webnovel

[04] Sentuh Ekor atau Telinga?

"Aryasatya? Aku membawa makanan untukmu, apakah kau ada sana?"

Anung membawa daging dalam bungkusan seperti hari-hari sebelumnya, ditambah dengan makanan yang ia masak untuk hari ini, mempertimbangkan bahwa perubahan wujud Aryasatya mungkin juga berpengaruh pada perubahan selera makanannya.

Tetapi, setelah masuk ke dalam gua dan meletakan makanan di atas batu besar, dia tidak melihat sosok Aryasatya dimanapun, dia mencoba untuk melihat sisi lain gua, tetapi tetap saja, tidak ada jejak siapapun di sana.

Mungkinkah Aryasatya pergi? Pertanyaan ini adalah hal pertama yang mencuat di dalam hatinya. Meskipun kekuatannya belum pulih sepenuhnya, tetapi bukankah orang-orang di desa selalu mengatakan bahwa kerinduan pada kampung halaman tidak akan dapat tergantikan dengan hal apapun.

Tetapi, haruskah dia pergi tanpa berpamitan?

Bahkan jika pihak lain takut dia mengikutinya sehingga pergi dengan diam-diam, bukankah mereka sudah mengetahui satu sama lain bahwa Aryasatya berasal dari Puncak Larangan di Gunung Utara, yang mana warga desanya tidak memiliki keberanian untuk datang ke sana, jadi tidak mungkin bagi dirinya untuk mengikuti bahkan jika Aryasatya yang memintanya sendiri.

Dia menunduk dan menghela nafas dengan lesu, "setidaknya tinggalkan ucapan terimakasih."

"Mengapa aku harus meninggalkannya?"

"Arggh! Kau!" Anung berbalik dengan lompatan terkejut, hanya untuk menemukan seorang pria berdiri lima langkah di belakangnya. "Siapa kau? Bagaimana kau bisa mengetahui tempat ini?!"

Seharusnya tidak ada orang lain, selain dirinya dan Aryasatya, yang mengetahui gua persembunyian ini. Anung telah memilihnya dengan hati-hati mempertimbangkan bahwa orang-orang di desa terkadang juga pergi untuk berburu selama mereka mau, dan hutan ini bukanlah tempat yang asing bagi mereka, kecuali sudut-sudut tertentu, dan gua ini adalah salah satunya.

Pria yang bersandar pada dinding gua itu terlihat familiar, tetapi juga asing pada saat yang bersamaan. Orang ini juga memiliki tinggi yang lumayan, jauh di atas dirinya tentu saja, dan melihat pihak lain hanya mengenakan celana mengingatkannya pada Aryasatya yang juga telanjang dada satu hari kemarin.

Apakah wajahnya tampan?

Oh, tidak cukup tepat untuk menyebutnya sebagai tampan, mungkin kata-kata galak, dan tegas, lebih sesuai untuk orang di seberangnya ini.

"Hissh!" Dia mundur dan menabrak dinding batu tanpa menyadarinya, bahkan memar karena lemparan piring pagi tadi belum juga pulih, tetapi berkat kecerobohannya, mungkin akan ada memar yang baru di dekatnya.

Pria itu tiba-tiba saja melangkah maju, membuat Anung ingin mundur karena kewaspadaan, hanya saja bagian belakangnya hanyalah dinding batu, tidak ada jalan lain.

"Tunggu, tunggu ... aku bisa ....!"

Keluar dari dugaanya, pria itu hanya menarik tangannya, dan menatap langsung ke arah bahunya, dan bertanya dengan nada yang sedikit marah, "ada apa dengan bahumu?"

Anung menarik tangannya dan beringsut menjauh dari orang aneh ini, "bukan apa-apa, aku sedikit ceroboh sebelumnya."

"Bahu milikmu itu baik-baik saja kemarin, jadi apa yang terjadi setelah kau bertemu denganku?" tanya pria itu, tidak lagi bergerak untuk mendekatinya yang membuat Anung sedikit lega.

Dia mengelak, "kau salah mengingatnya, kita belum pernah saling bertemu sebelum ini. Jangan marah, tapi aku adalah pengingat yang baik sebenarnya, dan kau tidak pernah muncul dalam ingatanku sebelum hari ini."

"Oh, lalu apa kau mungkin mengingat aku yang ini?"

Pria itu tiba-tiba menumbuhkan telinga harimau berwarna putih lembut di atas kepalanya, dan ada ekor yang bergoyang di belakang tubuhnya.

Bentuk tubuh ini sepertinya tidak asing, Anung akan sangat bodoh jika dia tidak mengenali harimau yang telah ia rawat selama dua minggu, dia sudah mengingatnya di luar kepala, terutama dua hal itu, telinga dan ekor yang sangat ingin ia sentuh sebelumnya.

