webnovel

Trauma Vian

Mila memandang foto pernikahannya dengan Vian yang sudah tergantung di dinding.

Entah kapan lelaki itu menaruhnya di sana.

Mereka baru saja pulang dari makan malam.

Dan Mila langsung terpaku pada foto itu begitu masuk ke dalam rumah.

Vian ikut berdiri di sebelah Mila.

"Ku kira kamu orang yang sibuk. Tapi ternyata kamu banyak waktu luang. Sampai-sampai aku gak tahu kapan kamu memajang foto ini," ucap Mila sambil sekilas menatap Vian dari samping.

"Tadi siang setelah melihat kafemu aku mampir untuk mengambil foto ini dan memajangnya di sini," kata Vian sambil memegangi tengkuk lehernya karena gugup.

"Sepertinya lubang hidungku terlihat besar sebelah," gumam Mila masih dengan memandangi foto itu.

Sedangkan Vian langsung mengalihkan pandangannya ke arah lain karena tidak kuasa menahan senyumnya setelah mendengar perkataan Mila barusan.

"Oh, kamu tersenyum! Coba lihat ke sini!" seru Mila saat tidak sengaja menangkap  senyum Vian yang gagal disembunyikan lelaki itu.

Mila berusaha meraih wajah Vian untuk membuatnya menampakkan senyumnya lagi.

Namun karena lelaki itu lebih tinggi darinya jadi ia gagal menembus pertahanan Vian.

"Kamu salah lihat," kata Vian sambil berlalu meninggalkan Mila yang masih kesal karena gagal membuat dirinya mengaku jika ia tadi memang tersenyum.

Mila sangat heran kenapa suaminya itu malu untuk menunjukkan senyum pada istrinya sendiri?

Sebesar itukah gengsinya??

Karena hal ini dia jadi terpanggil untuk membuat suaminya itu jadi lebih banyak tersenyum.

Dimulai dari senyum, mungkin nanti kepribadian Vian juga akan mulai berubah jadi lebih baik.

Terutama pada dirinya.

Mila menyusul Vian masuk ke dalam kamar.

Saat ia membuka pintu, dia melihat suaminya itu sedang mengganti bajunya.

Jantung Mila berdebar saat melihat Via bertelanjang dada di matanya.

Dengan langkah pelan, Mila mengambil piyamanya dan menuju kamar mandi.

Dia memutuskan untuk mengganti bajunya di kamar mandi saja.

Saat Mila keluar dari dalam kamar mandi, ia melihat Vian sudah duduk bersandar di salah satu sisi ranjang.

Dan mulai berkutat dengan laptop yang berada di pangkuannya.

Mila menghampiri sisi lain ranjang Vian dan dengan perlahan berbaring di sebelahnya.

Agar tidak menggangu pekerjaan suaminya.

Dia lalu menarik selimut hingga ke bagian lehernya sehingga kini hanya menampakkan kepalanya saja.

Sesekali dia melirik Vian menggunakan ekor matanya.

Lelaki itu masih bergeming, hanya jari jemarinya saja yang aktif bergerak sebagai tanda kehidupan.

"Kenapa kamu terus menerus melirikku seperti itu?" tanya Vian tanpa mengalihkan pandangannya dari layar laptopnya.

Mila terperanjat mendengar perkataan suaminya.

Bagaimana dia bisa tahu jika tadi ia mencuri pandang dengannya, sedangkan matanya dari tadi tidak beralih dari layar laptop itu.

"Apa ada sesuatu yang ingin kamu bicarakan?" tanya Vianlagi

"Itu..." Mila menggantung kalimatnya.

Ia tidak yakin apa dia perlu menanyakan hal itu pada suaminya.

"Ah gak, lupakan saja," sambung Mila lalu memunggungi Vian.

Namun perasaannya kembali kacau, dia merasa tidak akan tidur nyenyak jika belum menannyakan hal ini.

Mila memutar tubuhnya kembali.

Kini ia mengganti posisinya menjadi duduk di sebelah Vian.

"Itu.. sebenarnya kamu menyukaiku atau enggak?" tanya Mila.

Akhirnya dia berniat mencari jawaban atas rasa penasarannya selama ini.

"Pertanyaanmu terdengar sangat bodoh," jawab Vian tanpa memperhatikan Mila.

Dan wanita itu tampak berpikir keras untuk mencerna jawaban dari suaminya.

"Lalu, apa mungkin kamu.."

Belum selesai Mila mengeluarkan pertanyaanya jari telunjuk Vian sudah berada di depan bibir Mila.

"Sstt... Aku gak seperti yang kamu tuduhkan. Jadi berhenti berpikir macam-macam tentangku," ucap Vian.

Mila mengangguk dengan cepat pertanda ia mengerti dengan ucapan suaminya itu.

Kemudian Vian kembali fokus pada layar laptopnya.

"Maafkan aku, bukannya aku mencurigaimu tapi aku hanya.."

*CUP*

Vian mengecup sekilas bibir Mila.

