webnovel

Part 16

~Semesta tak ingin kau membenci seseorang, semesta hanya ingin kau belajar dari apa yang kau terima~

***

Author

Langkah gadis itu begitu pasti, ia hanya ingin mengatakan apa yang ia rasa. Tak bisa dirinya pungkiri, ia tak bisa membenci seseorang yang masih ia sukai. Tak semudah itu. Mungkin setidaknya ini bisa menemukan jawaban tentang pertanyaan mengenai hidupnya.

Ia menghembuskan napas perlahan saat sudah sampai di ujung gedung kelas 12. Ia bersyukur tak banyak siswa di kelas itu dan sekitarnya, setidaknya tak akan ada yang tahu apa yang akan ia bicarakan dengan laki-laki pemilik manik hitam itu.

"Lo? Ngapain lo di sini?" Alfa tiba-tiba saja keluar kelas dan menyadari kehadiran gadis mungil itu di depan kelasnya.

"Gamma ada?"

"Heh, gaada. Dia gak masuk,"

"Kenapa? Eh, maksud gue, tolong bilangin sama dia, kalau dia mau ambil bokapnya, ambil aja. Jemput aja sekalian ke rumah, gue juga gak suka ada dia," ujarnya setelah mengumpulkan keberanian untuk mengatakan kalimat itu.

"Gak semudah itu," Alfa tersenyum kecut.

"Kenapa? Itu kan yang dia mau?"

"Ya, memang. Tapi apa lo tau apa yang dia alami selama ini, apa lo tau seberapa jahat bokap dia yang sekarang? Dia bahkan sekarang di rumah gue, gak mau pulang. Kepalanya hampir pecah karena bokap barunya," gadis itu diam.

"Lo pikir semudah itu membawa Papahnya pulang di mana dia selalu merasakan sakit di rumah? Seharusnya lo bersyukur bisa dapet Papahnya Gamma. Udah, gue mau ke kantin. Laper," ucapnya dan langsung meninggalkan gadis yang masih diam pada posisinya. Ia paham betul tentang apa yang dikatakan kakak kelasnya tadi. Bersyukur? Bukankah dia hanya tau tentang Gamma, tanpa tau sedikit pun tentang dirinya. Lalu kenapa seakan dirinya yang salah dalam hal ini?

Ia memilih meninggalkan tempat itu, langkah kakinya membawanya ke tempat favoritnya, lantai atas. Hatinya mencoba berkompromi dengan benaknya, tapi tak kunjung menemukan hasil yang ia harapkan. Sesulit inikah kehilangan seseorang yang begitu berarti?

Langkah kakinya terhenti ketika pendengarannya terisi dengan suara pukulan. Ia mengintip apa yang ada di dalam ruangan. Gadis itu tercekat saat melihat Nata memukuli cowok kemarin, tapi kali ini seragam cowok itu sudah sama dengan seragam yang Nata pakai. Ia mengintip di balik daun pintu. Seakan sadar satu hal, maniknya beralih pada lantai atas kelas sepuluh, ada beberapa anak. Mungkin itu yang menjadi alasan mereka melakukannya di sini.

"Sudah berapa kali gue bilang, jauhin mama gue!"bentak Nata.

"Lo gak tau seberapa menderitanya gue karena lo!" Deru napas Nata bahkan terdengar sampai luar ruangan.

"Lo juga bahkan gak tau seberapa menderitanya gue! Lu pikir cuman lu yang yang jatuh dalam lembah suram? Iya? Lo salah!"

Buugh

Laki-laki itu memukul balik Nata selepas mencecar Nata dengan kalimatnya. Gadis yang masih mengintip di balik daun pintu itu tak sanggup menatap hal baru yang semakin memperburuk suasana hatinya. Ia memilih turun dan akan berdiam diri di kelas.

***

Gadis dengan rambut kecoklatan itu membenahi rambutnya yang terlihat acak-acakan karena perasaan hatinya yang sedang kacau. Ia mematut wajahnya di depan cermin toilet. Ia mendengus menatap pantulan parasnya di cermin. Lalu ia memilih untuk segera ke parkiran.

Ero melajukan mobilnya bukan untuk pulang, ia masih ingin ke suatu tempat. Ia ingin bercerita tentang apa yang ia alami kali ini.

