webnovel

Cakya

Cakya yang terkenal dingin, dan jarang bicara. Seketika dunianya berubah ketika dihadapkan dengan gadis pindahan dari luar kota. Ada apa dengan gadis ini...? Mengapa dia sanggup menjungkirbalikkan dunia Cakya yang damai.?

33nk · Adolescente
Classificações insuficientes
251 Chs

Kamu yang kuat dek

Sinta masih menatap surat pernyataan yang ada dihadapannya saat ini. Dokter sudah menjelaskan kalau Dirga mengalami patah tulang rusuk, salah satu patahan tulang menusuk paru-parunya.

Kaki Dirga yang kiri juga patah hanya berjarak 10 cm di bawah lutut, bahkan masih ada kayu yang menusuk menembus kulitnya.

"Ini bukan main-main, kita harus segera mengoperasi pasien. Kalau ditunda, bisa membahayakan nyawa pasien", dokter kembali menjelaskan.

Sinta segera menandatangani surat tersebut. Dokter dan suster langsung bergerak membawa Dirga keruang operasi.

Seorang polisi menghampiri Sinta. "Maaf, anda keluarganya pak Wiratama...?", polisi tersebut bertanya setelah memberi hormat.

"Saya sekretaris Pak Wiratama", Sinta menjawab pelan.

"Anda bisa ikut saya sebentar", polisi itu kembali berbicara.

Sinta mengikuti langkah polisi tersebut, ternyata polisi tersebut menuju kamar mayat. Seorang petugas langsung membuka selimut salah satu pasien yang terbaring kaku.

"Innalilahi wainailahirojiun", Sinta terduduk lemas, saat melihat wajah pak Wiratama yang terbaring kaku diatas tempat tidur.

"Anda tidak apa-apa...?", pak polisi bertanya cemas.

"Saya baik-baik saja pak, saya hanya terkejut", Sinta bicara pelan. Sinta berusaha keras mengantrol emosinya, Sinta menarik nafas panjang agar merasa lebih tenang.

"Bisa kita bicara diluar saja...?", pak polisi memberi saran.

Sinta mengikuti pak polisi keluar dari kamar mayat. Mereka memilih duduk disalah satu kursi ruang tunggu yang ada diluar.

"Pak Wiratama mengalami kecelakaan pada pukul 11 malam, mobilnya masuk kejurang. Dari TKP kami tidak melihat ada lawan, ataupun jejak mobil bahkan motor lain. Kami memperkirakan pak Wiratama saat menyetir dalam keadaan mengantuk", pak polisi menjelaskan panjang lebar.

"Pak Wiratama memang kurang tidur akhir-akhir ini pak, karena masalah pribadi", Sinta masih tidak percaya dengan apa yang dilihatnya barusan.

Muka Pak Wiratama rusak setengah. Walaupun demikian Sinta bisa mengenali bosnya itu dengan baik, bahkan pak polisi menyerahkan semua barang pak Wiratama dan Dirga yang ditemukan di TKP.

"Apa keluarganya sudah diberi tahu...?", pak polisi kembali bertanya.

"Belum pak. Pak Wiratama punya ibu dengan penyakit jantung. Sedangkan istrinya, pak Wiratama sudah bercerai beberapa hari yang lalu. Putra bungsunya sedang dipenjara. Putra sulungnya, Dirga sedang diruang operasi. Kalau putrinya pak Wiratama, sampai sekarang saya belum bisa hubungi pak", Sinta menjelaskan panjang lebar.

"Apa perlu kita lakukan otopsi...?", pak polisi menawarkan opsi lain.

"Saya rasa tidak perlu pak, hanya saja saya tidak bisa langsung membawa zenazah pak Wiratama ke Sungai Penuh. Saya harus menunggu perkembangan Dirga, agar bisa sekalian dipindahkan ke rumah sakit umum di Sungai Penuh saja pak", Sinta menjelaskan apa yang dia rencanakan.

"Kalau urusan itu, anda langsung hubungi pihak rumah sakit saja. Karena itu diluar wewenang saya", pak polisi menjelaskan.

"Baik pak, kalau begitu saya permisi", Sinta mohon diri.

Sinta langsung mengurus administrasi pak Wiratama, sekaligus Dirga. Setelah operasi, Dirga dipindahkan keruang rawat.

***

Erfly masih bersikap dingin kepada Cakya, bahkan Cakya sudah kehabisan akal untuk membujuk Erfly.

Mayang sesekali menghampiri Cakya dan Gama, dia sudah berani untuk berinteraksi dengan teman-teman sekelas lainnya.

"Cakya kenapa sama Erfly...?", Mayang bertanya kepada Cakya, saat Erfly keluar kelas jam istirahat.

"Lagi dapet kali, sensian", Cakya menjawab asal. Cakya meneguk minumannya.

"O... Kirain gara-gara Mayang dekat sama Cakya", Mayang bicara polos.

Cakya tersedak minumannya sendiri, mendengar pengakuan Mayang barusan.

"Cakya g'ak apa-apa...? Pelan-pelan minumnya", Mayang menghapus sisa air dimuka Cakya dengan tisu yang dibawanya.