"Kurasa ini cukup untuk membuatmu diam," ucap Vian.

Mereka saling menatap hingga hanya tersisia beberapa inci jarak antara mereka.

Vian menelan salivanya.

"Haruskah aku melakukannya?" pikir Vian.

Sesuatu yang sebelumnya ia tunda karena suatu hal yang hanya dia yang tahu.

Namun wajah merah wanita yang kini ada di depannya ini selalu bisa menggodanya.

Hingga membuat lelaki itu terhipnotis.

Dengan tangan kanannya, Vian meletakkan laptopnya di atas nakas yang berada di sebelahnya.

Namun tatapannya tidak berpaling dari istrinya.

Setelah itu tangannya meraih tengkuk leher Mila.

Tanpa aba-aba dia mencium lembut bibir wanita yang ada di depannya itu.

Mila memejamkan matanya sebagai tanda jika ia tidak melakukan perlawanan.

"Mungkinkah Vian akan melakukannya malam ini?" batin Mila.

Beberapa tahun sila.

Vian tersenyum pada Delia yang seminggu ini sudah resmi menjadi istrinya.

Ia terus menghujami wajah Delia dengan ciuman bertubi-tubi sebagai bukti rasa cintanya yang besar terhadap wanita itu.

"Jangan pernah berhenti mencintaiku Vian," ucap Delia saat itu.

"Aku gak akan pernah berhenti mencintaimu," kata Vian.

Vian kembali mencium bibir Delia, tapi ekspresi dari istrinya tidak seperti biasanya.

Dia terlihat menahan sesuatu.

Sedangkan kedua tangannya terus memegangi dada kirinya.

Dalam hitungan detik Delia langsung tidak sadarkan diri.

"Delia! Ada apa dengan kamu? Bangun Delia!!"

Vian terus mengguncangkan tubuh istrinya berharap hal itu dapat membuatnya sadar.

Namun karena tidak membuahkan hasil, akhirnya Vian membopong Delia menuju mobilnya dan langsung membawanya ke rumah sakit.

Vian melajukan mobilnya seperti orang gila.

Hanya satu yang dia inginkan, yaitu cepat sampai di rumah sakit.

Ia penasaran dengan apa yang terjadi pada istrinya, sebab selama ini dia terlihat sehat-sehat saja.

"Bertahanlah Delia, kita akan segera sampai," ucap Vian pada Deliaa yang masih tidak sadarkan diri di kursi sebelahnya.

Tangan kirinya masih terus menggenggam tangan Delia.

Begitu sampai di rumah sakit Vian langsung berlari membawa Delia menuju IGD.

Bahkan dia tidak menyadari saat itu dia tidak mengenakan alas kaki karena terburu-buru.

"Tolong selamatkan istriku," seru Vian saat ia sudah masuk di ruangan IGD.

Para perawat langsung menghampiri dengan membawa brankar dorong untuk membawa Delia menuju sebuah ruangan agar segera di tangani.

Tidak lama dokter masuk dan melihat keadaan Delia.

Vian menunggu dengan cemas di ujung ruangan, menyaksikan dengan mata kepalanya sendiri istrinya yang sedang berjuang dengan nyawanya.

Salah seorang perawat memasang beberapa kabel pada tubuh Delia yang menghubungkannya pada alat monitoring yang berada di samping brankarnya.

Dokter lalu melakukan intubasi untuk memasukkan selang khusus melalui mulut dan hidung Delia.

Setelah itu sebuah alat Ventilator kemudian dihubungkan pada selang tersebut.

Perawat lain datang membawa Defribilator atau Alat kejut jantung.

Melalui aba-aba dokter itu mulai menempelkan alat itu pada dada Delia.

Betapa hancur hati Vian menyaksikan pemandangan seperti ini di depan matanya.

Air matanya terus keluar berharap hal ini cepat berlalu.

*NIT.....*

Terdengar bunyi nyaring dari alat monitoring.

Dokter dan perawat melepaskan satu persatu alat yang menempel pada tubuh Delia. Dan mengumumkan waktu kematiannya.

"Kenapa kalian berhenti? Istri saya belum sadar!!" seru Vian lalu menghampiri mereka.

"Kalian harus menyelamatkannya bagaimanapun caranya!"

"Maaf pak, istri anda sudah tidak tertolong," ungkap dokter itu.

"Gak... Gak mungkin. Kalian harus berusaha lagi!" ucap Vian sambil memasangkan kembali alat oksigen pada Delia.

Namun ia akhirnya sadar jika itu sia-sia.

Tubuhnya menjadi lemas seketika hingga ia jatuh terduduk ke lantai.

Vian menangis sejadinya malam itu.

***

Tiba-tiba saja Vian memundurkan tubuhnya menjauhi Mila.

Tangannya terus saja memegangi mata dan kepalanya.

"Ada apa?" tanya Milaa yang terkejut melihat perubahan pada diri Vian.

Lelaki itu tampak shock dan ketakutan.