webnovel

Cinta Diujung Kabut

Rukha memutuskan berangkat ke Yogyakarta untuk belajar Seni Batik Tulis agar ia mendapati perhatian dari sang Ayah. Disana Rukha bertemu dengan seorang pemuda bernama Ghandy yang tidak lain adalah anak dari Larasati seorang seniman Batik Tulis yang nanti nya akan melatih Rukha. Mereka saling memendam rasa yang mendalam. Kisah lampau yang telah lama terkubur kembali terkuak ketika Rukha menceritakan kepada Larasati tentang alasannya belajar Seni Batik Tulis. Rahasia besar satu-persatu terungkap, membuat semua orang terjerat dalam belenggu perasaan yang menyakitkan. Sanggupkah Rukha dan Gandhy menghadapi kenyataan pahit cinta yang telah menjerat bagai akar beringin tak berujung? Bagaimana hidup ini bisa begitu kejam dalam mengisyaratkan sebuah cinta. Ikuti kisah Rukha dan Gandhy yang penuh Tragedi dan air mata. -KembangJati-

KembangJati · Urbano
Classificações insuficientes
24 Chs

Rindu

'Untuk pertama kalinya, hati ini merasakan bahagia bila melihat, resah bila tak menatap.

Malam bahagia yang kurasa saat itu. Dengan perkenalan singkat yang disertai derai hujan.

Sinar mata birumu memiliki kehangatan seperti rembulan malam. Hingga diri ini tak mampu menahan kuasa untuk tidak mengingat walau hanya sekali waktu.

Genggaman eratmu masih sangat kurasakan.

Bulan, sampaikan padanya sepenggal cerita tentang kisah perkenalan singkat yang takkan mampu Ku lupakan.

Akankah Aku bertemu dengannya lagi?'

Pikiran Ghandy yang selalu resah sejak pertemuannya dengan Rukha.

Tak jemu ia memandang bulan purnama sambil memikirkan seorang gadis yang tanpa sengaja bertemu dengannya dimalam itu.

*****

"Minumlah," ucap Ningrum sambil memberikan segelas air bewarna coklat tua.

"Pelan-pelan, biar Ibu bantu." Timpal Ningrum sambil membantu Rukha duduk dari tidurnya.

Rukha sedikit tersedak saat meminum air yang diberikan Ningrum.

"Wedang memang sedikit terasa pedas dimulut. Tetapi itu akan menghangatkan tubuhmu dari dalam." Jelas Ningrum.

"Terimakasih bu," ucap Rukha.

"Kau sudah merasa enak?" Tanya Ningrum.

Rukha mengangguk dan tersenyum pada Ningrum.

"Syukurlah, Ibu merasa lega sekarang."

Ningrum berkata sambil menghela napas panjang.

"Ya sudah, kau harus istirahat lagi," ucap Ningrum dengan senyuman hangat.

Ningrum membalikkan badannya dan melangkah untuk meninggalkan kamar.

"Ibu Ningrum," panggil Rukha.

Ningrum menghentikan langkahnya dan menoleh melihat Rukha.

"Kau tidak memberi tahu Ibuku kan?"

"Tidak Rukha, makanya Kau harus segera sembuh. Karena Ibu tidak tahu sampai kapan bisa menutupinya." Jawab Ningrum sambil menggoda Rukha dengan senyum lebarnya.

Rukha tersenyum dan mengangguk.

"Aku sudah jauh lebih baik, mmm… terimakasih sudah merawatku dengan baik selama tiga hari aku terbaring."Timpal Rukha.

"Kondisi mu yang membaik itu lebih dari cukup untukku. Karena kalau tidak, apa yang harus Ku katakan pada Ibumu. Baru saja Kau tiba dirumahku sudah terserang demam yang sangat tinggi." Jawab Ningrum dengan nada monggoda.

"Kau harus meminum wedang itu sampai habis, selagi masih hangat."

Ia melanjutkan langkahnya keluar dari kamar.

Rukha menarik napas dalam-dalam dan menghelanya perlahan.

Ia masih menyandarkan dirinya dengan ganjalan bantal diatas tempat tidur. Perlahan Rukha menutup matanya untuk menenangkan pikirannya.

