webnovel

Pertemuan

Di bawah matahari yang terik, terlihat seorang gadis bercadar hendak masuk mobilnya. Saat membuka pintu tiba-tiba.

Srettt!

Gadis itu berputar dan ada yang hilang darinya.

Bruakkk!

Suara motor terjatuh, ketika gadis itu sadar dari rasa pusingnya setelah berputar, dia berusaha membuka mata dan melihat Apa yang terjadi. Membuka mata dengan lebar, terlihat seorang pria ber helm mendatanginya. Lantas pria itu menyodorkan tas milik gadis bercadar itu.

"Terima kasih." Gadis itu mengambil tasnya. Sang Pria segera pergi tanpa berkata apa pun tanpa menjawab kalimat sama-sama. Gadis itu pun merasa malu, sambil menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Dia segera masuk mobil.

Drettt!

Drettt!

"Huft ... aku masih sedikit syok. Ya Allah ... Chafiya ... Bismillah, atas lindungan Allah kamu akan baik-baik saja."

Ternyata namanya Chafiya. Gadis itu baru sadar kalau ponselnya bergetar. Dia segera menerima panggilan telepon dari kontak yang ia namai Abi.

"Halo Assalamualaikum Abi."

"Waalaikumsalam kamu baik-baik saja? Abi merasa kamu."

"Alhamdulillah aku baik-baik saja, Allah mengirimkan seseorang untuk menolong. Awalnya aku mau kecopetan Abi," ujar Gadis itu cepat agar Abinya tidak khuwatir kepadanya.

"Kalau seperti itu cepat pulang ke Banten. Umi sedang sakit."

"Masya Allah sejak kapan Abi? Baik, Fiya pulang sekarang."

"Sudah dua hari. Kalau pulang hati-hati ya Nduk ...."

"Iya Abi ... Namun doa Abi lebih penting. Doakan aku selamat sampai rumah. Baik Abi Assalamualaikum," tutur wanita lemah lembut itu.

"Wa'alaikumussalam warahmatullahi wabarakatuh."

Gadis bercadar itu memulai perjalanannya dengan bismillah.

***

Sementara di tempat lain terlihat seorang pria melepas helmnya. Pria yang tadi menyelamatkan gadis bercadar datang ke rumah sakit, ternyata pria itu sangat tampan dan melepas jaketnya. Pusat perhatian para suster dan para wanita yang berada di rumah sakit itu selalu memandanginya. Sampai dia tidak terlihat oleh mereka.

"Dokter, ada pasien perdarahan otak. Salah satu dokter kita sudah mendiagnosa. Dia butuh operasi secepatnya."

"Siapkan ruang operasinya," titah pria itu berjalan cepat. Dia masuk ruangan.

"Kamu residen? Cepat lihat CT Scan."

"Pria 25 tahun tidak sadarkan diri. Ukuran pupil nya 5 mm dan 3 mm. Tidak ada refleks pupil pada mata kanannya. Diduga itu adalah Pendarahan otak. Ada gejala status epileptikus. Bahasanya diintubasi dan organ vitalnya tidak stabil. Dipastikan ada 80 cc dalam otak kanannya. Apa dokter akan melangsungkan aspirasi dengan navigasi?" tanya seorang dokter yang memeriksa data pasien.

"Peralatan navigasi membantu memeriksa area yang berdarah. Aku akan melangsungkan aspirasi dengan tangan. Karena dia sudah pingsan selama 5 jam. Butuh lebih dari sejam untuk menyiapkan aspirasi. Pasien bisa meninggal."

"Itu terlalu beresiko dokter Alif," kata dokter di depannya.

"Karena itu aku melakukannya. Yakinlah, hubungi Departemen anestesiologi." Alif terlihat sangat yakin akan kemampuannya.

"Ruang operasi sudah disiapkan dokter," jawab dokter yang baru saja datang.

Mendengar hal itu Alif tidak membuang waktu lama.

Dia adalah seorang dokter bedah syaraf. Pemuda itu segera merelaksasikan otot-ototnya. Mengambil nafas, lalu mengeluarkannya secara perlahan. Pria itu mengambil baju operasinya dan siap menjalankan tugas.

Dia berjalan cepat menuju ruang operasi di depan ruang operasi dia mencuci tangannya.

'Dahulu Aku melakukan setiap operasi bersamamu. Kamu yang membuat aku tidak gugup, kamu yang membuat aku berani, tapi sekarang Aku tidak bisa melihatmu. Bahkan untuk membayangkanmu. Kamu kekuatanku yang membuatku hilang arah. Heh ... kini setiap aku melakukan operasi. Aku hanya yakin Allah sudah memberikan amanah kepadaku. Keahlianku adalah titipan dari Nya. Namun aku juga tidak bisa terlepas dari kebiasaan burukku. Aku selalu menghirupnya disaat aku akan melakukan operasi. Aku tidak tahu, kapan aku akan sembuh. Mungkin jika kamu kembali kepadaku aku akan sembuh dari menghirup barang haram itu.' batinya yang lalu mengeluarkan napas berat dan segera masuk ke ruangan operasi.

