webnovel

Kita putus!

Tiba di kantin, Dea memilih sebuah meja dan kursi tepat di tengah-tengah keramaian para mahasiswa dan mahasiswi dari segala jurusan yang berbeda.

"Dea, kenapa kita memilih meja ini? Aku tidak suka makan di tempat keramaian seperti ini," ujarku berbisik pada Dea.

Aku merasa sedikit tidak nyaman, kelemahanku yang sampai detik ini membuatku sulit di taklukkan, aku selalu merasa tidak nyaman makan di tempat keramaian seperti ini. Aku merasa semua mata tertuju hanya padaku saja, ah... Sial!

"Kenapa, Mel? Bukankah ini sangat baik? Aku jadi merasa paling cantik disini, semua tertuju padaku saja." jawaban Dea membuatku berpikir mungkin saja dia sengaja ingin mencari perhatian dengan duduk disini bersamaku.

"Yah, terserah kau saja," jawabku sambil merogoh ponsel kesayanganku.

Sambil menunggu pesanan makanan dan minuman yang Dea pesankan untukku, aku mengirim pesan pada Keysa dan menceritakan semua hal yang terjadi secara mendadak pagi ini.

'Apa? Jadi, kak Hady sudah tau hubungan kita dengan mereka selama ini?'

Aku terkekeh-kekeh sendiri membaca pesan dari Keysa. Sudah bisa kubayangkan, bagaimana ekspresi wajahnya kali ini.

Di tengah tawaku saling bertukar pesan dengan Keysa, kudengar Dea sedang menerima panggilan telepon.

"Ya, Sayang. Aku sedang di kantin, kau kemari saja. Oh, ya ampun... Kau pasti sangat merindukanku, bukan? Iya iya, aku tunggu. Cepat sedikit, aku juga rindu."

Aku melirik ke arah Dea, dan secara bersamaan Dea menatap ke arahku seraya menarik kembali senyumannya dari kedua ujung bibirnya.

"Ups, maaf, Amelie. Apa kau terganggu? Pacar baruku akan datang kemari menemuiku, tidak apa kan?" ujar Dea kemudian.

Aku sudah menduganya, dia sengaja mengajakku untuk memamerkan kekasih barunya, meski kami cukup akrab dan rumah kami pun hanya berjarak dua rumah saja. Tapi kami tidak pernah dekat, dan kabar yang kudengar dari Dea selalu tidak mengenakkan.

"Oh, tidak apa-apa. Santai saja, Dea." jawabanku ini terpaksa keluar begitu saja dari bibirku, sungguh berbeda dengan isi hatiku yang merutukinya.

"Terima kasih, Amelie. Kau bukan hanya tetangga dan teman yang baik, tapi juga pengertian."

Aku tersenyum singkat menanggapinya, baiklah. Amelie, kau hanya perlu tetap tenang dan masa bodoh dengan pemandangan yang akan merusak kedua matamu sebentar lagi.

Beberapa menit berlalu, sambil menyeruput minuman yang sudah bertengger di meja depanku, Dea tampak tersenyum ceria dan napasnya sedikit berburu.

"Disini," ujarnya kemudian. Ya, sudah pasti laki-laki yang di tunggunya dengan gelisah sejak tadi sudah tiba disini.

"Dea, kebetulan aku lewat di depan toko bunga tadi. Jadi, aku membelikannya untukmu."

Degh!

Jantungku terasa terhenti ketika mendengar suara itu dan menatap laki-laki yang kini memberikan bucket bunga mawar pada Dea.

"Ryan?"

Laki-laki itu melonjak kaget, dia berbalik menatapku dengan kedua mata melotot lebar, bahkan sudah hampir melompat ke luar saja.

"A-melie?" ujarnya menyebut namaku terbata-bata.

"Eh, kalian saling kenal? Wah, kebetulan sekali. Amelie, dia Ryan. Pacar baruku, hehehe..." Dea memperkenalkan Ryan padaku sebagai kekasih barunya.

Rasanya, sungguh seperti sedang menikmati enaknya mie instan kuah level pedas namun saat mencicipinya kau lupa menabur bumbu penyedapnya.

