webnovel

Bukan Pilihan

Pukul tujuh belas lima menit, David sudah menunggu Adelia di parkiran gedung perkantoran yang tadi siang ia datangi. Para pekerja satu persatu sudah mulai meninggalkan kantor. Beberapa menghampiri pasangannya yang menunggu di parkiran sama seperti David. Ada yang tengah hamil, ada yang dijemput oleh suami dan anak-anaknya. Sebuah pemandangan yang membangkitkan harapan David akan kejadian masa depan yang mungkin akan dilaluinya bersama Adelia.

Dari lobi gedung tampak Adelia keluar sambil membawa tas jinjing dan beberapa berkas dalam map berwarna biru. Ia tampak melambaikan tangan pada rekan kerjanya, lalu melangkah dengan ringan ke arah mobil David. Wajahnya masih segar seperti tadi siang. David menduga sebelum pulang ia merias ulang lagi riasannya. Sama seperti rekan guru David pada umumnya.

“Udah lama ya?” ujar Adelia begitu membuka pintu.

“Ah, enggak, paling sepuluh menit,” jawab David sembari mengenakan sabuk pengaman. “Ini langung ke rumah atau kemana dulu, Del?” lanjut David.

“Emang mau ajak aku kemana?” Adelia mengerling dengan manja.

“Hah? Ya enggak, siapa tahu kamu ada keperluan apa gitu,” kilah David.

“Yaah, padahal aku udah lama pengen makan jagung bakar stadion, tapi nggak ada yang ngajak,” kata-kata Adelia terhenti saat jemari David meraih dagunya dan menariknya lembut sehingga wajah mereka berpandangan.

“Kan tadi udah ditawarin, Sayangku, mau kemana? Jawab aja mau makan jagung bakar stadion, Vid. Terus nanti aku jawab, oke meluncur! Beres kan?” celoteh David disambut dengan tawa kecil Adelia.

“Hehehe, ya sudah di ulang ya?” pinta Adelia masih dengan kemanjaannya.

Tanpa menunggu persetujuan David, Adelia mengulang dialog mereka berdua tadi. David dengan penuh canda menyambut dialog setingan itu dengan ekspresi yang dibuat-buat. Kabin mobil itu penuh dengan tawa pasangan sejoli yang kembali menemukan chemistry. Suara musik di head unit menjadi terdengar sayup-sayup.

Jagung bakar stadion, sebenarnya tak terletak di stadion. Melainkan bekas stadion yang diubah menjadi sentra kuliner oleh Pemerintah Kota. Menaungi para UMKM seantero kota dengan kuliner yang beraneka ragam. Namun yang paling tersohor adalah jagung bakarnya. Suasana yang sejuk karena dikelilingi banyak pohon beringin dan view landscape tepian kota membuat tempat ini menjadi favorit para sejoli. Terutama di malam minggu.

“Udah lama nggak kesini ya?” gumam Adelia.

Adelia setengah menghempaskan dirinya di kursi plastik dengan sandaran 120 derajat yang cukup nyaman. David menghampirinya setelah selesai memesan jagung bakar. Ia duduk di sebelah Adelia menghadap view tepian kota favoritnya. Ia memperhatikan sebentar gadis cantik pilihannya, terpejam beberapa saat dan menghirup udara dalam-dalam, lalu membuka mata penuh kelegaan.

“Happy amat, Del?” buka David setelah melihat kekasihnya begitu menikmati suasana, terpancar dari senyum lebarnya.

“Terakhir ke sini ya sama kamu, Vid. Udah berapa bulan lalu itu ya?” tanya Adelia.

“Itung-itunganku lemah, Del.” David berkelakar, sebenarnya ia tak ingin mengingat saat-saat pahit diputuskan oleh gadis cantik sebelahnya. “Del, liat deh!”