Butiran air jatuh mengalir ke pipinya. Ia mengingat Hanum yang saat ini jauh dari dirinya.

'Ibu, bukan aku tak mau memberi tahumu keadaan Ku saat ini. Aku hanya tidak mau membuat mu tidak tenang.' Lirihnya dalam hati.

Ia turun dari tempat tidur, melangkah perlahan menuju jendela kamar yang tidak jauh dari tempat tidurnya.

Menarik kunci dan membuka kedua sisi jendela jati. Menikmati pemandangan malam, pohon-pohon cemara yang seakan bersinar dibawah bulan purnama.

Pandangannya lekat pada bulan purnama yang begitu indah. Bayangan wajah pemuda peniup suling terlintas begitu saja dibenaknya.

Suara lembut yang menyapa masih jelas terngiang ditelinganya. Pandangan mata yang menggetarkan hatinya kembali membayangi.

'Matamu begitu terasa akrab bagiku' ucapnya dalam hati.

Rukha kembali memejamkan matanya, menarik napas perlahan, menikmati dinginnya udara dimalam hari.

Terdengar sesekali suara jangkrik yang bersahutan. Ditambah semilir angin yang berhembus pelan seolah saling menyusul.

Ia tersenyum tipis mengingat perkenalan singkat ditengah bazar dengan rintikan hujan deras, terlintas perkataan pemuda itu tentang ketakutannya pada suara gemuruh.

'Apakah rasa takutku berlebihan, sampai dia memberikan celetukan itu padaku,'batinnya.

Spontan ia membuka mata, menggelengkan kepalanya. Mengingat kembali kejadian malam itu, ketika ia menggenggam erat lengan dan wajahnya yang menyentuh dada pemuda itu.

"Sungguh Rukha, itu sangat tidak sopan, apa yang akan dipikirkannya tentang dirimu," ia berkata pada dirinya.

"Apa yang harus ku katakan jika bertemu lagi dengannya."

Wajahnya kembali memerah, ia terlihat resah dalam rasa malunya.

Tapi… akankah kami bertemu lagi?"

Rukha tenggelam dalam pikirannya sembari memandangi keindahan bulan purnama.

"Ghandy." Tanpa sadar, bibir indahnya menyebut nama pemuda peniup suling yang baru saja dikenalnya malam itu.

Disisi lain, pemuda peniup suling yang tak jemu memandang bulan purnama diatas cakruk bambu, juga sedang menyebut nama Sigadis bermata biru,

"Ruuukha," ucapnya sambil tersenyum tipis.

Mereka tenggelam dalam resah kerinduan yang dirasakan oleh hembusan angin malam dan disaksikan oleh biasnya cahaya purnama.

*****

Rumah joglo yang khas dengan saka atau tiang-tiang yang tinggi terlihat ramai. Para wanita paruh baya dan para gadis sedang melakukan kegiatannya masing-masing sambil bercerita dan bersenda gurau.

Ada yang sedang melipat kain Batik dan beberapa dari mereka terlihat mengangkat kain-kain yang sudah dilipat untuk disusun kembali kedalam lemari.

"Mbak Ayu kau dipanggil oleh Ibu Larasati," ucap seorang gadis yang datang dari arah dalam.

"Bu Larasnya dimana?" tanya Ayu

"Ibu didalam ruangan lemari Mbak."

Ayu yang sedang membantu para gadis yang lain melipat kain-kain Batik beranjak masuk kedalam.

Melewati tiang-tiang yang tinggi. Sampai ia masuk kedalam ruang yang besar dan berbelok kearah kanan, menuju ruangan yang terdapat beberapa lemari kayu jati bewarna coklat muda.

Tampak seorang wanita paruh baya menggunakan kebaya coklat yang dipadukan dengan kain batik, sedang berdiri menghadap satu lemari yang lebih besar dari lemari yang lainnya.

"Apa kau melihat kain Batik yang bermotif bunga Anyelir?" Tanya seorang wanita paruh baya yang sudah menyadari kedatangan Ayu.

"Kain itu, sudah laku terjual Bu."

