webnovel

tiga

"Aku turut berduka tentang penyakitmu." Ivan menyadari bahwa mengatakan demikian sesungguhnya tidak memberikan kepuasan sama sekali buat Harry.

"Persetan sama kepala ini!" Harry memekik. Kedua tangannya masih mencengkeram hebat kepalanya, kedua matanya masih terus terpejam rapat. Dia tengah berusaha melawan rasa nyeri yang menyerang kepalanya secara tiba-tiba itu. Meskipun gejala demikian sudah biasa terjadi, namun rasa sakitnya tidak bisa ditawar sama sekali; tetap terasa sakit. Harry belum mampu melanjutkan pembicaraan lagi. Seolah-olah menjelaskan bahwa jika dia bergerak sedikit saja, kepalanya akan semakin pening. Ivan mengamatinya dengan tidak berdaya sambil menggigit bibir bagian bawahnya. Berselang beberapa menit, rasa nyeri itu mereda, dan Harry menarik napas panjang dan bersandar. Dia tampak terkulai lemas. "

"Maaf," ucap Harry.

"Kapan pertama kali kamu dinyatakan mengidap toksoplasmosis?"

"Aku tidak tahu tepatnya. Mungkin sudah sekitar dua bulan yang lalu. Kepalaku mulai sering pusing, kulitku mulai terlihat memar-memar, pendengaranku agak terganggu sejak di Chiba. Mungkin daripada kau yang hidup tenang di bawah bangunan ini, yang memutuskan iya atau tidak untuk melibatkan diri dengan masalah klienmu, kau tidak bisa membayangkan kalau dulu aku kesakitan tanpa ada bantuan perawatan sama sekali. Setelah aku dibebaskan dan di bawa ke sini, mereka baru membawaku ke Rumah Sakit Kanto. Aku menjalani serangkaian tes, aku mendapat pemeriksaan. Dan aku menceritakan gejala-gejala yang kerap aku alami. Kemudian setelah beberapa pemeriksaan, aku divonis mengidap penyakit itu." Harry menghirup napas kuat-kuat, dan setelah dadanya menolak terlalu banyak udara, dia mengembus, dia berhasil menyunggingkan senyuman pertamanya di hadapan Ivan.

"Mungkin aku merasa kalau kau pernah bertemu dengan orang-orang yang sama sepertiku." Harry tersendat. "Mereka yang tengah sekarat."

"Terkadang. Tapi itu merupakan bagian dari pekerjaanku."

"Dan kukira, orang-orang yang tengah dalam kondisi seperti itu mau tidak mau mengalami kecenderungan untuk menjadi lebih serius tentang masalah Tuhan, kehidupan setelah mati, dan sebagainya."

"Betul. Seperti burung yang beterbangan di awan, ketika dia mampu merasakan bahwa angin-angin yang menyertainya merubah auranya sebab akan datangnya hujan, mereka akan dengan cepat kembali ke sarang. Tapi bagaimana denganmu sendiri, Harry? Kau percaya Tuhan itu ada? Apakah kau juga percaya dengan adanya kehidupan setelah mati?"

"Relatif. Atau bisa dibilang situasional. Ada kalanya aku percaya, ada kalanya juga tidak. Bahkan ketika aku mencoba untuk berusaha percaya pada Tuhan, masih ada sedikit keraguan yang menegur kepercayaanku. Mungkin sangat mudah buatmu untuk percaya kepada Tuhan sebab kau memiliki kehidupan yang mudah dan bahagia. Lain cerita jika denganku."

"Kau hendak menceritakan seluruh kehidupanmu padaku?"

Harry menimbang. "Entahlah. Tidak juga."

"Lantas kenapa kau ke sini?"

Lengang sejenak di antara mereka. Sementara hanya deru napas mewakili pembicaraan keduanya. Sedetik memahami keheningan itu, mata Harry berotasi mengelililingi ruangan dan kemudian berhenti tepat di mata Ivan. Keduanya saling melihat untuk waktu yang tidak sebentar, tidak seorang pun di antara keduanya yang mau mengerjap. "Aku sudah melakukan kesalahan yang besar, Pendeta. Aku melukai beberapa orang yang tidak pernah bersalah atas kehidupanku. Aku sangat tidak yakin akan membawa semua bayangan dan rekam jejak kesalahan itu sampai ke pemakamanku."

Tepat sekarang pembicaraan antara aku dengannya menuju inti persoalan, kegundahan yang membuatnya datang kemari, batin Ivan. Beban kesalahan, dosa, yang diumpat dalam dirinya. Perasaan malu akibat perbuatan buruk yang sudah terpendam terlalu lama. Ajaibnya, Harry mampu menyadari itu di sisa-sisa umurnya.

"Apakah ini bersifat rahasia? Kau menjamin itu?"

"Sebagian besar mungkin iya."

"Aku tidak suka dengan jawaban mungkin. Kau tahu. Hampir semua orang juga tidak suka itu."

"Jelasnya ada pengecualian-pengecualian lain untuk membuka pembicaraan ini."

"Soal apa itu?"