David menunjuk sepasang suami istri yang duduk tak jauh darimtempat mereka. Sang suami tampak mengelus-elus perut istrinya yang tengah hamil besar. Keduanya tak henti-henti menyunggingkan senyum dan tawa. Mata mereka begitu berbinar menyebarkan kebahagiaan kepada orang-orang di sekeliling mereka. David dan Adelia saling berpandangan.

“Kenapa senyum-senyum? Mau juga?” ledek David.

“Hah? Mau lah, tapi nggak sekarang dong. Seneng liatnya, bahagia banget tu pasangan,” ujar Adelia masih dengan senyum merekah di bibirnya.

“Mau berapa kali?” tanya David datar, seolah hanya kata-kata biasa yang ia ucapkan.

“Dih, beneran ini direncanain dari sekarang mau berapa?” tanya Adelia.

“Enggak sih, terserah aku aja ya berarti?”

Adelia tak menjawab. Ia tersenyum namun hatinya bergejolak. Tentang syarat dari Ibunya David. Ia rasa tak akan jadi masalah karena ia tidak hamil. Namun tetap saja ia tetap buruk di mata calon mertuanya sampai saat itu tiba. Belum lagi sampai sekarang ia tak tahu apa yang akan ia katakan kepada Papanya jika tak kunjung hamil.

“Del, minggu depan gimana caranya biar keadaan tetap kondusif ya?” buka David. Ia masih merisaukan rencana kunjungan keluarganya ke rumah Pak Ruslan. Karena tak mungkin pertemuan itu menjadi pertemuan biasa.

“Keadaan yang gimana, Vid?” tanya Adelia sambil menggigit sedikit jagung bakar.

“Iya, gimana caranya biar Papa nggak keluar kata-kata kalo kamu hamil ke orang tuaku? Dan gimana caranya meyakinkan orang tuaku kalo Mama benar-benar sakit?” terang David.

“Eum, kalo Mama bisa aku kondisiin, Vid. Papa ini yang agak susah, mungkin harus ada treatment khusus. Dah, Vid soal itu biar aku aja yang mikirin. Kamu cukup buat orang tuamu percaya keadaan Mama, oke?” pungkas Adelia. Ia bersikap begitu biasa, seolah hal yang dirisaukan David tak termasuk hal yang mampu mengganggu pikirannya.

David mengangguk setuju. Orang tua David sebenarnya merasa rendah diri kepada orang tua Adelia. Latar belakang kehidupan utamanya yang menyebabkan hal itu. Terutama Bapak yang hanya petani kecil tentu merasa tak pantas bersanding dengan Papa yang pengusaha mebel dan furniture. Itu sudah diungkap Bapak jauh hari saat pertama kali David mengajak Adelia singgah di rumah di hari raya Idul Fitri.

***

Lepas magrib David dan Adelia sampai di rumah. Pak Ruslan dan Bu Ratri menyambut mereka berdua masih dengan perlengkapan sholatnya. Pak Ruslan mengajak David berbincang di ruang tengah tempat beberapa hari lalu David diadili. Sementara Adelia bergabung dengan Mamanya menyiapkan makan malam.

“Kata Adelia, kamu nggak mau tinggal di sini, Vid?” tanya Pak Ruslan langsung ke intinya.

“Itu pun kalau Papa nggak keberatan. Sekalian kami ingin belajar mandiri, Pa,” jawab David.

“Kalo Papa sih terserah David aja, toh setelah menikah kan Adel jadi tanggung jawabmu. Yang penting Papa sudah menawarkan, dari pada ngontrak lebih baik dananya ditabung untuk beli rumah atau tanah,” terang Pak Ruslan. Pria paruh baya itu terasa begitu berdeda dari terakhir mereka bertemu. Ia lebih ramah, tapi dari sinar matanya David mampu melihat kebencian walau hanya sedikit.

“Iya, Pa.”