"Terjual?" ucap Larasati sambil membalikkan badannya menatap Ayu.

"Bu Laras tidak tahu? Jadi, itu bukan atas persetujuanmu?" Tanya Ayu bingung.

"Kain itu Ku simpan dengan baik dilemari ini, kenapa bisa sampai terjual, siapa yang membawanya keluar?" Tanya Laras dengan lembut.

'Haduhh, Ternyata Ibu tidak tahu kalau Batik Anyelir itu dibawa ke pameran' ucapnya dalam hati.

"Mmm ma… maaf Bu, kain itu dibawa kebazar dan sudah laku terjual saat malam pertama pameran." Jelas Ayu sambil menundukan kepalanya.

Larasati salah satu seniman batik terbaik yang ada dikampung Batik Giriloyo.

Sifatnya yang lembut serta sabar, membuat gadis-gadis desa memilih sanggarnya untuk berlatih Seni Batik Tulis.

Banyak dari mereka memilih menetap bekerja pada Larasati untuk mengelola kedai batik bernama "Rumah Batik Giriloyo" milik Larasati.

Ayu adalah salah satu murid yang memutuskan untuk bekerja dengannya. Sudah sepuluh tahun ia bersama Larasati.

Segala urusan sanggar maupun kedai dipercayai oleh Ayu, jika Larasati memiliki urusan lain yang harus dikerjakan.

"Harusnya kau tahu Ayu, kain itu tidak untuk dipamerkan." Tegas Larasati.

"Ma… maaf Bu?" ucap Ayu merasa bersalah.

"Kau yang mengemasnya?" Tanya Larasati lagi.

Ayu menggelengkan kepalanya sembari ia mengingat sesuatu.

"Aaaah, waktu itu Melur yang mengemas kain-kain bagian ruangan ini." Jelas Ayu.

"Tapi, ini tetap salahku. Harusnya aku memeriksa kembali, karena itu adalah tanggung jawabku," ucap Ayu dengan suara yang semakin lambat dan pelan.

Larasati menghela napas panjang sambil memejamkan mata dan memijit keningnya.

Ayu tetap menunduk dengan rasa bersalahnya.

Ia mengetahui bahwa kain Batik bermotif dua bunga Anyelir berbeda warna itu adalah karya Larasati satu-satunya dan dibuat dengan waktu yang lama.

Ia menyadari, kain itu memiliki arti tersendiri bagi Larasati.

"Ya sudah, kau lanjutkan pekerjaanmu." Timpal Larasati.

"Baik Bu." Jawab Ayu yang masih sangat merasa bersalah.

Ia melangkah mundur perlahan dan membalikkan badannya. Berjalan menuju keluar, kembali ketempat tadi.

"Melur, kemarilah!" Panggil Ayu

Melur meninggalkan tumpukan kain yang sedang dilipatnya.

"Iya Mbak."

"Kau ingat dengan kain Batik motif Bunga Anyelir?" Tanya Ayu lembut.

"Aaaa… tentu aku mengingatnya Mbak. Karena itu motif satu-satunya yang berbeda dari yang lain." Jawabnya dengan percaya diri.

"Kain itu langsung laku terjual tidak lama aku memajangnya digantunngan Mbak." Timpalnya dengan semangat.

Sambil terpejam sesaat, Ayu menghela napas panjang.

"Apa ada masalah Mbak?" Tanya Melur penasaran.

"Melur, mulai dari sekarang. Jika ada yang ingin kau lakukan. Kau harus bertanya dulu denganku. Apalagi menyangkut kain-kain ini. Kau mengerti." Jelas Ayu.

Melur mengangguk menandakan ia memahami perintah Ayu.

"Kau kembalilah membantu yang lain." Tegas Ayu.

'Aku tidak bisa menyalahkan mu Melur. Kau masih baru disini. Tentu ada banyak hal yang belum Kau pahami dan kau juga masih begitu muda.' ucapnya dalam hati.

Larasati berdiri dengan tatapan seolah sedang mengingat sesuatu.

'Bahkan sebuah karyapun enggan bertahan bersamaku jika itu menyangkut tentang dirimu' batinnya.