webnovel

28. Dalam Pengawasan

"Lain kali lo jangan asal metik bunga melati lagi ya, Kina. Lihat tuh Andrea sama Felic tadi pagi kayak yang bener-bener ketakutan." Peringat Likha yang seraya membawa sebuah keranjang baju yang tampak ringan. Memang pakaian kotornya tidak terlalu banyak.

Kina yang juga membawa beberapa pakaian miliknya yang hanya ia gulung sembarangan itu mengangguk saja. "Iya iyaaa… lagian gue emang gak sengaja. Kebiasaan gitu dari dulu kalau ngelewatin bunga-bungaan suka gemes kepingin petik, hehehe…"

"Pokoknya jangan diulangi lagi. Gue juga jadi heran, masa hasil petikan bunga melati yang gak seberapa itu wanginya sampai semerbak memenuhi kamar. Padahal ya, setahu gue kalau bunga melati yang udah dipetik itu harumnya cepet banget ilang. Apalagi kalau udah layu, harusnya gak sebau itu sih. Waktu lo ngeluarin semua bunga itu dari saku jaket lo, bunga-bunganya juga udah pada agak kempes dan kecoklatan kan…"

Kina mengangguk lagi. "Iya juga sih. Eh udah lah jangan mikirin yang itu. Iya gue gak bakal ngulangin lagi. Tapi ini seriusan kita nyuci baju di sini? Kenapa gak ajak barengan aja sih?"

Likha menghela napasnya dan langsung menumpahkan pakaiannya dari keranjang baju pada sebuah ember plastik lingkaran ukuran sedang. "Nggak lihat ini area nyucinya cuman segini doang? Muatnya juga buat berdua doang nyucinya." Jelasnya dengan sabar, seraya mengikat bagian depan kerudung segi empatnya ke belakang leher, agar tidak basah.

Terpaksa, Kina pun akhirnya ikutan berjongkok, duduk di sebuah kursi kayu kecil yang memang digunakan orang untuk mencuci pakaian agar bisa duduk lebih santai. Ia juga melakukan hal yang sama seperti Likha, menempatkan semua baju kotornya ke dalam sebuah ember plastik.

"Ya seenggaknya kita nyuci di kamar mandi para cowok aja kek." Ujar Kina yang masih mempermasalahkan perihal tempat mencuci pakaian.

"Ih udah lah jangan rewel. Kamu agak ngerasa jorok ya nyuci di sini?"

"Gak gitu, Likha. Lihat deh, tempat cuci baju ini kayak gak pernah dipakai. Mana mesin cucinya gak berfungsi pula. Kayak rasanya jauh banget gitu dari temen-temen kita yang ada di dalam."

Likha berdecak pelan, sambal mengarahkan selang air untuk memenuhi embernya. "Jangan mikir yang aneh-aneh, namanya juga lagi berada di tempat yang bukan rumah kita, jadi memang gak terbiasa. Lagian kalau kita nyuci di kamar mandi yang dipake para cowok, gak nyaman. Kita ngangkut cucian kita dari sana ke sini gitu? Yang ada kita ntar malem encok."

"Hahahaha, bisa aja lo."

"Udah jangan berisik, kita harus nyuci cepet biar pada gentian juga. Mumpung hari ini cerah dan mungkin bakalan panas, cucian juga jadi cepet kering ntar."

Kina mengangguk setuju. Kemudian dua gadis itu mulai fokus mencuci pakaian mereka dengan cara mengucek alami menggunakan kedua tangan.

Sebenarnya villa itu tidak terlalu tua, perabotan di dalam villa itu semuanya juga termasuk bagus dan lengkap. Hanya saja bagian belakang seperti peralatan dapur atau mesin cuci ini lah yang kurang saja.

Seharusnya mesin cuci dirawat juga sebaik mungkin, agar si penyewa tidak kecewa dan harus mencuci menggunakan tangan seperti itu.

Ruang mencuci pakaian itu memang terletak di belakang villa. Tepat sebelum area perkebunan. Ruang mencuci itu tertutup, tidak terbuka. Namun jika sedang digunakan seperti ini pintu ruangan mencuci itu harus dibuka agar udara segar bisa masuk.

Alhasil, Kina dan Likha yang sedang mencuci berhadap-hadapan itu, mereka bisa melihat pemandangan pekarangan belakang yang mereka kelilingi kemarin.

Di sini, yang sedikit terganggu adalah Kina, sementara Likha terlihat enjoy saja mencuci pakaiannya satu demi satu dan gadis itu fokus.

Sesekali, Kina terus menoleh pada pot besar yang memuat bunga melati itu. Sejak awal ia memang selalu merasa tertarik dengan tanaman itu. Karena bentuk tanaman melati itu benar-benar sangat teratur, tidak merambat sembarangan dan dedaunannya pun tidak menjalar sembarangan seperti tanaman melati pada umumnya.

Gadis itu juga masih saja tertarik pada syal tipis yang dibalutkan pada batang tanaman melati itu.

Namun, Kina dibuat terkejut oleh kemunculan seorang pria brewok dengan tatapan tajam dan selalu menggenggam celurit di tangan kanannya. Refleks karena kaget, Kina yang sedang mengucek itu kuku jemarinya mencakar punggung tangannya yang satunya.