Aku menyeringai menatap wajah Ryan, "Sangat luar biasa!" ujarku padanya.

"Amelie, aku... Aku bisa jelaskan!" Ryan kikuk dan hendak meraih tanganku.

"Jangan sentuh aku, Ryan! Selamat, akhirnya aku tidak perlu mencari alasan agar aku bisa mengakhiri hubungan kita."

"Tunggu! Apa yang kalian bicarakan? Bisakah kalian menjelaskannya padaku?" ujar Dea menyela.

Mendadak sekujur tubuhku merasakan hawa panas yang menjalar begitu mendidih. Ketika menyadari, semua tatapan di seluruh kantin kali ini hanya tertuju pada kami.

Aaarght... Sial! Ini hari yang terburuk bagiku, sungguh sial!

"Dea, maaf. Tapi laki-laki yang kau jadikan pacar ini adalah pacarku, tapi kau tenang saja. Aku akan merelakannya untukmu," jawabku tegas dengan dadaku yang mengembang akibat menahan napas sejak tadi.

"Amelie," panggil Ryan kembali.

"Ryan, kita PUTUS!" ucapku dengan nada tinggi seraya meriah tas gandengku lalu kemudian beranjak pergi dari kantin.

"Amelie, tunggu!" Ryan berusaha mengejarku. Sedang Dea masih tertegun dan terpaku di tempat begitu mendengar pernyataanku.

"Aaakh, brengsek! Kenapa aku justru marah, bukankah ini memang tujuan dan inginku? Tidak, aku marah karena dia menghina harga diriku dengan cara seperti ini." aku terus berbicara dengan nada marah sambil berjalan menuju halaman kampus, aku tetap memilih untuk bolos kali ini.

"Amelie!"

Aku tersentak saat Ryan berhasil menarik lengan tanganku dari belakang, tak terduga dia justru mengejarku kemari. Dia memang patut mendapat pelajaran lagi dariku.

Plak!

Aku terpaksa menamparnya setelah berbalik badan menatapnya.

Ryan tampak terkejut lalu berubah menatapku dengan kesal, dia masih berdiri di depanku sambil memegangi pipi bekas tamparanku.

"Aku pikir kau berbeda dengan Yash, tapi nyatanya kau dan Yash adalah satu paket yang menjijikkan, Ryan. Kau tau Dea adalah tetanggaku, kami juga teman, dan kami satu kampus. Tapi kau sengaja datang kemari, kau mau menampakkan sifat playboy yang kau banggakan itu, hah?" ujarku dengan marah menunjuk batang hidungnya.

Ryan menyeringai mendengar ucapanku, membuatku semakin ingin marah padanya. Apakah kini dia menantangku atau meledekku?

"Kau merass sakit hati, Amelie? Harusnya kau sadar, aku melakukan ini karena aku tidak mendapatkan kepuasan darimu."

"Brengsek, kau gila, Ryan!"

"Ya, aku memang gila. Kau ingin putus bukan? Oke, kita putus. Wanita sepertimu tidak akan pernah mendapatkan laki-laki yang tulus mencintaimu, kau terlalu munafik dan kau jual mahal."

Tubuhku gemetar mendengar hinaannya ini, entah kenapa mendadak lidahku keluh untuk menjawab dan memberikan pelajaran dari penghinaannya ini padaku.

Dia pun berlalu pergi melewatiku, tanpa menungguku berkata kasar kembali untuk membalas ucapannya. Sungguh, dadaku sesak sekali. Aku bahkan kesulitan bernapas saat ini, aku merasa apa yang di katakan Ryan padaku barusan adalah benar adanya.

Apakah selama ini aku terlalu pemilih? Apakah aku benar-benar wanita munafik? Apakah aku sungguh tidak akan pernah mendapatkan lelaki yang benar-benar tulus mencintaiku nanti? Akh, ini tidak adil.

Tuhan...

Kutengadahkan wajahku menatap langit dari halaman kampus yang selama ini kubanggakan untuk memberikan kisah yang manis dan penuh arti untuk di kenang. Tapi nyatanya...