"Kamu tanya saja pada Ayahmu," ketus Prasetiyo pada Cantika yang lekas menghindari wanita yang baru saja beberapa bulan jadi menantunya.
"Ayah kenapa? Apa yang terjadi," tanya Istri Prasetiyo yang juga ibunda dari Reyno, seketika merangkul tangan suaminya.
"Ayah enggak apa-apa, biarkan saja nanti Polisi yang akan menjelaskannya," sahut Prasetiyo geram.
Mendengar pernyataan Prasetiyo, Mesya mengkerutkan dahinya mulai merasa curiga. Ia merogoh gawai miliknya di dalam tas kemudian mencoba menghubungi suaminya. Akan tetapi nihil, ponsel suaminya tak bisa di hubungi. Semua ini membuat Mesya semakin gelisah.
Tak jauh beda dengan Cantika yang semakin bertanya-tanya dengan jawaban mertuanya. Ia semakin menampakkan wajah kesalnya.
Sementara di Taman Suropati terlihat lelaki paruh baya tengah duduk sendirian di kursi besi berwarna putih. Terlihat wajahnya yang begitu sedu, sesekali bulir bening menetes dari bola matanya, tapi ia usap dengan halus.
"Ayah! Ayah kenapa?" Sabrina yang baru saja datang begitu terkesiap melihat Ayah yang sangat di sayanginya tengah mengusap halus air mata yang terlanjur luruh di pipinya.
Seketika Bramantio berdiri kemudian memeluk erat putri kesayangannya seakan tak ingin terpisahkan.
"Ayah! Kenapa seperti ini, apa yang sudah terjadi, Yah?" Sabrina semakin keheranan.
"Sini, Nak. Duduk dulu," ajak Bramantio pada Sabrina.
Seketika Sabrina turut serta duduk bersebelahan dengan Ayahnya.
"Ayah mau bicara sama, Kamu. Ayah harap Kamu jawab yang sejujurnya," ujar Bramantio dengan tatapan kosong ke arah depan, seakan tak kuasa menatap wajah putrinya.
"Iya, Yah. Kenapa?" Sabrina menatap wajah Ayahnya penuh curiga.
"Apakah Kamu masih mencintai Reyno?" tanya Bramantio yang membuat Sabrina terkesiap
"Kenapa harus mengulang pertanyaan yang dulu, Yah? Aku sudah pernah menjawab, Reyno hanya masa laluku. Aku sudah tidak punya perasaan apa-apa sama, Dia!" sanggah Sabrina dengan halus.
"Apa Kamu tahu sesuatu mengenai kecelakaan, Reyno?" pertanyaan Bramantio semakin membuat Sabrina terheran.
"Maksudnya, Yah?" Sabrina menggelengkan kepalanya, "Ayah! Aku semakin tidak mengerti maksud dari ucapan, Ayah," sambung Sabrina.
"Polisi sudah menemukan mobil pelaku tabrak lari, Reyno. Dan ini nomor mobilnya." Bramantio menyodorkan selembar kertas yang di bawanya dari Kantor Polisi. Kemudian Sabrina membuka lipatan kertas itu lalu melihatnya.
"Ini poto mobil Aku, Yah! Kenapa sama mobilku?" tangan sabrina memegang selembar kertas itu, kemudian memalingkan wajahnya ke arah Bramantio.
"Mobil itu yang telah menabrak, Reyno," ucap Bramantio yang begitu datar, sontak membuat Sabrina terkejut mendengar ucapannya.
"Mana mungkin, Yah? Aku tidak tahu apa-apa!" sanggah Sabrina membela diri.
"Ayah mau lihat kondisi mobil kamu sekarang!" seketika mata Bramantio membeliak ke arah Sabrina
Kemudian mereka berdua berjalan ke arah mobil Sabrina terparkir.
"Ini apa, Rin!" bentak Bramantio, seraya meluruskan telunjuk tangan ke arah mobil Sabrina yang body depannya lecet.
"Apa! Aku bahkan baru tahu kalo body depan mobil ini lecet, Yah!" Ujar Sabrina yang ikut terkejut melihat mobilnya lecet, Ia bahkan baru menyadarinya. Kesibukannya belakangan ini membuatnya lupa untuk mencuci mobil bahkan untuk sekedar mengeceknya sekalipun.
"Ayah tidak tahu, Rin. Siapa yang harus ayah percaya," ucap Bramantio yang seketika lemas.
"Aku tidak bohong, Yah! Tolong Ayah percaya sama aku," rengek Sabrina yang mencoba meyakinkan Ayahnya.
Bramantio melangkahkan kaki, berjalan menjauhi Sabrina dan pergi begitu saja meninggalkan Sabrina di Taman Suropati.