“Jadi apa rencanamu untuk anakku? Maaf Papa belum sepenuhnya percaya padamu. Kamu tahu sendiri ini di luar rencana. Kalau bisa memilih tentu Papa nggak akan memilihmu,” ujar Pak Ruslan apa adanya.

Ucapan jujur Pak Ruslan lebih sakit dari tamparannya beberapa hari lalu. Senyum David seketika padam, darahnya mendidih. Namun selain kepalan tangan tak ada lagi yang dapat David lakukan untuk meredam emosinya. Dalam hati ingin sekali ia segera meninggalkan tempat ini. Namun harapan Adelia dan mamanya kini berada di pundaknya. Ia tak boleh gegabah dalam menyikapi tiap hal kecil sekalipun.

“Pa, Vid, ayo makan. Udah siap nih!” panggil Adelia setengah berteriak.

Pak Ruslan dan David bangkit dan bergerak menuju meja makan yang berjarak tak lebih dari lima meter dari tempat mereka berbincang. David berjalan di belakang calon mertuanya itu. Dari bahasa tubuhnya, pria itu merasa berhasil mengintimidasi dan menguasai psikis David. Namun sesungguhnya dia lah yang telah di tipu mentah-mentah oleh istri dan putrinya sendiri.

Sejak tadi Kak Bagas sama sekali tak menampakkan batang hidungnya. Sama seperti Pak Ruslan, lelaki itu masih tidak mau menerima David sebagai calon suami adiknya. Kira-kira seperti itulah asumsi David. Ia juga sengaja tak menanyakan keberadaan lelaki bertubuh tambun itu, agar tak semakin menambah tekanan pada dirinya. Paling tidak sampai makan malam selesai.

Di meja makan tak banyak yang mereka bicarakan. David lebih nyaman berbincang dengan Bu Ratri dan putrinya. Pak Ruslan hanya menanggapi dengan senyuman dan kadang kata-kata singkat tanda setuju.

“Oh iya, Vid. Untuk minggu depan ini, bagaimana saat orang tuamu datang nanti sekaligus untuk lamaran saja? Jadi pernikahan kalian dapat segera dilakukan,” buka Pak Ruslan setelah suapan pertamanya.

David dan Adelia saling pandang. Kata-kata Pak Ruslan seolah memberikan batasan pada perut mereka untuk tidak lagi menyantap makan malam. David bingung bagaimana caranya menjelaskan hal ini pada orang tua, terutama Ibu. Adelia merasa semakin terpojok karena permintaan Papanya ini sejalan dengan kecurigaan Bu Maryam.

“Segera akan saya diskusikan dengan orang tua, Pa,” jawab David mencoba untuk tetap tenang. Ia masih belum menyuap makanannya ke mulut, masih ia aduk menu dan nasi di piringnya.

“Jangan diskusikan! Diskusi bisa saja terjadi deal yang melenceng dari tujuan semula. Minta saja orang tuamu datang untuk melamar, bukan untuk sekedar temu keluarga!” tegas Pak Ruslan.

“Papa, kita nggak bisa maksa gitu. Percaya saja pada David, tentu saja dia bisa meyakinkan orang tuanya. Ya kan, David?” Bu Ratri mencoba menengahi. Ia tahu persis suaminya ingin memojokkan David.

“Tentu, Ma. Saya usahakan sebisa mungkin. Insya Allah bisa,” jawab David meyakinkan.

Adelia menyentuhkan sikunya ke siku David dengan lembut. David menoleh, kedua mata mereka saling bertemu. David mengusap lembut lengan Adelia, mencoba mengkonfirmasi bahwa dia baik-baik saja. Ia mencoba memposisikan diri sebagai suami yang menyayangi istri yang tengah hamil. Bagi Bu Ratri bahasa tubuh yang diperlihatkan pasangan ini sungguh sejuk di pandang mata. Namun bagi Pak Ruslan, hal itu seperti mencabik-cabik harga dirinya sebagai seorang ayah.