Wajahnya sedikit linglung, "kau, Aryasatya?"

Pria itu tertawa kecil, "yah, ini aku. Memangnya siapa lagi yang akan mengetahui letak gua ini?"

Matanya sedikit teralihkan dengan ekor yang terus bergerak sedikit ke kiri atau melingkar, membuat tangannya sedikit gatal. Anung benar-benar ingin menyentuhnya sekali saja.

"Apakah kau keberatan, jika aku menyentuh ... ekormu?"

Keheningan tiba-tiba jatuh begitu saja.

Aryasatya memincingkan mata ke arahnya, yang membuat Anung berubah gugup dan mundur sedikit, dia tersenyum dengan perasaan malu.

"Aku hanya ingin mencobanya."

Aryasatya menggeleng, "tidak bisa."

"Mengapa?"

Sekali lagi, Aryasatya menatapnya dengan tajam, "tahukah kau artinya sebuah ekor bagi pemangsa seperti kami?"

Anung menggelengkan kepalanya dengan bingung.

"Ekor adalah kehormatan bagi kami, tidak mungkin untuk membiarkan hewan lain apalagi seorang manusia untuk menyentuhnya. Kecuali ...."

Anung sangat ingin tahu mengenai hal ini, "kecuali apa?"

Pria di depannya memiliki senyum aneh di wajahnya, "kecuali itu istrinya."

Kesunyian yang jatuh di antara keduanya tiba-tiba berubah menjadi udara yang penuh dengan kecanggungan.

Anung terbatuk sedikit, "ekhem, kenapa itu harus menjadi istrinya?"

Tanpa perasaan bersalah, Aryasatya mengungkapkan jawabannya, "keinginan untuk kawin akan meningkat jika ekor kami disentuh. Jika sang istri menyentuh ekornya, maka itu sebagian besar berarti ajakan untuk kawin."

"Uhuk! Uhuk! Uhuk!" Anung tersedak oleh ludahnya sendiri ketika mendengar ucapan dari pria di depannya.

Tetapi, dia masih tidak ingin menyerah begitu saja dan melirik ke satu bagian yang lain, dia menunjuk ke arahnya, "bagaimana dengan telinga?"

"Kau juga ingin menyentuhnya?" Tanya Aryasatya.

Anung mengangguk dengan ragu-ragu. Kesempatan ini tidak akan datang dua kali, dia harus menggunakan peluang sebaik mungkin.

Tetapi, reaksi pria di depannya hanyalah tawa kecil yang samar-samar. Kemudian di susul dengan pertanyaan, "mengapa kau sangat ingin menyentuh? Tahukah kau itu tidak akan baik jika siluman harimau lain yang kau temui, dan bukannya aku?"

"Mengapa itu tidak baik?"

"Kesabaran mereka tidak sebaik diriku, jika itu siluman harimau yang lain, maka pihak lain sudah pasti menekanmu di lantai sejak kau bertanya untuk menyentuh ekornya." Jelas Aryasatya dengan wajah serius.

Memahami makna dari perkataan ini membuat seluruh wajah Anung memerah dalam sekejap, dan rasa malu hampir membuatnya ingin melarikan diri dari gua itu segera.

Tetapi, Harga dirinya sebagai laki-laki masih harus dipertahankan, "tetapi aku laki-laki! Mengapa bukan aku yang menekan mereka?"

Aryasatya menatapnya sebentar, dan tidak bisa menyembunyikan tatapan kasihan miliknya.

"Apakah kau terlalu mengunggulkan kekuatanmu, atau kekuatan kami yang kau pandang rendah?" balasnya.

Anung tidak mau mengalah, "heh, sekarang siluman juga bisa bersikap sombong?"

Aryasatya tidak terpancing dengan tingkahnya, "sebenarnya, reaksimu sedikit tidak sesuai dengan yang seharusnya. Bukankah kau harus mempertanyakan mengapa kami menekan sesama laki-laki dan bukannya seorang wanita? Kau justru memikirkan tentang siapa yang akan menekan siapa?"

Anung menyadari hal ini kemudian.

Hasilnya adalah ia yang bertanya-tanya, "mengapa kalian menekan sesama laki-laki?"

Aryasatya tersenyum lagi, "yah, sebenarnya kami juga menekan wanita, itu lebih seperti selera masing-masing pribadi."

Kepolosan Anung berlanjut, "bagaimana denganmu?"

Aryasatya tertawa lepas kali ini, lalu dia mendekat ke arah Anung sehingga ia bisa mendorongnya untuk berbaring di tanah pada saat berikutnya, wajah mereka begitu dekat sehingga Anung dapat merasakan hembusan nafas pria di depannya itu.

Aryasatya berbisik di samping telinganya, "apakah kau ingin melihatnya?"

[To Be Continued]