webnovel

Hari Pertama Yang Menyenangkan (3)

Riski sudah sampai rumah, dan Joko juga sudah berangkat bekerja. Di rumah sangat sepi, sunyi, hanya ada suara kicauan burung yang menemani Riski. Riski terus berpikir, bagaimana jika ada yang akan membeli lagi hari ini, sedangkan sayuran telah habis.

Apakah iya harus membeli sayur di Budi? Seorang yang juga jualan sayur seperti Riski, seorang yang mengambil sayur di tempat yang sama? Siapa tau, dengan hal itu Riski mendapatkan harga ysng berbeda dengan orang lain.

Jam juga masih menunjukkan pukul 7. Budi biasanya habis dan pulang ke rumah sekitar pukul 9 pagi, jadi masih ada waktu bagi Riski membeli sayurannya.

"Gue kesana aja deh. Daripada nanti siang, sore atau malam ada yang order sayur. Jadi, gue ada stok." batin Riski. Permasalahan terpecahkan, jika di keadaan sayuran stok Riski habis seperti sekarang ini.

Riski membawa motor barunya sekalian melatihnya agar bisa lihai mengendarainya. Wajah, badan, dan anggota tubuh semua terasa terus bergerak jika sudah berhasil mendapatkan uang seperti ini. Riski akan terus memperjuangkan usaha ini selama yang ia bisa. Riski tak peduli akan cemooh dari orang lain, temannya sendiri, dan masih banyak lagi.

Yang terpenting saat ini Riski mencari uang dengan tidak merugikan siapapun. Dengan kerja kerasnya sendiri, dan tidak usah mendengarkan omongan yang tidak sehat dari orang lain.

Sebenarnya orang yang mencemooh itu tanda mereka iri terhadap perjuangan Riski, ia ingin melakukan hal yang sama. Rasa gengsi mereka lebih besar, sehingga datanglah kata-kata yang kurang sopan dari mulutnya.

Tak terasa, Riski sudah sampai di pasar. Dan langsung ingin mencari keberadaan Budi.

Budi pun dari kejauhan sudah melihat Riski dan langsung menyapanya, "Ris. Sini." teriak Budi, karena ia sedang sepi pelanggan dan hanya menoleh ke kanan kirinya.

Riski melambaikan tangan sebagai jawaban iya.

"Apa kabar, bang?" tanya Riski setelah berada di dekat Budi.

"Ngapain kesini? Lo udah beli sayuran yang gue tunjukin?"

"Sudah, bang. Kemarin, ini mau kesana tapi masih ragu-ragu. Soalnya udah jam segini." bohong Riski.

"Kemarin udah mulai jualan lo? Lancar?" Budi memberikan senyuman tipisnya. Budi tak merasa tersaingi dengan keberadaan Riski, lagipula rejeki sudah ada yang mengatur. Jadi, mau sama siapapun pesaingnya, nggak usah khawatir akan hal itu.

"Lancar, bang. Sebenarnya gue ke sini mau beli sayur lo di sini. Buat stok di rumah, karena gue nggak ke sana, bang. Jam segini udah sepi kan di sana?" tanya Riski memastikan, kalo memang masih ramai. Maka, Riski akan pergi kesana lagi.

"Iya sih, ini udah jam 7 lebih. Yaudah lo beli di sini aja, daripada jauh-jauh nggak dapet sayurnya." jawab Budi, karena sayurannya masih banyak yang tersedia.

"Iya bang. Gue beli dikit aja ya, bang. Nggak akan ngeborong, gue takut kalo nggak laku. Nggak mau ambil resiko, tapi..." Riski mengedipkan mata sebelah kirinya, pertanda ia meminta harga diskon ke Budi.

Budi mengetahui itu hanya tertawa, "Iyaa, gue kasih lo diskon. Tapi, ambil setengahnya ini? Gimana? Deal?"

"Deal." Riski memberikan tangannya untuk bersalaman tanda mereka berdua setuju dengan penawarannya.

"Okay. Gue bungkus dulu ya, lo tungguin." jawab Budi. Dengan mengambil sayur dan memasukkan ke kantong kresek, "Pelaris, pelaris." sambung Budi lagi.

