webnovel

Bukan Istri Tapi Estri

Karena impian bodoh Endra, dia harus terjebak dengan perempuan sadis yang bernama Sarah dengan menjadi seorang suami. Sialnya, perempuan sadis yang awalnya Endra anggap seperti malaikat justru berubah menjadi iblis yang meneror hari-hari indahnya menjadi semakin suram. Bagaimana Endra akan menghadapi Sarah? Dan mampukah Endra melepaskan diri dari cengkeraman kesadisan Sarah yang selalu berperan sebagai istri yang baik di depan ibunya sendiri?

AdDinaKhalim · Urbano
Classificações insuficientes
247 Chs

#006: Ibu Super Nggak Jelas

Begitu Sarah pergi dari ruang pantry, tahu-tahu ponsel Endra bergetar dan di layar hapenya menampilkan nama ibunya yang menelepon.

"Bu, aku lagi sibuk nih, nelponnya entaran aja yah," kata Endra begitu telepon tersambung.

"Sibuk ngapain sih, Ndra. Dari kemarin kamu kayaknya ngehindarin telepon Ibu terus. Emang Ibu ini polisi tidur apa pake dihindarin segala."

"Bukan gitu, Bu, Endra kan lagi ada misi penting buat nambah anggota keluarga kita."

"Yang penting kamu nggak nyulik anak orang kan, Ndra, saking kepenginnya ngedapetin cewek kota."

"Ya enggaklah, Bu. Ntar aku masuk penjara, terus yang makanin daun teh Ibu siapa?"

"Eh iya juga ya. Pantesan aja daun teh di rumah masih banyak aja. Ternyata embeknya lagi nggak ada di rumah."

"Jadi Ibu nyamain aku sama embek?"

"Ya enggaklah."

"Terus kenapa daun teh masih banyak malah bilangnya embeknya yang nggak ada di rumah. Kan yang lagi nggak ada di rumah itu Endra, Bu. Lagian Ibu juga kan nggak melihara embek."

"Eh, iya juga ya."

"Iyalah."

"Ya udah, maap."

Endra diam. Entah kenapa setiap kali mengobrol dengan ibunya, jiwa sinting Endra tak bisa dibendung. Ibunya memang selalu berbicara ajaib dan super berisik, tapi ternyata mudah menular. Sehingga yang diajak ngomong pun ikut menderita hal yang sama.

"Jadi gimana?" Ibunya diujung telepon sana kembali bersuara.

"Gimana apanya, Bu."

"Ya kamu gimana udah dapet cewek yang kamu tunggu selama 25 tahun belum? Inget yah, anaknya Pak Jaya yang baru buka pabrik itu mau ngelamar kamu loh."

"Iya, Bu, ini juga aku masih usaha maksimal buat bawa calon mantu super yang bakal ngalahin semua cewek di kampung kita."

"Lah, dia petinju? Kok mau ngalahin cewek di kampung kita segala."

"Bukan, Bu. Maksud aku tuh kecantikannya loh yang ngalahin semua cewek di kampung kita. Yaaaa ... kayak bidadari gitu lah, Bu."

"Emang dianya mau sama kamu?"

"Loh, kok Ibu malah ngomong gitu sih. Emang Ibu nggak inget, siapa cowok yang mendapat gelar pangeran tampan tujuh kali berturut-turut?"

"Lah, siapa emang?"

"Ya anak Ibu ini lah."

"Hmm ... emang di kampung kita ada ya gelar kayak gitu."

"Nggak ada sih, cuman karangannya Endra aja."

"Pantes!"

"Ya udah, Bu, jangan telepon dulu. Aku beneran lagi sibuk. Entar sambung lagi aja ya."

"Eh, bentar-bentar, Ibu lupa belum ngomong satu hal penting sama kamu."

"Hal penting apaan lagi sih, Bu, emang nggak bisa entaran aja. Endra sibuk banget nih."

"Nggak bisa. Penting banget soalnya."

"Ya udah. Apaan sih, Bu, hal pentingnya?"

"Ibu sama ayah lagi ada di kota nih buat ketemu sama kamu."

"Ap-Apa?! Kenapa Ibu malah nggak bilang dari tadi sih?"

"Dibilangin lupa juga."

"Ya udah, sekarang Ibu sama Ayah lagi di kota sebelah mananya?"

"Sebentar, Ibu tanya dulu sama Ayah."

Terdengar suara berisik yang terjadi di ujung telepon sana. Endra menunggu dengan sabar. Hatinya berharap-harap cemas. Dia tidak menyangka kalau ibunya benar-benar akan menyusulnya ke kota. Sementara saat ini dirinya masih menjadi OB.

