webnovel

Ada Apa Dengannya?

Seira dan teman-temannya sedang menyantap makan siang di kantin kampus. Meskipun berbeda fakultas, mereka selalu bisa menyempatkan diri untuk berkumpul, dan melepas penat dengan berbagi gossip.

Kantin adalah tempat sempurna untuk mendapat informasi terkait kegiatan artis kampus atau hanya sekadar basa-basi, bahasan rencana organisasi setiap fakultas dan lainnya. Seira ada jadwal sendiri untuk itu, dan berkumpul pun dia jadwalkan.

"Ada apa dengan Arsyid?" Mery tiba-tiba berkata.

Uhuk!

Seira terbatuk tanpa sebab begitu nama Arsyid disebutkan. Buru-buru dia mengambil tisu yang disodorkan Ria.

"Ada apa dengannya?" tanya Seira yang justru mendapat tatapan aneh dari ketiga temannya. "Yah, cuman nanya kaena Mery dah ungkit," koreksinya.

Tatapan aneh itu masih mengarah, seolah menguliti Seira untuk mencari sesuatu yang tersembunyi.

"Enggak tau. Dia kaya diem, enggak seperti biasanya yang ikutan ketawa kek setan dipojokan sana," tunjuk Mery pada pojokan halaman kampus yang tampak terlihat dari kantin yang cukup terbuka.

Tatapan Seira mengikuti arah tunjukkan Mery, dan benar saja, Arsyid tampak diam. Bertanya-tanya dalam hatinya, ada apa dengan Arsyid? Biasanya dia akan baik-baik saja setelah bercerita pada Seira atas apa yang menimpanya. Namun, entah kenapa kali ini berbeda. Senyum yang ditujukannya pada Seira tak membuka sesuatu yang tersimpan di dalamnya.

"Meskipun pelit senyuman, dia bisa tertawa mirip malaikat maut yang siap mencabut nyawa. Tapi liat dia diem gitu, rasanya gue dah mati," cerocos Mery lagi. Semua pandangan teryuju pada kelompok senior yang bersama Arsyid.

Setiap ada kesempatan itu, mereka yang berkumpul di sana mendapat julukan kumpulan iblis. Selain karena ada senior yang penggerak mahasiswa, dari mereka banyak yang suka menggoda para mahasiswi dengan rayuan maut hingga receh. Kenapa di sebut kumpulan iblis? Mereka kalau ada yang memicu kemarahannya tidak ada ampun, termasuk Arsyid, yang jago sekali berkelahi.

"Lo kaya dah jatuh cinta aja sama Arsyid, tapi mulut lo pedes banget ngelak. Muna emang lo, Mer," sembur Ria.

Mery tak menanggapi apapun selain diam, pandangannya lurus ke kelompok itu. Seira apalagi, intens menantap Arsyid yang terlihat jelas dari posisinya. Jika boleh jujur, ada sedikit rasa tak nyaman menghampiri kala melihat tatapan dingin yang kosong itu.

"Ada apa dengannya?" menjadi pertanyaan yang kini bersarang dalam benak dan hatinya.

Penasaran dengan sikap lain Arsyid, Seira sampai begitu lama memperhatikan cowok itu sampai akhirnya salah tingkah sendiri kala Arsyid justru balas seolah menggoda dengan senyum tipis dan kedipan mata pada Seira.

"Astaga. Ada apa dengannya?" sekali lagi, pertanyaan itu terulang tapi dengan arti yang berbeda.

"Dia sebenarnya cakep, dan idaman kaum hawa," kata Mery yang masih setia memperhatikan kelompok itu.

"Lo beneran muna, ya, Mer. Bilang benci, tapi dalam hati bucin," komentar Ria. Dia berdecak.

Mery tak peduli karena begitulah dia adanya.

"Rasanya gimana tuh liat dia cuma diem aja, enggak ada tawa setannya," kata Mery. Sepertinya dia masih memperhatikan Arsyid.

Seira membalik tubuhnya, menarik pandangannya dari cowok itu, dalam hati bertanya. Arsyid tidak biasanya berwajah murung seperti itu. Meskipun pelit senyuman, tapi dia selalu mengurai tawa setan seperti yang dikatakan Mery. Tapi kali ini tidak.

"Apakah terjadi sesuatu? Astaga, ceweknya dia tuh gila kali ya," gumam Seira. Dia berpikir diamnya Arsyid karena baru saja putus hubungan. "Apa spesialnya cewek pemarah," gerutunya sebal.