Melihat kondisi Ayahnya, tubuh Sabrina seketika luruh ke tanah. Sesekali ia mengusap bulir bening yang terlajur tumpah di pipinya.
"Jika Ayah sudah tidak percaya sama Aku, siapa yang Akan mempercayaiku, siapa yang akan membelaku, Yah." desis Sabrina. Hatinya harus kembali patah ketika melihat Ayahnya pergi begitu saja.
Sabrina mengusap kasar air mata yang terlanjur luruh di pipinya, ia mencoba bangun dan duduk di pinggir mobilnya.
"Ada apa ini, apa yang sebenarnya terjadi" lirih Sabrina semakin membuat hatinya resah.
Untuk kali ke dua, ia seakan terperosok ke dalam lubang lara. Hati dan pikirannya berkecamuk tidak karuan. Sesaat ia menundukan kepalanya mencoba menetralkan perasaan, tiba-tiba terlihat ada sebelah tangan menyodorkan 2 lembar tisu ke arah wajah Sabrina. Ia yang tengah tertunduk lesu mencoba menoleh dan mengangkat kepalanya, sekaan penasaran siapakah pemilik tangan itu.
Seorang laki-laki tampan dengan perawakan tinggi berisi, berkulit hitam manis tengah berdiri di hadapan Sabrina dan menyodorkan tisu. Tanpa pikir panjang Sabrina mengambil tisu yang di tawarkan kemudian mengusap kasar pipinya yang terlanjur basah oleh buliran air bening yang luruh dari bola matanya.
"Makasi!" ucap Sabrina sedu.
"Ada yang bisa Saya bantu?" Lelaki tadi turut serta duduk di samping Sabrina mencoba menawarkan bantuan.
"Enggak usah," jawab Sabrina sekenanya. Ia kemudian berdiri lekas membuka pintu mobilnya tetapi lelaki tadi mencoba menahannya.
"Tunggu! Jika kamu butuh bantuan ini kartu nama Saya," lelaki tadi menyodorkan kartu nama kepada Sabrina kemudian pergi meninggalkannya sendirian.
Sabrina bergegas masuk ke dalam mobil, memasang Safetybelt. Tetapi, sebelum ia menyalakan mobil, matanya melirik kartu nama yang di berikan laki-laki tadi.
"Azka Purnama Assegaf, oh namanya, Azka. Enggak jelas apa maksudnya," desis Sabrina yang kemudian menaruh kartu nama Azka di Dashboard Mobil. Sabrina melajukan mobilnya ke arah kediamannya.
Sesaat hatinya sudah mulai tenang dan melajukan mobilnya ke arah kediamannya.
Sementara Bramantio, ia terlebih dahulu pulang ke kediamannya guna menetralkan perasaannya.
Hari ini Bramantio benar-benar lelah, di usia separuh abad, Tuhan seolah tengah menguji jiwa dan raganya. Bagaimana tidak luruhnya perasaan seorang Ayah, ketika di paksa harus menyaksikan putri ke sayangannya masuk ke dalam lubang nestapa.
Namun, di sisi lain bukti-bukti yang cukup, membuat perasaannya semakin tidak berdaya. Ayah mana yang akan merelakan putrinya menderita. Tetapi, ia tidak bisa berbuat apa-apa.
Sesampainya Sabrina di Rumah, terlihat jejeran mobil Polisi telah terparkir di halaman rumahnya yang luas. Ia semakin terkesiap dengan situasi ini, semakin bertanya-tanya apa maksud dari perkataan Ayahnya tadi. Ia mencoba menghela nafas panjang kemudian mengeluarkannya perlahan.
'Aku tidak bersalah, bahkan Aku tidak melakukan apa-apa. Aku bukan pengecut' batin Sabrina yang kemudian keluar dari mobil lalu menghampiri jejeran polisi yang tengah duduk di ruang tamu Rumahnya.
"Selamat malam, Bu Sabrina!" sapa salah satu petugas Polisi yang lumayan ramah.
"Malam, Pak. Ada apa ini rame-rame?" balas Sabrina yang kemudian melontarkan pertanyaan yang sedari awal tengah mengganjal di hatinya.
"Kami datang ke sini membawa surat penangkapan atas nama, Sabrina Anastasya Bramantio. Silahkan di baca!" ujar salah satu Polisi dengan menyodorkan selembar kertas tugasnya.
"Apa-apaan ini! saya tidak tahu apa-apa, Pak. Saya akan jelaskan sekarang, Pak." Sabrina mencoba membela diri di hadapan Polisi.
"Mohon maaf, Bu. Nanti Ibu bisa jelaskan di kantor Polisi," ujar Polisi yang seketika menyeret Sabrina untuk masuk ke dalam mobilnya.