Endra merutuki kebodohannya yang tadi sempat berkata pada ibunya soal bidadari yang sudah ditemuinya. Pasti ibunya akan ngotot minta dipertemukan dengan bidadari yang dimaksud. Sementara yang terjadi, Endra masih dalam tahap berjuang mendapatkan bidadari impian.

"Hallo, Ndra."

"Iya, Bu."

"Ayah kamu nggak tahu nih. Katanya pas merhatiin sekitar nggak ada keterangan tempat yang bisa disebutin. Malah nggak jauh dari tempat Ibu, ada plang putih yang tulisannya begini: 'Saat ini Anda sedang berada di kota, selamat menikmati perjalanan Anda', gitu doang, Ndra, berarti ini di mana dong."

"Ya, Endra juga nggak tahu, Bu. Coba dong Endra pengen ngomong sama Ayah aja."

"Ya udah nih, Ibu kasih teleponnya sama Ayah."

Endra menunggu. Dia pasti akan mendapatkan pencerahan jika yang berbicara adalah ayahnya.

"Iya, Ndra."

"Ayah lagi di mana sekarang?"

"Oh, ini, Ayah lagi di tempat makan sama Ibu, lagi istirahat."

"Lho, kata Ibu tadi, Ayah sama Ibu lagi ada di kota?"

"Iya, masih dalam perjalanan. Paling sejaman lagi nyampe."

"Ayah yang nyetir sendiri?"

"Iya."

"Udah tahu jalannya kan?"

"Ya, tahu lah, Ndra."

"Terus kenapa tadi Ibu bilang katanya udah nyampe terus bingung lagi ada di mana?"

"Kamu kayak nggak tahu Ibu kamu aja, Ndra."

"Lah, terus tadi Ibu nanyain apa sama Ayah."

"Oh yang tadi? Yang masih ngobrol sama kamu?"

"Iya."

"Ibu cuma nanya, nanti kalau abang penjualnya dateng tolong bilangin kalau sotonya jangan dikasih jeruk nipis."

"Ha?" Endra dibuat syok. Ibunya benar-benar kelewatan.

"Emang kenapa? Kamu mau dipesenin soto juga?"

"Enggak. Terus tadi Ibu bilang katanya ada plang putih, beneran ada nggak?"

"Iya, emang ada tuh di parkiran."

"Berarti maksudnya plang putih itu tulisannya nama warungnya?"

"Nah itu kamu tahu."

Astaga! Endra benar-benar ingin mencakar tembok saking kesalnya dengan ibunya sendiri. Nggak cuma berisik dan nggak jelas, Endra melupakan satu hal penting dari ibunya yang sering membuat dirinya kesal. Yakni doyan banget ngerjain orang!

"Ya udah, Yah. Nanti langsung telepon Endra aja ya kalau udah sampai. Tapi jangan Ibu yang nelepon."

"Iya, nanti Ayah yang nelepon."

"Tapi ngomong-ngomong, Yah. Kenapa Ibu pakai ke kota segala sama Ayah?"

"Kata Ibu, kamu sendiri yang bilang waktu masih di rumah. Katanya dalam seminggu kamu pasti udah dapet calon istri. Makanya Ibu mau nagih omongan kamu itu."

Endra jadi mengutuk dirinya sendiri karena waktu itu kepancing sama omongan ibunya yang kelewat nggak jelas, sampai akhirnya Endra asal jawab saja.

Masa ibunya itu tahu-tahu ngajak salaman dan minta Endra buat bilang setuju, padahal nggak tahu setuju buat apa. Eh, nggak taunya ibunya baru balik dari pasar dan sempet kerepotan bawa barang belanjaan sampe ada yang bantuin. Tahu-tahu ibu langsung kesengsem aja sama yang ngebantuin dan ngejanjiin buat dijadiin mantu. Jadi pas pulang dari pasar itu, ibunya ngajak salaman sama nyuruh bilang setuju, maksudnya setuju buat dijodohin sama cewek nggak jelas yang ditemuinya di pasar itu.

Dan ajaibnya lagi, ibunya bilang kalau dalam waktu seminggu, Endra bakal dateng ke cewek nggak jelas itu buat langsung ngelamar. Ya udah, karena kejadian itu akhirnya Endra bilang ke ibunya kalau dia mau pergi ke kota dan bawa calon istri dalam waktu seminggu.

Rupanya ibunya sekarang benar-benar akan datang. Dan anehnya malah ditelepon sudah bukan membahas cewek yang dulu lagi. Ini malah jadi cewek anaknya pak Jaya yang baru buka pabrik. Duh, Endra benar-benar pusing memikirkan jalan pikiran ibunya yang kelewat nggak jelasnya.

Gimana ceritanya sampe sini? Ngebosenin enggak? Tolong kasih tanggepannya yah.

- AdDina Khalim

AdDinaKhalimcreators' thoughts