"Begini Harry, aku tidak terlalu tertarik membicarakan hal ini. Aku masih punya beberapa pertemuan lain yang harus aku hadiri. Kalau kau masih sangat perlu dan ingin berkunjung lagi, silakan, telepon aku sebelumnya. Dan aku mengundangmu buat hadir di kebaktian kami hari minggu berikutnya." Ivan tidak yakin bahwa dia serius dengan ajakan itu, namun suaranya terkesan tulus.
Dari saku jaket kulanya, dirogohnya sepucuk kertas terlipat. "Kau pernah dengar kasus rumit Furuya Satoru?" tanya Harry sambil menyerahkan sepucuk kertas itu pada Ivan.
"Tidak pernah."
"Salah satu alumnus SMA Kanto, didakwa bersalah karena dianggap telah membunuh pada tahun 1995. Simpang siur berita masyarakat mengatakan dia telah membunuh pemandu sorak SMA Knato, mayatnya hingga kini belum ditemukan."
Ivan membuka lipatan kertas itu pelan-pelan. Tampilan di dalamnya adalah sebuah salinan artikel pendek dari surat kabar Yamaka, tertanggal hari Sabtu kemarin, Ivan memindai isinya dengan cepat lantas memperhatikan foto polisi Furuya Satoru. Bagi Ivan, tidak ada yang istimewa, hanya eksekusi rutin biasa di Kanto yang melibatkan terdakwa lain yang bersikukuh bahwa dirinya tidak bersalah. "Eksekusi itu akan dilakukan hari Rabu ini," ucap Ivan.
"Kuberitahu sesuatu ya, Pendeta, bahwa orang-orang berseragam itu telah menanggalkan baju narapidana kepada orang yang sebetulnya tidak bersalah. Mereka salah menangkap pelakunya. Anak itu sama sekali tidak ada hubungannya dengan pembunuhan gadis itu."
Ivan mendongak cepat. "Bagaimana kau bisa tahu hal itu?"
"Tidak ada bukti. Secuil bukti pun tidak bisa ditemukan dengan jelas yang menandakan dia pelakunya. Polisi-polisi itu memutuskan dialah pelakunya, merepresi dia dan kemudian memaksanya mengaku, dan sekarang, dengan bukti yang sangat kurang itu, mereka hendak membunuhnya. Itu salah, Pendeta, salah besar."
"Harry, kau mengetahui suatu hal yang sangat penting seperti itu, bagaimana kau bisa…"
Harry mendekatkan diri, terlihat seakan-akan ingin membisikkan sesuatu. Deru jantung Ivan semakin kencang. Namun tidak ada suara yang keluar. Sebuah jeda panjang dan memusatkan tatapan masing-masing keduanya.
"Katamu tadi, mayat gadis itu sampai sekarang belum ditemukan," Pancing Ivan agar Harry mau bercerita sendiri.
"Betul. Sangat jelas bahwa jaksa penuntut umum, pihak kepolisian, mereka semua mengarang cerita liar agar terlihat kalau anak laki-laki itu yang telah menculik si gadis pemandu sorak, memerkosanya, mencekiknya, lantas melemparkan mayatnya dari jembatan ke Sungai Merah. Itu semua karangan mereka semata."
"Intinya kau bilang begini sebab kau tahu di mana mayat gadis itu?"
Harry menarik napas kuat-kuat dan membusungkan dadanya. Mengubah posisi duduknya agak lebih tegak. Dia hampir mengangguk, tapi terhalang cedutan yang tiba-tiba. Cedutan itu seperti muncul lebih cepat jika dirinya di bawah tekanan.
"Atau jangan-jangan… Kau yang membunuh gadis itu, Harry?" tanya Ivan, dia terperangah mendengar pertanyaannya sendiri. Baru sepuuh menit yang lalu, Ivan kembali mengingat-ingat dalam hati nama semua jemaat gerejanya yang harus dikunjungi di rumah sakit. Hingga memikirkan sebuah cara alternatif untuk mengusir Harry dengan halus dari kantornya. Namun sekarang, pikirannya justru berkecamuk di seputar kasus pembunuhan dan mayat misterius seorang gadis.
"Aku bingung apa yang harus kulakukan," sahut Harry ketika sejurus kemudian ada serangan rasa sakit di kepalanya. Dia menggeliat dan menekuk tubuhnya seperti menahan gejolak isi perutnya seolah-olah hendak muntah dan mulai menekan-nekan sisi kepalanya dengan bantuan kedua telapak tangannya. "Aku sekarat, oke? Kau tahu itu. Dan sepertinya memang aku akan mati beberapa bulan lagi. Mengapa anak yang tidak bersalah ini juga hendak ikut mati juga? Dia tidak melakukan apa-apa." Sambil berbicara terbata-bata, matanya berkaca-kaca, kantung matanya berusaha menampung air matanya itu, tetap tidak bisa dan akhirnya menetes. Wajahnya mengerut, menahan rasa sakit.