Langkahnya sedikit melemah ketika turun dari mobil merah itu. Hembusan napas pelan terdengar darinya. Ia memejamkan matanya dan memilih melanjutkan langkahnya. Maniknya menangkap seseorang yang tadi siang sempat mengalami pergulatan dengan Nata. Dari tempatnya berdiri di dekat nisan Papanya, maniknya menangkap cowok itu sedang memeluk sembari mengusap nisan yang ada di sampingnya. Namun, gadis itu kembali pada tujuan awalnya. Ia bersimpuh di sebelah gundukan tanah tempat papanya diistirahatkan. Kakinya lemas, bulir bening mulai menuruni pipinya.

"Pa," panggilnya, lirih.

"Artemis kangen Papa. Papa kenapa tinggalin Artemis?" Suaranya mulai parau.

"Kalau Papa mau pergi, Papa gak usah kasi Artemis papa baru. Artemis gak mau ada yang coba gantiin Papa."

"Dia masih punya anak, Pa. Anak itu masih butuh Papanya, sama kayak aku," kalimatnya terhenti karena isaknya mulai mendominasi. Ia peluk nisan Papanya dengan setengah terjatuh di gundukan tanah itu. Di sela isaknya, gadis itu sempat melirik ke arah di mana cowok tadi berada. Namun, maniknya tak menangkap ada seseorang di sana.

"Papaaa," panggil gadis itu sebelum akhirnya benar-benar kacau, ia menangis di atas pusaran Papanya. Air matanya bercampur dengan tanah, wajah dan rambutnya berantakan. Namun, ia tak peduli akan hal itu.

"Bangun, seragam lo kotor," suara itu membuat gadis tadi menahan isaknya dan memilih menoleh ke belakang. Cowok tadi.

"Bokap lo ya?"tanyanya lalu jongkok di sebelah makam papa Ero, berseberangan dengan Ero.

"Lo kacau," gadis itu tak merespon. Ia hanya menatap cowok itu sambil tetap menahan isaknya.

"Gue Altair Dzulfikar, panggil aja Fikar, lo?"

"Maurero Artemis, Ero." Gadis itu berusaha menjawab walau suaranya mulai serak.

"Kita udah ketemu berkali-kali tapi lo gak pernah tanya nama gue. Jadi gue putusin buat kenalan duluan. Lo kenapa sampe kayak gini?" Ero hanya menggeleng. Ia tak siap menceritakan apa yang ada dalam benaknya kepada orang yang baru saja berkenalan dengannya.

"Oke gue paham. Gue boleh cerita gak?" Gadis di hadapannya hanya mengangguk.

"Percaya gak sih lo kalau gue sama Nata itu kembaran?"

"Tapi gak mirip," gadis itu memaksa berkomentar walau yang keluar hanya suara parau.

"Karena kami nggak identik. Dan gue bersyukur gak mirip sama dia. Gue lahir duluan, tapi gue susah keluarnya, sampe Mama sama Nata hampir mati gara-gara gue. Terus, gue dibuang. Gue gak diinginkan. Cuman Nata, cuman Nata." Cowok bernama Fikar itu berhenti sejenak mengambil napas sebanyak mungkin. Entahlah, ia juga tak tau kenapa begitu mudahnya menceritakan semua ini padahal ia selalu menutup rapat hal itu.

"Gue diangkat oleh sebuah keluarga yang gak bisa punya anak. Untungnya mereka sayang sama gue. Bahkan mereka jujur kalau gue bukan anak kandung mereka. Dan lo tau? Cuman dua hari gue rasain gendongan Mama kandung gue. Akhirnya gue tumbuh, dan yang gak gue pahami Nata juga benci banget sama gue. Keluarga Russel membenci anak bernama Fikar ini," helaan napas dari cowok bernama Fikar itu sudah terdengar untuk kesekian kalinya.

"Sampe kejadian sepuluh tahun lalu, Mama kecelakaan. Keluarga Russel hancur, Mama kehilangan akal sehatnya, saat itu gue umur enam tahun. Gue gak pernah bisa jenguk Mama karena Nata ngelarang gue. Gue pengen ngerasain pelukan ibu kandung. Seseorang yang benar-benar ngelahirin gue ke dunia ini." pemilik manik coklat itu berhenti untuk mengambil napas.

"Tapi orang tua gue memilih bawa gue ke negara orang. Supaya gue gak tertekan. Tapi apa, lo liat makam di sana? Gue tadi habis dari sana. Beberapa bulan kemudian setelah gue pindah, Papa sakit. Mama urusin semua urusan Papa, mulai dari kerjaan dan ngurusin Papa. Gue terlantar, sampe Papa meninggal beberapa bulan lalu dan Mama sakit. Akhirnya gue balik dan menetap di Indo, gue, gue.."ucapnya yang terhenti.

.

.

.

.

.