Riski mengingat, dulu Widya juga melakukan hal yang sama. Apakah benar hal itu akan kejadian? Atau hanya untuk menghibur saja?

"Bang, gue biasanya lihat pedagang gitu kok selalu bilang pelaris gitu emangnya selalu kejadian akan habis ya? Atau gimana?" tanya Riski penasaran.

"Itu percaya nggak percaya aja sih. Tapi, kadang juga kejadian bakalan ramai. Tapi, juga pernah habis bilang gitu juga masih sama saja. Intinya mah rejeki udah ada yang ngatur, kita tinggal jalanin aja. Kalo emang laris semua ya tinggal bersyukur, kalo enggak yaudah nggak masalah." jelas Budi.

"Bang, lo dari kapan sudah jualan kayak gini? Bisa kan berkecukupan dengan hanya jualan? Atau lo ada usaha lain?" tanya Riski, karena ia ingin memastikan.

"Bisa bangett. Kalo misalnya ini nggak laku ya, kan bisa di masak sendiri, bisa di makan sendiri. Kan nggak usah beli makanan lagi. Intinya sayur itu bisa di olah sendiri kalo emang nggak laku. Dan gue udah bertahun-tahun jualan, buktinya gue bisa hidup dari sayur ini." jelas Budi, Budi memberikan gambaran ke Riski supaya kalo tidak laku bukan selamanya akan rugi melainkan sayur itu bisa di konsumsi sendiri.

Riski mengangguk paham.

Karena Budi juga seorang cowok, dan sudah puluhan tahun jualan apakah mengalami hal yang sama seperti Riski?

"Oh iya bang. Satu hal lagi, lo sering di cemooh nggak sih waktu jualan sayur?" tanya Riski lirih takut menyinggung perasaan Budi.

Budi menghentikan aktifitasnya membungkus sayur dan duduk di sebelah Riski, "Itu mah udah sering. Tapi yaudah nggak usah di dengerin, malah jadikan motivasi buat lo. Buat mereka yang sudah menghina itu menyesal. Kenapa menyesal? Karena kalo lo bisa semangat terus dan kreatif, usaha lo kan bakalan ramai. Orang yang menghina lo itu nantinya juga akan sadar. Sayuran ini nggak mandang cewek atau cowok, yang penting kita nggak merugikan orang lain. Lo lihat, di luar sana ada banyak orang laki-laki yang justru malah menjadi seorang chef, di dapur. Jadi, nggak usah di peduliin omongan yang menghina." jelas Budi panjang lebar. Budi paham, pasti Riski mengalami hal itu.

Mental yang dimiliki Riski juga pasti belum kuat, dan terkadang bisa down dengan perkataan orang.

Riski hanya menunduk mendengar nasihat Budi.

"Lo pernah di hina orang, ya?" tanya Budi melihat Riski yang menunduk.

Riski mengangguk pelan, "Katanya cowok jualan sayur itu rendahan, bang. Dan masih banyak lagi teman yang lainnya."

Budi menghembuskan napasnya, "Udah. Nggak usah di peduliin, buat omongan mereka jadi motivasi lo agar terus bergerak. Bungkam mereka, lagipula daripada mereka, lo itu lebih hebat. Bisa buat usaha, dapat uang, dapat pengalaman baru. Lalu mereka? Uang masih minta orang tua, kerjaan pasti main-main doang. Iya, kan? Lo harusnya bangga ada di posisi ini. Okay?" Budi tak henti-hentinya menasehati Riski, Budi sudah menganggap Riski ini seperti anaknya sendiri. Dari usaha Riski selama ini, Budi mengira bahwa Riski sedang hancur dalam masalah ekonomi.

"Makasih, bang."

"Bentar gue ada pembeli, ntar habis ini gue lanjutin lagi bungkus punya lo. Nggak buru-buru, kan?"

"Nggak bang. Santai aja, di rumah juga nggak ada orang."

Riski mengingat dan memahami perkataan Budi. Riski mencoba menerapkan semua itu, yah namanya juga mental jadi harus perlahan. Nanti lama-kelamaan juga akan kuat sendiri.