Ivan memperhatikan, sedangkan Harry kalang kabut menahan sakit kepalanya, tubuhnya sampai gemetar. Ivan mengulurkan sekotak tisu dan memperhatikan Harry menyeka wajahnya yang penuh peluh. "Tumorku membesar. Setiap hari semakin membesar dan semakin keras mendesak tengkorak kepalaku."
"Mereka memberimu obat?"
"Beberapa. Tapi tetap, percuma saja. Aku harus pergi."
"Menurutku, kau denganku masih belum selesai."
"Iya, baiklah."
"Di mana mayatnya?"
"Kau tidak benar-benar ingin tahu."
"Aku ingin. Mungkin kita bisa bekerja sama menghentikan eksekusi itu."
Harry terkekeh. "Oh, iya? Mana mungkin bisa di Kanto."
Lamat-lamat dia berdiri dan mengetuk-ngetukkan tongkatnya di karpet. Melirik pendeta dan sedikit meringis. "Terima kasih, Pendeta."
Ivan masih tetap duduk. Dia justru memperhatikan Harry yang berjalan pincang dan bergegas meninggalkan ruang kerjanya.
Kiki melirik pintu, dia menolak tersenyum. Dia mampu mengucapkan "selamat tinggal" secara lega untuk membalas ucapan "terima kasih" Harry. Lalu, Harry Kazuya pun lenyap dari hadapannya, kembali ke jalanan hampa tanpa sehelai mantel dan sarung tangan, dan Kiki tidak memikirkan itu.
Suaminya tidak bergerak, masih duduk termangu di kursinya. Menatap nanar dinding dan masih mencengkeram sebuah salinan artikel surat kabar.
"Apa kau baik-baik saja?" tanya Kiki. Sejurus kemudian Ivan mengulurkan salinan artikel surat kabar itu dan Kiki membacanya hingga teramat bingung.
"Aku belum mengerti apa sangkut-pautnya," ucapnya begitu selesai membacanya.
"Harry Kazuya mengetahui di mana mayat gadis itu, karena dialah pembunuhnya."
"Apakah dia sendiri yang mengakui kalau dia membunuh gadis itu?"
"Hampir. Dia mengatakan kalau dia menderita toksoplasmosis yang kemungkinan besar tidak bisa ditangani dengan operasi dan dia akan mati dalam waktu beberapa bulan lagi. Aku merasa bahwa pernyataan itu adalah ungkapan putus asa dari seorang mantan kriminal yang akan menghadapi mautnya. Dia bilang Furuya Satoru tidak ada hubungannya sama sekali dengan hilang dan tewasnya gadis itu. Ungkapan dia tersirat sekali, namun dengan jelas dia menyiratkan kalau dia memang tahu di mana mayat gadis itu."
Kiki tersentak di sofa dan terbentang di antara bantal-bantal. "Dan kau mempercayai ucapannya?"
"Dia kriminal kambuhan, Kiki, dia penipu. Dia lebih suka berbohong daripada mengatakan hal yang sebenarnya. Kau tidak bisa mempercayai ucapannya. Meski terlihat ironis sekali dia menyampaikannya."
"Apa kau percaya padanya?"
"Aku rasa, iya."
"Bagaimana bisa kau percaya?"
"Laki-laki itu menderita, Kiki. Serta bukan gara-gara toksoplasmosisnya semata. Dia juga tahu sesuatu tentang kasus pembunuhan gadis itu, juga mayatnya. Dia mengetahui banyak hal, sebagai seorang kriminal, aku heran dia merasa terusik dengan fakta bahwa seorang laki-laki tak bersalah akan dieksekusi."
Bagi seseorang yang menghabiskan banyak waktunya dengan mendengarkan cerita orang lain, mulai dari masalah-masalah sepele hingga masalah-masalah pelik, serta menwarkan sejumlah nasihat hingga bimbingan yang bisa mereka yakini, Ivan sudah mampu menjadi orang yang bijaksana dan jeli. Dan dia jarang sekali meleset. Sementara istrinya, Kiki, jauh lebih cepat menarik kesimpulan dan jauh lebih enteng mengkritik dan menjustifikasi dan kerap kali salah. "Lalu bagaimana langkahmu, Pendeta?" tanyanya.
"Mari kita luangkan waktu sekitar satu jam ke depan untuk mencari tahu lebih detail tentang laki-laki itu serta kasus penculikan dan pembunuhan seorang gadis pemandu sorak di SMA Kanto. Apakah betul Harry mendapatkan pembebasan bersyaratnya? Kalau memang betul demikian, siapa petugas pengawasnya? Apalah dia juga masih dirawat di Rumah Sakit Kanto? Apakah dia betul menderita toksoplasmosis atau hanya darah rendah biasa? Kalau memang iya, apa benar penyakitnya itu mematikan?"