Nina dan Rara memilih duduk di deretan kursi ketiga dari belakang, meskipun Nina sebenarnya lebih senang jika bisa duduk dideretan depan karena lebih leluasa untuk bertanya pada guru, tapi karena itu adalah pilihan Rara, maka dia menurut saja.
Suasana kelas tidak jauh berbeda dengan diluar kelas. Ramai dan berisik. Nina mengedarkan pandangannya ke seluruh kelas. Banyak wajah-wajah lama di kelas 2 yang masuk kelas yang sama dengannya. Meskipun ada juga beberapa wajah baru yang jarang Nina lihat karena mereka belum pernah berada dikelas yang sama dengannya sebelumnya.
Gadis itu mengeluarkan buku dan alat tulisnya lalu dia jejerkan rapi diatas meja. Jadi ini rasanya kelas 3? Dia merasa kagum dengan dirinya yang ternyata sudah menjadi senior dikelas paling tinggi disekolah.
Murid-murid kini mulai memenuhi hampir semua bangku, meski bangku depan belum penuh karena rata-rata mereka mengisi bangku paling belakang terlebih dulu. Tidak lama 2 orang cowok nongol dari pintu kelas dan berjalan ke bangku belakang yang sengaja dikosongkan 2 buah untuk mereka berdua.
Rara sedang asik mengobrol dengan Nathan yang duduk dikursi sebrang kami saat sebuah suara yang berasal dari salah satu cowok itu nyeletuk dengan nada sengit yang ditujukan pada Rara.
"Eh, jadi gue sekelas sama cewek kasar itu, ya? Benar-benar sial nasib gue."
Rara mengenali suara itu, betapa tidak, pemilik suara itu paling senang mencari masalah dengannya sejak kelas 1. Hanya karena insiden ketumpahan saus siomay dikantin, cowok itu selalu saja sengit jika bertemu dengannya, dan selalu bicara dengan nada sinis untuk memancing kemarahan Rara. Padahal gadis itu sudah meminta maaf padanya dan hei, kejadian itu'kan sudah lama sekali.
Rara menoleh. Wajahnya langsung berubah kesal melihat Novan, si pemilik suara yang kini menatapnya sinis itu.
"Gue lebih sial lagi satu kelas sama lo. Elo sengaja'kan masuk kelas yang sama dengan gue? Cih...," kata Rara ketus.
"Amit-amit. Gue juga ogah sekelas sama monster kayak lo." balas Novan tidak kalah ketus.
"Apa lo bilang? Ngajak berantem, ya?" Rara berdiri dari kursinya. Mereka berdua sudah menjadi pusat perhatian sekarang. Ya, tidak ada yang tidak mengenal mereka berdua. Orang-orang menjuluki mereka berdua Tom dan Jerry Gantara. Tidak pernah akur.
Novan sudah siap untuk maju saat Nina akhirnya memutuskan untuk berdiri dan melerai mereka berdua. "Udah hei. Ini baru hari pertama. Tolong jangan ribut."
Rara mendengus. "Dia duluan cari ribut. Haaahh... kalo tau gue sekelas sama kecoak macam dia, gue bakal minta pindah kelas. Sial banget sih. Mimpi apa gue semalam."
"Heh. Gue bisa denger omongan lo."
"Bagus kalo lo denger. Biar lo tau kalo gue ga sudi sekelas sama lo."
Nina menarik tangan Rara dan meminta gadis itu tenang. Rara mengambil air mineral yang memang selalu dibawanya ditas dan menghabiskannya dalam sekali teguk. Dia tidak habis pikir, kenapa dia bisa melewatkan nama kunyuk satu itu, padahal dia sudah membaca satu persatu nama teman-teman sekelasnya yang baru.
Bel sebentar lagi akan berbunyi, kini semua kursi telah penuh, hanya tersisa satu kursi yang masih kosong yaitu di depan meja guru, disebelah Yeni, yang akhirnya tidak mendapatkan teman sebangku karena datang terlambat. Gadis itu menjadi bahan olokan karena tidak mendapatkan teman sebangku lalu duduknya berhadapan dengan guru.
"Si Yeni itu nasibnya sial sekali, ya." bisik Rara.
"Jadi lo ga sial-sial banget dong karena sekelas sama Novan?" goda Nina.
"Ih, gue juga sial karena sekelas sama dia. Kok lo bahas dia terus sih, gue jadi kesal lagi'kan." Rara manyun.
Nina hanya tertawa. Bel akhirnya berbunyi menandakan hari pertama bersekolah dimulai. Semua orang tidak sabar ingin tahu siapa yang akan jadi wali kelas mereka di kelas 3 ini.
Klotak... klotak...
Suara langkah kaki dari sepatu hak tinggi yang beradu dengan lantai menimbulkan suara berisik. Rara dan Nina saling berpandangan. Rasanya mereka tahu siapa pemilik langkah kaki itu. "Nenek sihir." kata Rara.
Langkah itu kemudian berhenti didepan ruang kelas, dengan rambut di sanggul tinggi, memakai kacamata tebal dan riasan yang tipis, wali kelas mereka yang baru masuk kedalam kelas dengan langkah penuh percaya diri.
Dia adalah guru matematika jutek yang sudah terkenal seantero sekolah, selain terkenal jutek, guru ini juga terkenal sebagai perawan tua karena masih belum menikah sampai sekarang diusianya yang mau menginjak 38 tahun. Orang-orang memanggilnya Ibu Lulu.
"Selamat pagi semua. Senang bisa bertemu kalian lagi," sapa bu Lulu dengan suara lantang.
"Pagi bu." balas murid-murid.
Bu Lulu tidak tersenyum. "Ah sebelum kita mulai pelajaran hari ini, saya akan memperkenalkan seseorang yang akan bergabung bersama kalian belajar dikelas ini. Ayo sini masuk." Bu Lulu melambaikan tangannya kearah pintu keluar, semua murid menatap kearah pintu dimana tiba-tiba saja seorang murid cowok masuk kedalam.
Dengan langkah ragu dan terlihat tidak nyaman, cowok itu terus menunduk dan berdiri disebelah bu Lulu.
"Namanya adalah Rian. Sebagian dari kalian mungkin ada yang mengenalnya. Dia adalah kakak kelas kalian, kalian tolong baik-baiklah padanya dan bantu dia."
Murid-murid berbisik-bisik. Kakak kelas? Apa itu artinya dia tidak lulus? Kemungkinan tinggal kelas hanya ada 2, yaitu dia berandalan yang suka membuat onar, atau dia terlalu bodoh untuk diluluskan tahun ini?
"Untuk tempat duduknya, ah, sementara kamu duduk disana." tunjuk bu Lulu pada bangku kosong disebelah Yeni. Rian melangkah dengan ragu-ragu dan meminta ijin pada Yeni untuk duduk disebelahnya. Yeni yang terlihat tidak menyukai itu hanya bisa pasrah. Yah, siapa juga yang mau duduk bersama seseorang yang tidak lulus?
"Ah, double kill. Kasian Yeni." kata Rara.
Hari pertama sekolah dimulai dengan pengenalan murid-murid dikelas dan dilanjutkan dengan pembentukan pengurus kelas. Novan dinobatkan sebagai ketua kelas oleh murid-murid lain dengan suara hampir mutlak. Yah hampir, karena ada satu orang yang menolak memberikan suaranya pada Novan dan memilih untuk golput, dia adalah Rara.