Entah apa yang akan dilakukan Seira, tapi dia segera mengirim pesan pada Arsyid. Dia mengalihkan perhatiannya pada cowok itu yang tampak memegang ponsel, sepertinya membuka pesan dari Seira.

[Oke.]

Pesan balasan dari Arsyid masuk tak lama kemudian. Singkat sekali sampai membuat Seira berdecak tak percaya.

[Kutunggu sepulang kelas terakhir, malam ini!]

Seira mengirim pesan balasan, berharap cowok itu membalas lebih atau setidaknya sedikit penjelasan yang bisa mengubur resahnya yang baru saja hadir.

[Baiklah. Aku jemput nanti setelah ganti kendaraan.]

Balasan itu bukan yang di harapkan Seira, tapi setidaknya cukuplah sebagai balasan.

Hufs!

Embusan napas kasar terbuang dari sudut mulut Seira. Dia kesal entah karena apa. Tapi yang pasti ada hubungannya dengan Arsyid.

"Lihat saja, mampus kau!" katanya bagai janji yang harus dia lakukan nanti.

Belum banyak yang tahu bagaimana hubungan Seira dan Arsyid. Jadi tidak ada yang merasa aneh dengan sikap Siera. Namun, bagiamnapun, suatu saat nanti mungkin akan terkuak juga dan mengapa mereka memilih untuk menjaga jarak dari pandangan.

***

Seira baru saja selesai kelas terakhirnya. Dia menunggu di depan lapang parkir. Pandangannya mengitari setiap sudut yang gelap, mencari sesosok yang telah janji akan menjemputnyta begitu selesai.

"Sei, duluan," ujar salah satu teman sekelasnya.

"Ya. Hati-hari di jalan," pesan Seira. Temannya mengangguk.

Bukan hanya kelas kedokteran yang selesai malam, ada beberapa kelas dari fakultas lain juga yang selesai malam jadi Seira tak menunggu jemputan seorang diri.

"Nunggu jemputan?" Sesesuara berat menyapanya dari belakang membuat Seira menoleh lantas tersenyum kecil.

"Ya." Gadis itu menjawab, menarik kakinya untuk mundur selangkah agar tidak memunggungi sosok itu.

"Sayang sekali, padahal hendak menawari tumpangan," katanya sambil terkekeh.

Seira ikut terkekeh kecil sambil meundukkan kepalanya sesaat. Selalu saja begitu, ada sensasi lain kala dia berinteraksi dengan sosok itu. Kakak senior yang selalu bisa membuatnya terpana.

Kecanggungan hadir anatara mereka kala Seira tak lagi berkata. Sepertinya dia kehabisan stok kata untuk disampaikan sebagai basa-basi yang membosankan.

"Anu …."

Tiiit!

Suara klakson yang tak tahu malunya di tekan si pengendara mobil. Beruntung kacanya terlihat gelap jadi tidak tahu siapa yang duduk manis di kursi pengemudi. Tidak sopan sekali memang, mengganggu interaksi canggung ala Seira dan sang senior. Keduanya menoleh serempak dan Seira menggeram kesal begitu mengenali mobil yang terparkir tak jauh dari mereka berada.

Tidak ingin membuang waktu dan kembali berbincang yang entah apa dengan sang senior, Seira memilih untuk pamit lebih dulu dengan alasan kalau yang menjemputnya tidak cukup sabar untuk menunggu lima menit lagi.

"Kalua begitu, permisi, kak," ucap Seira mengangguk kecil pada sosok itu.

"Ah, ya. Hati-hati ya, Sei," pesan seniornya yang sebenarnya seorang cowok berperawakan tinggi, dengan wajah rupawan.

"Ya." Seira bergegas pamit.

"Sampai jumpa besok."

Sekilas Seira menoleh begitu mendengar seniornya berkata. Mengangguk sekilas lalu segera membuka pintu mobil tanpa melirik lagi cowok di belakangnya. Namun, begitu mengambil posisi yang nyaman, Seira harus mendapat sambutan tatapan dingin.

"Ayo pergi," titahnya dengan nada tak sabar.

Si pengemudi menurut. Melajukan mobilnya meninggalkan lapangan parkir gedung fakultas kedokteran itu. Seira menatap sosok yang memegang stir, heran dengan rautnya. Seharusnya dia yang kesal.