"Tan'er tidak mengerti maksud Pangeran." jawab Qu Tan'er. Jawabannya masih sama dengan sebelumnya.
"Selain kalimat itu, apa kamu tidak bisa menjawab dengan kalimat lain?" tanya Mo Liancheng sambil mengangkat alisnya. Dia tampak tidak senang dengan jawaban istrinya itu.
"Tidak bisa." tegas Qu Tan'er sembari mengangguk. Siapapun bisa berpura-pura bodoh, namun orang yang dapat berpura-pura tanpa celah sedikitpun adalah yang terbaik dari yang terbaik. Soal berpura-pura, dia sendiri mengaku bahwa dirinya adalah yang terbaik dari semuanya.
"Kamu sengaja membuatku kesal?"
"Tidak."
"Kamu seharusnya menjawab pertanyaanku." ujar Mo Liancheng.
"Apa yang Pangeran tanyakan?"
Mo Liancheng menyipitkan matanya dan bertanya, "Kamu sengaja ya?" Dia tak menyangka Qu Tan'er punya bakat untuk membuatnya memasang ekspresi marah yang jarang sekali muncul.
"Tidak." jawab Qu Tan'er singkat.
"Aku akhirnya mengerti kenapa dia memilih kamu."
"Tan'er tidak mengerti maksud Pangeran." kata Qu Tan'er. Dia tidak pernah mengerti dan tidak mau mengerti, karena dia tidak mau ikut campur urusan para pria. Gadis itu juga tidak mau terlibat dalam perebutan kekuasaan di istana, banyak sekali adegan-adegan seperti ini di TV. Kabarnya jika wanita terlibat dan tahu terlalu banyak, dia dan seluruh keluarganya bisa mati.
"Teruskan saja aktingmu itu. Jangan sampai kelihatan celahnya." kata Mo Liancheng dengan datar. Kemudian sudut bibirnya terangkat sedikit.
Qu Tan'er terdiam. Dia mengangkat kepalanya sedikit dan melihat Mo Liancheng. Selama dua tahun dia berpura-pura, ini adalah pertama kalinya ada seorang pria yang melihat celahnya dan mengetahui kalau dia berpura-pura. Kejadian saat memanjat tembok itu hanyalah kecelakaan, dia tidak bisa memastikan apakah mengenal Mo Liancheng merupakan sebuah keberuntungan atau musibah. Dia tidak peduli pada perkataan Mo Liancheng mengenai rencana Pangeran Pertama ataupun mengenai kepura-puraannya, tapi situasi saat ini sangat tidak menyenangkan.
Qu Tan'er teringat kembali perkataan Qu Jianglin saat Kaisar memerintahkan untuk menikah, sebagai ayah, apa yang diucapkannya saat itu tidak salah. Qu Jianglin meminta dirinya untuk berusaha mendapatkan kepercayaan dan kasih sayang dari Mo Liancheng. Namun ucapan Qu Jianglin itu kini membuat dia curiga bahwa dirinya hanyalah bidak catur yang ditempatkan di kediaman Pangeran Kedelapan. Qu Jianglin juga meminta dia untuk mematuhi segala perintahnya. Selain itu, ketika tinggal di kediaman Pangeran Kedelapan, segala sesuatu yang dilakukan harus demi keluarga Qu. Anak perempuan yang sudah menikah, namun masih harus melakukan segala hal demi keluarga Qu? Sungguh mencurigakan, bukan? Saat itu, Qu Jianglin mengatakannya tanpa basa-basi.
Sementara itu, Qu Tan'er yang tidak ingin ketahuan bahwa dirinya bukan putri kandung Qu Jianglin, hanya bisa mengangguk menyetujui semua perkataan pria tua itu. Jika dipikirkan lagi, kalau dia dan Pangeran Pertama memiliki hubungan dekat, maka Qu Jianglin mungkin berada dipihaknya. Dia mulai sakit kepala memikirkan semua ini. Sudahlah, aku tidak mau memikirkannya lagi, ujarnya dalam hati.
"Tan'er tidak…" Dia mengerutkan kening dan terus berpura-pura bodoh.
"Karena kamu sudah masuk ke kediaman Pangeran Kedelapan dan menjadi istri dari pangeran, maka segala aturan ini harus kamu ingat. Kalau tidak, air yang dangkal pun bisa menenggelamkan orang."
"..." Qu Tan'er terperanjat mendengar ucapan Mo Liancheng, pupil matanya membesar dan dengan raut tak percaya dia menatap pria itu. Apa pria itu sedang mengancam dirinya? Air dangkal juga bisa membuat orang tenggelam dan mati. Qu Tan'er mengerti maksud perkataan Mo Liancheng. Hanya saja… dia mulai bergidik. Aura dingin tiba-tiba mencekam, apa ini karena cuaca sekarang mulai dingin?
"Aku tidak menuntut banyak, hanya ada beberapa hal yang harus kamu patuhi."
"Baik. Tan'er mengerti. Tan'er akan mengingatnya dengan baik. Saat masih di kediaman Qu, aku harus mengikuti perintah ayah. Saat sudah menikah, aku harus mengikuti perintah suami. Jika suami… suami meninggal, aku harus mengikuti perintah anak laki-laki. Katakan saja apa yang Pangeran inginkan, aku akan mendengarkan." jawab Qu Tan'er sambil tersenyum lembut. Dengan patuh dia mendengarkan kata-kata Mo Liancheng.