumah sakit. Saat itu Citra pun juga ingin kembali ke rumah sakit lagi untuk menjaga Satria, namun sang ayah melarangnya.
Selain hari sudah terlalu larut, beliau juga tidak tega jika membiarkan Citra berangkat ke rumah sakit sendirian. Karna jalanan menuju rumah sakit sangatlah rawan tindak kejahatan.
Pernah beberapa kali, terjadi tindak pembegalan dan juga pemerkosaan di daerah situ.
Akhirnya dengan perasaan berat hati Citra mengurungkan niatnya untuk menemui Satria.
***
Esok harinya, Citra kembali ke rumah sakit untuk menengok Satria.
Saat itu Citra datang sendirian.
Baru saja hendak memasuki ruang perawatan. Dia malah berpapasan dengan salah satu teman sekolah Satria.
"Eh, Embaknya pacarnya Satria, ya?" tanya teman perempuan Satria itu.
"Iya," Citra menundukkan sesaat kepalanya, "kamu teman sekolahnya Satria ya?" tanya Citra.
"Oh, iya. Perkenalkan nama ku Putri. Mantan pacarnya Satria." Tukas gadis itu.
"Ow, mantannya ya," tukas Citra dengan wajah sedikit kecut.
"Eh, Mbak namanya Citra ya?" tanya Putri lagi.
"Iya." Jawab Citra.
"Gila ya. Kamu hebat banget bisa bikin playboy semacam Satria jadi tergila-gila begitu. Ngomong-ngomong pasang pelet dimana?" tanya Putri dengan ekspresi seolah menghina.
Dan seketika Citra langsung tersulut emosi.
"Eh, maksud kamu apa bilang begitu?!" cantas Citra.
"Eh, santai dong! jangan nyolot begitu!" sahut Putri.
"Lagian maksud kamu apa bilang begitu kepadaku! itu sama saja kamu nuduh aku yang tidak-tidak. Memangnya aku perempuan macam apa sampai pergi ke dukun hanya demi laki-laki!" Citra langsung bertolak pinggang.
"Oh, begitu ya! sekarang kalau tidak pergi ke orang pintar kemana lagi? masa iya Satria tiba-tiba aneh begitu, dan sakit sampai manggil-manggil nama kamu. Dan kamu tau tidak, kalau aku tadi juga di panggil Citra oleh Satria, aneh enggak tu?"
"Satria itu sedang sakit jadi kalau mengigau atau berhalusinasi itu wajar, 'kan?!"
"Oh, begitu ya! tapi sepertinya sakitnya, sakit karna tergila-gila sama kamu tuh. Ya sudah pasti dia itu sudah terpengaruh dengan ilmu pelet kamu yang murahan itu!" tegas Putri.
Plak!
Citra akhirnya lepas kendali, dia menampar Putri, karna dia tidak terima terus di katai yang tidak-tidak oleh Putri.
Dan Putri pun juga tak terima dengan tamparan yang di layangkan oleh Citra, akhirnya dia membalas tamparan Citra.
Dari saling tampar itu pun hingga berakhir menjadi saling jambak.
Mereka berdua akhirnya membuat keributan di dalam rumah sakit.
Sampai seorang security rumah sakit pun datang dan berusaha untuk melerai mereka berdua.
Karna mendengar keributan itu, ibunda dari Satria akhirnya keluar dari ruang perawatan untuk melihatnya.
"Nak, Citra! ada apa?" tanya Ibundanya Satria.
"Dia, Bu! Wanita itu!" Citra menunjuk kearah Putri, "dia sudah menuduhku yang tidak-tidak!" jelas Citra.
Bersambung ....