Dokter yang berada di ruangan itu segera membantu Alif mengenakan jubah dan sarung tangan. Berdoa sesuai keyakinan masing-masing.

"Letakkan layarnya di sebelah kiriku." Dia mulai menggaris bagian yang akan dibedahnya. "Pisau bedah."

Tit!

Tit!

Untuk sejenak dia memperhatikan layar, dan segera mengambil alat memasukkan ke lubang. Kemudian dia mengambil selang kecil untuk mengeluarkan darah yang perlu diambil dari pasien.

Semua mulai tegang dan ada salah satu dokter tidak meyakini Alif. Alif sangat serius dan tiba-tiba senyumnya menggembang dari balik masker.

Ketegangan pun sudah usai. Keberhasilan sudah didapat. "Sudah perlu menutup pembedahan. Aku percayakan kepadamu." Alif berdiri dan digantikan rekannya.

Alif keluar dari ruang operasi, dia masih mengenakan baju biru yang menemani operasinya selama ini.

Pria tampan ini segera masuk ke ruangannya.

Drettt!

Alif mengela napas saat meraih ponselnya. "Bunda, pasti akan menjodohkanku lagi! Huft ... ceh." Dengan sangat terpaksa pria tampan itu menerima panggilan telepon.

"Assalamualaikum. Ingat ya, sore ini kamu sudah janji sama Bunda."

"Waalaikumsalam, aku sangat ingat dengan janjiku. Bunda sama Ayah duluan saja ke Banten nya, nanti bunda kirim alamat yang akan aku tuju. Aku janji aku akan datang."

"Alhamdulillah ... Bunda sangat bahagia Alif. Terlebih lagi jika kamu mau dijodohkan dengan putri kiai Barak."

Mendengar itu Alif terlihat tersenyum. 'Seumpama aku menolak perjodohan, aku akan mengecewakan Bunda, jadi tetap saja aku akan menjalani perjodohan itu, hanya karena Bunda,' batin Alif.

"Maaf Bunda, kita bicara nanti lagi. Assalamualaikum."

"Waalaikumsalam."

Alif menutup telepon, kemudian duduk dan bersandar. 'Maaf Putri Kyai. Aku sama sekali tidak ada niat menyakitimu, aku hanya menerima permintaan wanita yang sangat aku cintai. Aku ingin selalu membuat Bunda bahagia di hidupku.' batin Alif.

***

Detik terus berputar menjadi hitungan menit, lalu kemudian berganti dengan jam. Warna cerah langit berganti dengan warna langit hitam yang dihiasi oleh bintang-bintang.

Terlihat seorang gadis bercadar turun dari mobil dan segera berjalan cepat menuju rumah. Langkah cepat sedikit berlari menunjukkan kecemasan.

Ceklek!

"Assalamualaikum ..."

"Waalaikumsalam ..." jawab seseorang dengan suara serak dan lirih.

Gadis bercadar itu melepas sandalnya dan segera berlari ke sebuah kamar. Dia meletakkan tasnya dan segera duduk di samping wanita yang sedang berbaring lemah. Mencium punggung tangan wanita itu dan wanita itu lalu membelai kepadanya.

"Afwan Umi ..." tutur lembut gadis itu dengan memandang sendu.

"Kenapa buru-buru pulang, Umi baik-baik saja? Apa Abi menelponmu?" tanya Umi dengan pelan.

"Sudah waktunya aku pulang Umi, sudah selesai pekerjaanku. Umi, bagaimana? Sudah minum obat, sudah makan, sudah diperiksa Dokter? Oh ... Aku lupa kalau Abiku lebih seperti dokter."

"Hehehe, sudah semua Abi selalu merawat Umi. Abi mu tidak pernah berubah ... Sini berbaring disamping Umi, Umi sangat merindukanmu," ujar wanita yang telah melahirkannya dengan suara sangat lembut. Umi menggeser tubuhnya dan gadis bercadar itu melepas cadarnya kemudian berbaring di samping Umi dan memeluknya.

"Chafiya ... Besok akan ada tamu dari Jakarta, sahabat Abi dan Umi ..."

Mendengar suara lirih dari Uminya, Chafiya memandang Uminya dengan penuh tanda tanya. "Umi, Fiya sudah tahu perjodohan yang direncanakan oleh Abi dan sahabat Abi. Apa dulu Umi dan Abi dijodohkan? Lalu apakah bisa datang perasaan cinta dengan mudah?" tanya seorang putri kepada Uminya.

"Perasaan cinta akan datang dengan mudah jika kamu membuka hati, memberi kesempatan dan menciptakan sesuatu hal dengan terbiasa. Pernikahan adalah ikatan suci di mana Umi dan Abi harus saling membuka hati. Mungkin ada rasa canggung dan tidak suka. Cinta memang bukan sesuatu hal yang harus dipelajari, tapi harus kita rasakan dan kita harus bisa menikmatinya. Sayang ... putri Umi," panggil sang Umi memandang lekat buah hatinya.