"Bila kemungkinan kau akan mengutarakan semua dosa-dosamu padaku, dan aku merasa yakin kalau kau akan menyakiti dirimu sendiri atau bahkan orang lain, maka sifat kerahasiaan itu akan batal. Saat itu terjadi, aku wajib mengambil langkah-langkah yang diperlukan untuk melindungi dirimu sendiri dan orang lain itu. Atau dalam arti lain, prinsip kerahasiaan itu batal karena aku juga butuh bantuan dari pihak lain."

"Sepertinya rumit."

"Kurasa tidak," Ivan membujuk.

"Dengar, Pendeta, aku telah melakukan beberapa perbuatan yang buruk, tapi, yang satu ini seakan menghantui pikiranku sekian tahun. Aku perlu membicarakan ini dengan seseorang, tapi tidak ada orang yang mampu mendengar itu. Tidak ada tempat lain yang bisa aku datangi selain gereja ini. Bila aku memberitahumu mengenai sebuah perbuatan kriminal yang kejam yang pernah aku lakukan beberapa tahun silam, apa kau mau berjanji tidak akan memberitahu siapa pun tentang hal ini?"

"Apa janji itu penting?"

***

Kiki segera mencari informasi tentang Lembaga Permasyarakatan Kanto, kemudian dalam beberapa detik dia berhasil mengakses dan mendapatkan informasi mengenai kehidupan yang mengharukan dari seorang laki-laki bernama Harry Kazuya. Dia mempunyai riwayat dijatuhi hukuman selama dua belas tahun pada tahun 2004 karena telah terindikasi melakukan tindakan asusila. Status terkini; tahanan.

"Dia ada di kantor suamiku," gumam Kiki sambil jarinya lihai memencet tombol.

Dijatuhi hukuman selama tujuh tahun pada tahun 1994 terduga usai melakukan penyerangan seksual di Kyoto. Dan dibebaskan tahun 2001.

Dijatuhi hukuman selama dua puluh dua tahun pada tahun 1982 untuk tindakan penganiayaan seksual di Yamaguchi. Lalu dibebaskan pada tahun 1990.

Harry reputasinya tercatat sebagai pelaku kekerasan seksual di Yamaguchi, Kyoto, dan Chiba.

"Sosok monster," gumam Kiki pada dirinya sendiri. Beberapa foto dalam arsip Harry yang tertpampang dalam situs Web Lembaga Permasyarakatan Kanto menampilkan seorang laki-laki yang terlihat lebih muda, badannya jauh lebih berisi dan segar, rambut klimis. Kiki dengan sigap meringkas riwayat kejahatan Harry dan segera mengirimkan ke Ivan melalui surel. Kiki tidak mencemaskan keselamatan suaminya, melainkan dia hanya ingin agar monster itu segera enyah dari kantor suaminya.

Setelah empat puluh lima menit pembicaraan yang tersendat-sendat dan progres yang begitu lambat, Ivan mulai jenuh dengan pertemuan ini. Harry tidak memperlihatkan gerak-gerik obsesinya pada Tuhan, dan karena persoalan Tuhan adalah kajian keahlian Ivan, hal itu kelihatannya tidak cukup signifikan yang bisa dia lakukan. Ivan bukan ahli bedah otak. Atau seseorang dengan sekantung lowongan pekerjaan dengan gaji yang menjanjikan.

Sebuah dering notifikasi pesan muncul di layar komputernya. Dua deringan mungkin artinya ada seseorang yang akan konsultasi. Sementara kalau tiga kali, pertanda pesan berasal dari meja resepsionis. Ivan bersikap seolah tidak mempedulikannya. Harapnya, dia bisa segera pulang dan merebahkan punggungnya di ranjang mewahnya.

"Buat apa kau perlu tongkat itu?" nada suaranya terdengar ramah.

Harry meringkuk. Matanya kembali memancarkan ingatan masa kelamnya. "Penjara yakni tempat yang brutal."

"Aku kerap kali ikut terlibat dalam pergumulan itu. Kepalaku sering terluka. Dan aku mengira, itu yang menjadi penyebab penyakit ini tanggal menggerogoti isi kepalaku sekarang." Harry merasa bahwa hal itu adalah sesuatu yang lucu dan dia tengah menertawai leluconnya sendiri.

Budaya sopan santun, Ivan menyumbang tawa kecil, lantas berdiri, dan berjalan ke arah meja tulisnya. "Aku akan memberimu kartu namaku. Kau bisa meneleponku kapan saja. Kau akan selalu diterima di sini." Ivan mengambil sepucuk kartu nama yang khas dimiliki oleh seorang kelas menengah dan dilanjutkan lirikannya ke layar monitor komputernya. Empat, sudah terhitung, empat putusan bersalah sudah pernah jadi riwayat kelamnya di pengadilan, dan semuanya adalah tindak pidana seksual. Ivan kembali ke kursinya dan menyerahkan kartu nama itu pada Harry, lantas kembali duduk.

"Penjara paling keras menyingkapi seorang pemerkosa, bukan begitu, Harry?"

"Sangat keras dan kasar. Brutal kalau istilahku." Harry meng-iyakan. "Aku tidak ingat berapa kali aku pernah dihajar. Mungkin karena terlalu sering," imbuhnya.