Erfly terpaku diam menatap Mayang yang mengusap muka Cakya dengan tisu.

"Oi... Ngelamun aja", Gama menyukut lengan Erfly.

"Apaan sih", Erfly menjawab kesal. Erfly membatalkan niatnya kembali ke dalam kelas, malah duduk di daun pintu kelas.

Gama duduk disamping Erfly, dengan santainya ikut nimbrung makan roti yang dipegang Erfly.

"Kenapa...? Sewot amat neng", Gama kembali menggoda Erfly, menyikut lengan Erfly pelan.

"G'ak", Erfly bicara malas, kemudian memasukkan potongan roti kedalam mulutnya.

"Cemburu melihat Cakya dekat sama Mayang...?", Gama mencoba menebak alasan Erfly berubah akhir-akhir ini.

"G'ak", Erfly menjawab ngotot.

Gama malah tertawa lepas, "Kalau g'ak, jawabannya jangan ngegas gitu dong", Gama kembali tertawa.

"Apaan sih"

"Kan kamu yang minta Cakya buat deket sama Mayang, lha... Sekarang mereka udah akrab, kok malah kamu yang sewot sendiri"

"Mereka... Udah jadian ya...?"

"Kalau udah kenapa...? Cemburu...?"

"Ya... G'ak gitu juga"

"Kalau g'ak santai dong. Jujur ya, Gama tu kangen lho kita ngumpul bareng lagi bertiga. Ibunya Cakya juga nanyain kamu mulu tuh, apalagi ayahnya Cakya"

"Bokis"

"Siapa yang bokis, beneran. Ayahnya Cakya nanyain mulu, kenapa calon Mantu masadepannya g'ak pernah main kerumah lagi. Malah Cakya sampai diintrogasi, dikira putus sama kamu"

"Kapan Cakya nembak Erfly...?"

"Cie... Ngarep ditembak sama Cakya", Gama menggoda Erfly.

"Apaan sih", Erfly langsung membekap mulut Gama, kemudian menoleh kearah Cakya, takut Cakya mendengar omongan Gama.

Gama berusaha keras melepaskan bekapan tangan Erfly. Kemudian menghirup udara sebanyak-banyaknya.

"Kamu mau bunuh Gama, sesak nih", Gama bicara kesal.

Erfly nyengir kuda, "Ntar istirahat kedua, Erfly traktir makan siang", Erfly mengeluarkan jurus andalannya.

"Oke kalau gitu", Gama kemudian melangkah masuk kedalam kelas.

"Maunya...", Erfly nyeletuk kesal. Gama malah tertawa terbahak-bahak melihat kekesalan Erfly.

***

Sudah 2 hari Dirga dirawat dirumah sakit, Dirga sudah bisa bergerak turun dari tempat tidur walaupun harus dipapah atau memakai kursi roda.

Sinta sudah mengurus surat kepindahan Dirga kerumah sakit Umum Sungai Penuh. Karena hanya menunggu masa pemulihan Dirga malah langsung diizinkan pulang.

Sinta sudah mengurus kepulangan zenazah pak Wiratama, bahkan Sinta sudah menghubungi pengacara pak Wiratama untuk mengurus pemakaman pak Wiratama.

Sinta juga telah menelfon kepala rumah tahanan, untuk meminta izin agar Candra diizinkan menghadiri pemakaman ayahnya.

Sinta menyewa pesawat kembali ke Sungai Penuh, agar perjalanan lebih cepat. Sepanjang perjalanan Dirga hanya terpaku bisu, sejak dia diberitahu oleh Sinta ayahnya meninggal saat kecelakaan. Dirga selalu diselimuti awan mendung yang setia mengikutinya kemanapun.

Pak Wiratama segera dimakamkan dipemakaman keluarga Wiratama. Candra tidak menangis sedikitpun, malah Dirga yang meraung-raung diatas makam pak Wiratama.

"Maaf, saya harus kembali membawa Candra ke rutan", kepala rutan menghampiri Sinta yang bersandar dipundak Candra.

Sejak pemakaman, Sinta meletakkan kedua telapak tangannya di pundak Candra, kemudian membiarkan kepalanya bersandar nyaman. Sinta tidak kuat berdiri sendiri, karena tubuhnya terasa lelah kurang tidur beberapa hari belakangan.

"Candra pamit mbak", Candra menyalami punggung tangan Sinta.

Sinta langsung menarik Candra kedalam pelukannya, "Kamu yang kuat dek", Sinta berbisik pelan didaun telinga Candra, suaranya terdengar berat karena menahan tangis.

Candra malah mengeratkan pelukannya, tangisnya pecah tidak mampu dibendungnya lagi. Pertahanannya runtuh seketika, Sinta menepuk-nepuk pelan punggung Candra memberi kekuatan kepada Candra agar tetap kuat.

Disisi lain, pak Lukman memperhatikan Candra dan Sinta. Bahkan pak Lukman sudah ada di pemakaman jauh sebelum zenazah pak Wiratama datang dengan ambulance.