"Kamu harus tahu, menjodohkan mu dengan Pemuda pilihan kami dengan keputusan hal yang sangat matang. Umi dan Abi sudah sangat memikirkan dan sudah meminta petunjuk dari Allah subhanahu wa ta'ala. Namun, sayang Umi tidak akan pernah memaksa semua pilihan ada bersamamu. Semua keputusan ada bersamamu Umi dan Abi hanya berikhtiar kalau jodoh kami sangat bahagia dan bersyukur kalau tidak berjodoh pun Kami tidak akan marah dan kami akan tetap bersyukur, bagaimanapun Umi dan Abi tidak akan memaksa."

"Fiya faham Umi," kata Chafiya dengan sangat lembut.

"Kamu tahu sendiri, Abi mu mencintai seorang wanita dan terus mendoakan agar dia bersama dan berjodoh dengan wanita yang dikaguminya, walaupun Abi belum melihat wajahnya sama sekali namun abimu selalu merindukannya. Dan ternyata wanita yang didambakan Abi mu selama ini, itu adalah Umimu ini. Sayang ... walau abimu terlihat acuh saat diawal pernikahan namun kalah tidak bertemu membuat kami saling merindukan, dikala jauh saling memikirkan."

'Cinta Abi kepada Umu yang sangat besar. Ya Allah Engkau tahu yang terbaik untukku. Siapapun Jodohku nanti Aku berharap orang yang menikahiku akan sebaik Abi, akan mencintaiku seperti Abi mencintai Umi. Bertahun-tahun aku mendambakan seorang santri yang bernama Adib. Aku selalu mengaguminya, walaupun dia sudah pergi tiga tahun lalu. Hamba sama sekali belum mengenal pemuda yang akan dijodohkan dengan hamba. Hamba hanya meyakini engkau dan doa serta harapan dari kedua orang tua hamba, yang sudah pasti menginginkan kebahagiaan untuk hamba.' batin gadis cantik itu.

"Kamu melamun?" tanya Umi.

"Tidak melamun hanya memikirkan sesuatu saja. Memikirkan cinta Abi kepada Umi ... Umi saat ini aku sering mengalami istihadoh. Apakah laki-laki yang akan menikahiku bisa menerimaku seperti Abi menerima Umi?" Pertanyaan Fiya dengan suara terpecah, dia memandang Uminya sejenak lalu memeluknya sangat erat.

"Suamimu nanti, menjadi tempat tulang rusukmu kembali. Dia akan merasakan apa yang kamu rasakan, cintanya lebih besar daripada kamu. Umi sangat meyakini itu, kita punya Allah sayang Allah yang Maha segala-galanya. Jangan pernah melupakan itu, jangan pernah ragu dan tetap yakin Allah akan mengabulkan doa. Namun Allah juga memberi cobaan untuk menilai kesabaranmu. Umi dulu sempat putus asa dan meminta Abi untuk menikahi wanita lain, yang bisa memberikan nafkah batin. Jujur saja saat itu Umi yakin akan kuasaNya. Tetapi Umi tidaklah menjadi istri yang bisa digunakan, Itu semua membuat Umi sedih. Umi minta Abi untuk menikah lagi. Abi mu benar-benar menolak dan tetap setia. Tapi Umi bukan wanita sempurna, Umi hanya ingin menjadi wanita baik dalam mendampingi Abi mu ..."

Chafiya memandang sendu sang Umi. "Abi terus meyakinkan Umi, Umi melihat cinta besar Abi hingga membuat Umi sangat bersemangat. MasyaAllah ... dapat merasakan hamil, dan melahirkan kamu," tutur sang Umi lalu membelai pipi anak gadisnya.

"Sukron kasirt," ucap Chafiya lalu memeluk erat dan memejamkan mata.

'Ya Allah hamba sangat bersyukur, terima kasih ya Allah, terima kasih banyak,' ucap Chafiya dalam hati saat itu air mata penuh syukur berlinang.

"Eh ... Eh. Putri Abi sudah datang, tapi malah ..."

Mendengar suara Abinya. Chafiya segera bangun dan berjalan ke Abinya yang sedang melipat kedua tangan di depan perut. Chafiya tersenyum lalu mengulurkan tangannya.

"Afwan Abi ... Fiya terlalu rindu dengan Umi, juga sangat mencemaskan. Tetapi ... sebenarnya Fiya tidak perlu terlalu cemas jika ada Abi di sisi Umi." Chafiya sungkem.

"Abi yakin, kamu tidak bisa tidak mencemaskan Umi."

"Abi sangat betul. Sangat benar, bagaimana pun Fiya putrinya." Chafiya memandang Uminya yang tersenyum.

"Putri Abi, ayo ikut dulu," pinta Abi. Chafiya belum rela meninggalkan Uminya. Umi meminta Chafiya ikut dengan abinya.

"Sana, Umi istirahat dulu."

"Baik ..." Chafiya lalu berjalan di belakang Abinya.

"Apa Umi sudah membahas?" tanya sang Abi lalu duduk di ruang makan.

"Iya Abi. Umi sudah membahas." Chafiya ikut duduk.

"Menjodohkanmu bukan berarti Abi dan Umi memaksa."

"Emmm. Boleh Fiya tahu, apa yang membuat Abi sangat yakin dengan putranya sahabat Abi." Chafiya memandang Abinya.