"Akh!!" Pekik Kina pelan.

Likha langsung mendongak. "Kenapa lo?"

"Ah, ini kecakar sendiri sama tangan gue. Eh, lihat deh di pekarangan. Mang Asep ngelihatin kita mulu." Bisik Kina memberitahu Likha.

Likha yang langsung penasaran itu langsung menoleh ke arah pekarangan belakang. Benar yang Kina katakan, Mang Asep sedang berdiri di belakang barisan tanaman soka yang rimbun. Pria itu menatap mereka berdua.

Buru-buru Likha langsung kembali menatap cuciannya saja. Ia pun sedikit ketakutan dengan tatapan Mang Asep yang seperti ingin memangsa manusia.

"Ih iya, dia kenapa ya Kin?"

Kina mengedikkan kedua bahunya sambal terus mengucek. "Mana gue tahu. Gue jadi nyesel celingukan ke arah sana. Bener lo deh, mending kita buru-buru selesaiin ini cucian."

Likha mengangguk. "Iya. Ntar jemurnya barengan ya."

***

Sekitar tiga puluh menit sudah mereka berdua mencuci. Kini Likha dan Kina masih berada di belakang rumah. Di hamparan terbuka tempat untuk menjemur pakaian.

Terdapat bentangan kawat-kawat yang lumayan panjang dan kuat, totalnya ada enam barisan. Lumayan muat jika digunakan untuk menjemur pakaian semua orang, jika semua mahasiswa itu mencuci pakaiannya hari ini. Namun nyatanya baru Kina dan Likha saja yang selesai mencuci pakaian.

"Kin, di sini cocok deh." Ujar Likha yang sukses memilih tempat lain untuk menjemur pakaian dalam wanita.

Kina menyengir dan terkekeh geli. "Ada gantungannya nggak?"

"Ada. Banyak tuh. Kayaknya emang di sini deh yang khusus jemur pakaian dalam. Mungkin pemiliknya dulu juga cewek, jadi ada tempat beginian." Ujar Likha sambal terkekeh.

Mereka pun langsung menjemur pakaian dalam mereka berjejeran dengan gantungan baju yang disebut hanger kawat.

Selesai, Kina dan Likha sama-sama membawa ember masing-masing untuk dikembalikan di tempat cucian. Namun mereka berdua bertemu lagi dengan Mang Asep yang misterius. Namun pria itu kini berdiri di tempat yang berbeda, tepat di belakang pohon manga besar yang di sana terdapat pot tanaman melati yang membuat Kina tertarik sejak kemarin.

Likha pun memutuskan untuk menyapa. Tidak enak saja jika terus dilihat namun tidak saling sapa. Gadis itu mengangguk dengan melemparkan senyum sopan. "Pagi Mang… kami berdua baru selesai mencuci pakaian. Mang Asep lagi keliling di pekarangan ya?"

Sedangkan Kina menciut, ia berdiri menempel pada tubuh Likha.

"Iya. Setiap hari saya seperti ini. Untuk mengawasi semua hal yang ada di sini." Ujar Mang Asep.

Likha tersenyum dengan cengiran ragu. "Ah, gitu ya Mang. Ya sudah kami kembali dulu ke dalam."

"Ya, silakan."

Lalu Likha dan Kina mulai melangkah berbelok ke kanan, untuk masuk ke pintu yang terhubung pada ruangan mencuci pakaian.

Namun, suara Mang Asep kembali terdengar.

"Tunggu, saya mau kasih pesan." Seru Mang Asep. Membuat Langkah Kina dan Likha terhenti, kepala mereka kembali menoleh menatap pria tua itu.

"Ada apa ya Mang?" Tanya Likha.

"Jangan sembarangan petik bunga di sini. Apalagi bunga melati ini. Kalau sayuran terserah kalian, tapi jangan sembarangan petik bunga-bunga apa pun. Paham?" tegas Mang Asep.

Kina pun langsung menelan ludahnya. Ia merasa bersalah sekaligus merinding, mengapa seakan-akan Mang Asep tahu jika Kina kemarin memang memetik bunga melati itu?

"I-iya Mang, paham. Nanti saya sampaikan ke teman-teman yang lain." Ujar Likha yang sejak tadi berani tak berani untuk terus menanggapi Mang Asep.

Lalu Mang Asep hanya mengangguk sekali. Tetapi dengan tatapan lurus yang tajam pada Kina, membuat gadis itu meraa gugup dan ketukan. Bahkan tangan kanan Kina sudah mencengkeram erat bagian siku kiri Likha.

Mereka berdua memutuskan untuk menunggu Mang Asep pergi. Pria itu berjalan menjauhi area belakang rumah.

Lalu Likha dan Kina saling bertatapan sambal menghela napas berat. "Gila, gue takut banget Lik. Masa iya dia tahu kalau kemarin gue petik----"

"Huuusshh!! Udah udah jangan lo bahas. Makanya tadi gue bilang, jangan sampai lo ulangin lagi. Oke?"

Kina mengangguk-angguk seperti anak kecil yang ketakutan. Kemudian mereka berdua bergegas masuk dan menutup pintu belakang ruang mencuci pakaian tersebut.

*****